p.s kalau bisa bacanya pelan-pelan, semoga berasa (?)
Wisuda
Wisuda, katanya.
Sebuah seremoni bahagia usai melewati rintangan. Sebuah selebrasi pencapaian tertinggi dalam masa perkuliahan, kendati nantinya masih perlu menanjak ke level yang lebih banyak ujian.
a/n: i listened to You Never Know by Chen to accompany me in making this narration, I rec you to listen to this song <3
Jurnal
“You good?” tanya Dean tersenyum padanya.
Ardith berusaha senatural mungkin untuk menyunggingkan senyum, namun ujung bibirnya terasa kaku. Ia yakin ekspresinya akan tampak terpaksa, akan tetapi temannya tidak berkomentar sama sekali.
Kesendirian selalu membuatnya berpikir lebih jernih dan terorganisir. Entah saat ia perlu belajar, atau sebelum memulai presentasi, atau saat mengalami kejadian buruk yang mengharuskannya menangis, Ardith memilih kesendirian untuk menemaninya. Dan tanpa ia sadari, ia membentuk kebiasaan itu seperti ritual, seluruh bandmates-nya menghapal ritual itu.
Ardith melepaskan ponselnya usai membaca deretan notifikasi dan pesan yang masuk. Keadaannya tidak membaik sama sekali meski tidur sepanjang hari. Kepalanya kian berdentum tak karuan seperti ada yang sengaja memukulnya—untuk menghancurkannya perlahan-lahan. Akan tetapi di tengah pertemuan kepalanya dengan tembok tanpa sadar karena berdenyut, ada yang terasa lebih menyakitkan: ekspektasinya sendiri pada seseorang.
I'm not majoring in music nor do I play an instrument, but I did a little research. Please excuse the inaccuracies.
031. Studio
Ardith selalu suka suasana saat mereka bermusik.
Saat Gama menaikkan sticks-nya ke udara dan mengetuk empat kali sebelum memukul drum. Atau saat Atof mulai memetik gitar yang diselarasi oleh Zio. Atau saat Dean menyesuaikan tempo untuk menyempurnakan lagu. Atau saat dirinya sendiri bernyanyi dan menekan tuts.