BROKEN RHAPSODY
2317 words. feelings. angst. thoughts spiralling. sort of self-study.
Notes: I'm not majoring in music nor do I play an instrument, but I did a little research. Please excuse the inaccuracies.
a/n: read it slowly, I'd like to rec this song Untitled by Maliq & D'Essentials to enhance your reading experience.
97. Hideout
Ardith suka menyendiri sebelum naik panggung.
Kesendirian selalu membuatnya berpikir lebih jernih dan terorganisir. Entah saat ia perlu belajar, atau sebelum memulai presentasi, atau saat mengalami kejadian buruk yang mengharuskannya menangis, Ardith memilih kesendirian untuk menemaninya. Dan tanpa ia sadari, ia membentuk kebiasaan itu seperti ritual, seluruh bandmates-nya menghapal ritual itu.
Kini ia tengah duduk menatap loker karyawan, meneguk air lemon dari tumbler yang diberikan oleh Zio. Pikirannya mengawang ke kali pertama mereka perform di Hideout, mencari pegangan bahwa ia akan baik-baik saja malam ini.
Kali pertama selalu menjadi sebuah kenangan yang bercokol di memori, namun entah kenapa kali ini Ardith tidak mengingatnya dengan jelas, meski ia yakin pasti dirinya bahagia saat itu, namun tetap saja ingatan tersebut kabur, mungkin karena terlalu usang dan lama tak disinggahi.
Rungunya menangkap bunyi derit pintu, ia menoleh ketika kayu persegi panjang tersebut dibuka, memunculkan Atof yang tersenyum, pemuda itu segera duduk di sisinya.
“Are you nervous?” tanyanya menepuk paha.
Kepalanya menunduk, meremas botol dari Zio, “Kind of,” balasnya singkat.
Meski sudah puluhan kali—ratusan kali Ardith berdiri di panggung, menyanyikan lagu yang sama, ia tidak dapat menghilangkan rasa itu. Tetap ada adrenalin dan gelisah dan muatan perasaan yang tak terdeskripsikan dalam benaknya. Namun kini, ia terbiasa dengan gejolak yang muncul, it makes him feel alive.
Atof menariknya ke rangkulan, meremas bahunya untuk menyakinkan. Sebuah kebiasaan yang terbangun sejak mereka menjadi bandmates.
“Don't be. We've done it plenty of times, just do it like how we practice. Nggak ada yang bisa kabur dari pesona lo.”
Gama bisa, pikirnya asal, lantas kian menunduk, tawa kosong lolos dari bibirnya.
Sudah hampir tiga tahun sejak Ardith bernyanyi di band, sejak lama ia bernyanyi, sejak SMA ia menekuni dengan serius bidang tersebut dan didorong oleh Gama untuk mengikuti les vokal. Akan tetapi, tetap saja pemuda dengan landang konstelasi di wajah itu tidak pernah menoleh padanya.
Mungkin Gama bukan target pasarnya, maka dari itu semegah apapun pesonanya ia tidak akan pernah merambahnya. Seperti sebuah lagu, meski jutaan orang setuju bahwa lagu X bagus, tetap ada beberapa oknum yang akan beropini lain dan tidak bisa menikmatinya.
Tetap akan ada yang tidak menyukainya.
Suara Dean yang sudah naik panggung sebagai pembuka sayup-sayup tertangkap di rungunya. Atof ikut terdiam karena berusaha mendengarkan dengan seksama. Kemudian pemuda itu bangkit dan menepuk bahunya.
“Langsung keluar kalau udah selesai,” pintanya—yang ia hadiahi anggukan. Atof berjalan ke pintu keluar. Ardith kembali memusatkan inderanya ke suara di luar.
“Kalau bicara tentang hysteria, pasti banyak dari kita akan teringat pada salah satu wahana di dufan—atau gua aja kali, ya? Karena gua baru ke dufan pekan lalu.”
Dean tertawa sendiri karena monolognya, menaikkan atmosfer kafe dengan suaranya yang berat. Ardith ikut mendenguskan tawa, menikmati celoteh ala anak band yang selalu mereka lakukan sebelum bernyanyi.
“Pas gua naik hysteria, awalnya gua gugup setengah mati karena kelihatannya serem dari jauh.
Tapi ternyata kunci menikmati wahana yang satu ini adalah: jangan tutup mata. Terlepas jantung gua rasanya seperti turun ke perut, tapi ada scenery indah di atas—yang bisa bikin gua takjub, yang bikin gua lupa perut seperti lagi diaduk.
Itu juga yang gua alami akhir-akhir ini sama seseorang. Orang ini bikin gua pening, jantung mencelos, tapi banyak perasaan menyenangkan juga, mirip-mirip seperti naik wahana hysteria, lah.
Akhirnya karena hal tersebut, gua memutuskan untuk membawakan Hysteria dari Muse buat individual performance gua, for certain someone, give me your heart and your soul.”
Bunyi bass yang presisi dari lagu alternative rock pilihan Dean mulai terdengar. Hysteria sendiri memiliki base line pada spektrum yang mudah, namun mengingat seluruh lagu didasarkan pada bass, ketepatan dan konsistensi nada menjadi sangat penting. Sebuah rintangan tersendiri bagi para bassist di luar sana.
Ardith beranjak dari kursi, mengelus dadanya yang bertalu karena sebentar lagi ia juga akan naik panggung. Dirinya keluar ruangan dan disambut dengan suara bass yang lebih nyaring. Ia menemukan bandmates-nya berada di depan panggung; menonton Dean yang tengah beraksi.
Netranya mendapati Gama tertawa seraya menggelengkan kepala ketika Dean mengedipkan mata ke arahnya.
Denyut di dadanya bertambah sebab alasan lain.
Padahal Ardith sedikit terdorong untuk mengungkapkan perasaannya sebab chat dari Atof. Namun sepertinya niat tersebut akan ia urungkan kembali, karena hasilnya akan sama saja.
Gama tetap tidak akan membalas perasaannya.
Tepuk tangan membuyarkan lamunannya membuatnya bergerak otomatis menuju panggung. Memperkenalkan band dan album debut mereka. Ia menatap kursi yang rapat di kafe, merasa takjub hingga mulutnya menganga kecil. Sepertinya popularitas mereka sungguhan naik lantaran video yang tak sengaja viral milik Dean, tidak biasanya Hideout seramai ini.
Ketika Gama mengetuk stick drum-nya di udara untuk membuka lagu mereka (Oceane), Atof menghampiri stand mic milik Ardith untuk mengujarkan:
“Rhapsody, let’s have fun.”
Usai itu, degup jantung Ardith tertutup oleh bunyi tabuh dari drum.
Di antara semua lagu di album debut Rhapsody, Ardith paling menyukai lagu Oceane. Bukan karena itu lagu patah hati, namun karena Atof benar-benar berhasil menggambarkan bagaimana seseorang merasa tenggelam dalam perasaannya sendiri, dan tidak ada yang mampu menyelamatkannya kecuali nama yang tersemat dalam perasaan tersebut.
Atof seolah menelanjanginya saat ia menyerahkan demo lagu itu, meneriakkan di telinganya, ini yang sedang lo alami sekarang, kan? membuatnya ingin bersembunyi karena takut ketahuan oleh leader band-nya. Dan saat ini, ia tengah melantunkan lagu yang terlalu fasih di lidahnya, terlalu familiar di telinganya.
Lagu itu bergulir dengan cepat, Ardith hanya mendengar tepuk tangan yang meriah usai ia mengeluarkan suara hatinya; yang selalu dilabeli sebagai suara orang ditinggal cerai istri dan tak memiliki hak asuh anak.
Peluh mengalir di pelipisnya, seseorang berteriak, “Ardith, I love you!!!!” dari jauh lantas mengeluarkan banner dengan wajahnya, memicu gelak darinya dan bandmates.
Oceane… merupakan lagu milik Ardith.
Orang pertama yang dekat dengan Ardith setelah menyetujui masuk band adalah Zio.
Zio tidak seperti chatterbox, ia bukan juga people pleaser, Zio hanya mengerti bagaimana memperlakukan orang lain maka dari itu meski ia diam saja semua orang akan mendekat. Kendati, penilaiannya ke Atof agak meleset karena Zio malah jatuh cinta padanya.
Pemuda itu tidak turun dari panggung karena akan melakukan penampilan individual miliknya. Ia menyeka keringatnya di dahi ke lengan bahu, lantas mulutnya berujar, “Kok di sini panas banget, ya? Apa karena isinya orang-orang keren,” pada mic. Beberapa orang tertawa karena candaan Zio.
Zio berdeham sekilas, melongok mencari orang—yang Ardith asumsikan adalah Atof—sebelum matanya jatuh pada Dean di sebelah kirinya. Dean mengesturkan orang yang tengah minum menimbulkan anggukan paham dari Zio di atas panggung. Ia memetik gitarnya sejenak, berdeham lagi karena gugup; tidak seperti Zio yang biasanya. Pemuda tersebut menunggu kehadiran Atof namun kekasihnya tidak tampak juga. Waktu terus bergulir, mereka punya jadwal yang harus dipatuhi, mau tidak mau Zio menyerah dan mendekatkan diri pada mic lagi.
“Buat yang lagi minum ke belakang karena kayaknya ngerasa haus banget meskipun nggak nyanyi,” Zio tertawa sendiri; mungkin membayangkan leader bandnya yang tiba-tiba berhenti melangkah karena mendengar dirinya disebut secara implisit. Pemuda berhidung bangir itu menatap para penonton yang mengantisipasi. “You will always be my 14 February—Kak Atof, this song is for you: my valentine.”
Lantas, petik gitar bernada musim semi—yang sempat Ardith dengar ketika Zio bertandang ke kosnya—mengalun merdu mengisi malam. Rintik hujan mulai membasahi kaca tembus pandang milik Hideout; menemani syahdunya suara yang tercipta dari jari lihai Zio. Senyum terukir pada pemuda tersebut.
Awalnya, Ardith pikir Zio akan mengeluarkan potensinya sebagai gitaris handal, karena ia agak terbatasi di dalam band dengan lagu mereka. Namun ternyata, di sinilah dia, lebih memilih memetik gitar akustik dengan lagu cinta ciptaannya sendiri daripada membuat orang takjub dengan lagu metallica.
Begitulah bagaimana cinta menyihirnya.
Ardith mendapati Atof keluar dari bagian belakang kafe menuju depan panggung, mematung di salah satu sisi, terkesima, dengan senyum lebar yang mewarnai wajahnya. Pandangan Zio dan Atof bersirobok kendati salah satunya berada di sudut, mereka saling melempar senyum. Melodi gitar tanpa nyanyian itu seolah menjadi suara latar belakang pertemuan mereka.
Ah, jadi begini yang namanya saling jatuh cinta. Ardith berharap ia bisa jadi salah satu yang merasakannya.
Sebagian orang tidak dapat mengungkapkan perasaannya melalui ungkapan biasa. Maka dari itu, musik dan lagu menjadi salah satu media bagi mereka untuk menyampaikan pesan.
Saat Ardith mendengar Gama menyanyikan lagu Only dari Lee Hi lewat telepon—yang tak sengaja viral pada tweet Dean, ia tahu pemuda itu tengah menyuarakan isi hatinya.
Ternyata, temannya tengah berlatih untuk menyampaikannya di ruang publik.
Ardith merasa kalah tatkala bandmates-nya turun panggung, membiarkan Gama sendirian di atas sana untuk melakukan penampilan individualnya. Pemuda berlandang konstelasi tersebut berpindah dari drum ke keyboard yang Ardith gunakan sebelumnya. Mulai terpejam dan hanyut dalam tuts yang ia tekan, suaranya menggema di kafe dengan bunyi hujan jatuh dari luar.
Apakah Ardith pernah bilang bahwa suara Gama indah meskipun ia hanya backing vocal? Mungkin ia lupa menyebutkan, namun ia tak akan pernah lupa dengan suara temannya.
Gama bernyanyi seperti ia memukul drum, tidak dengan dorongan ekstra atau paksaan, hanya menari dengan sticks-nya sesuai keinginan, tidak pernah merasa terburu-buru dan selalu tepat ketukan. Gama: hidup untuk musik.
Dan saat pemusik mengungkapkan perasaannya melalui apa yang mereka cintai, Ardith tahu, bahwa mereka memberikan segalanya.
Yang mana ia tahu, Gama benar-benar jatuh cinta pada Dean.
Tepuk tangan meriah muncul kembali sebagai penutup untuk Gama. Ardith tidak ingin melihat senyum puas yang Gama lemparkan hanya untuk Dean seorang.
Atof adalah orang yang sangat teliti mengenai musik.
Ia tidak segan melempar kritikan pedas saat mereka melakukan kesalahan atau telat latihan. Jika ditanya sejak kapan pemuda itu mulai bermusik, Atof menjawab ia tidak mengingatnya karena sejak kecil hidupnya sudah dikelilingi oleh instrumen dan lagu.
Pada mulanya Ardith menyesal masuk ke band karena mereka semua benar-benar orang yang memiliki perbedaan perspektif. Apalagi Atof yang sangat serius mengenai band sedangkan Ardith menganggapnya sebagai selingan.
Namun tanpa ia sadari, apa yang Atof limpahkan untuk band, berdampak nyata pada skill mereka.
Rhapsody mulai menyabet penghargaan dari banyak ajang khusus band indie. Gama dapat bermain keyboard tidak hanya drum, Ardith sudah tidak terlalu asing dengan gitar, Dean dan Zio sering bertukar instrumen jika mereka tengah bosan.
Atof, terlepas mengintimidasi, mengerahkan segalanya meski Ardith bertanya mengenai musik di jam satu malam. Dan Ardith sangat menghargai dedikasi dan usaha Atof menjadi pemimpin bagi mereka.
Leader band-nya memperbaiki posisi stand mic sebelum duduk di kursinya, menoleh pada Ardith yang berjaga di keyboard. Pemuda Agustus tersebut melemparkan senyum seolah tengah bertanya are you ready? secara tersirat melalui matanya. Ardith bisa membaca mulut Atof yang membisikkan, “Let's have fun,” dengan raut antusias.
Kepalanya mengangguk dua kali sebagai jawaban, Atof berbalik menghadap penonton. Pemuda itu berdeham membersihkan kerongkongannya.
“Guru SMP gue pernah bilang I'd make a good writer someday, dan perkataan beliau nggak pernah menghilang dari pikiran gue. Sebab beliau, gue mulai nulis di jurnal gue: poems, lyrics, anything. Menuangkan apa yang gue rasa dan pikir untuk segala sesuatu di sekitar gue.
Dalam perjalanan hidup gue, gue bertemu Elzio: orang paling ramah sedunia bahkan ke kucing tidur di jalan, tapi pengecualian buat gue, dia nggak ramah sama sekali pas kita ketemu. Elzio banyak menjadi inspirasi dari apa yang gue tulis hingga saat ini.
Teruntuk yang tadi bilang gue nggak nyanyi; dearest Elzio: my partner in crime, my soulmate, my co-founder, my inspiration to every song I write, I hope we stick together for a long time.”
Sebelum Atof menoleh padanya untuk menginstruksi, Ardith mulai menekan tuts keyboard dengan lagu baru yang selalu mengalir di headset-nya akhir-akhir ini. Melatih chord lagu tersebut agar jarinya dapat menari otomatis. Ia menikmati suara Atof yang jarang sekali bernyanyi; ikut larut dalam suasana jatuh cinta yang dilantunkan oleh leader band-nya.
Ardith menangkap siulan kencang dari Zio saat lagu cinta dari Atof selesai.
“Lagu jatuh cintanya udah habis ya, sekarang lagu patah hati,” ujar Ardith asal memicu gelak tawa dari penonton.
Kini, Atof sudah berpindah posisi mengalungkan gitar yang tergeletak di atas panggung, sementara Ardith tengah duduk di kursi Atof sebelumnya.
Sejujurnya, Ardith tidak menyiapkan kalimat untuk pembuka lagunya, atau bahkan, ia tidak menyiapkan dengan matang lagu yang akan ia bawakan. Ia hanya berlatih sekadarnya karena tidak terlalu memikirkan hal istimewa mengenai penampilannya. Lagu yang akan ia nyanyikan hari ini pun hanya hasil dari shuffle playlist berlabel tempo dulu di akun Spotifynya. Ia tidak terlalu merenungkan lebih jauh mengenai makna lagu tersebut, atau memberi tantangan pada potensinya.
“Kita semua tahu kalau perkara cinta bukan cuma dua insan yang bertemu lalu bahagia, iya nggak?” tanya Ardith sebagai pembuka merapatkan mulutnya dengan pelantang suara, yang dijawab dengan sorak, “Yaaa!” oleh penonton.
“Gue pernah dengar satu kutipan: kalau ada dua orang yang saling jatuh cinta artinya ada satu hati yang patah, of course some of us are related to this. Kita pasti pernah nggak sengaja jatuh hati sama orang; entah stranger baik, atau orang terdekat, atau siapapun, meskipun kita tahu perasaan itu nggak akan pernah terbalas.
Tapi, apa perasaan itu salah? Nggak sama sekali.
Tapi kita juga harus ngerti, kalau nggak semua perasaan punya tempat pulang. Beberapa harus tetap diam di kotak dan disimpan di sudut terdalam, bukan dikirim ke alamat tertuju pakai JNE.
Lagu ini dikhususkan untuk mereka, yang perasaannya disimpan dalam tarikan bibir ke atas saat tahu si objek afeksi tengah jatuh cinta atau menjalin hubungan dengan orang lain. Untuk jiwa-jiwa yang perasaannya tak terbalaskan, Untitled by Maliq & D’essentials.”
Ketika petik gitar mulai mengalun sebagai intro, beberapa pelanggan kafe mulai tersenyum—mungkin nostalgia lantaran lagu yang ia bawakan sudah menginjak usia belasan tahun. Ardith yakin banyak orang tidak tahu bahwa Untitled seharusnya tidak berada di album pertama milik Maliq & D’essentials, karena genrenya yang agak menyimpang dari imej milik band tersebut. Namun, akhirnya mereka sepakat untuk memasukkannya ke dalam album sebagai bonus track. Dan judulnya adalah? Untitled.
Seperti perasaan Ardith pada Gama yang seharusnya tidak bernama karena mereka hanya teman.
Riuh suara penonton yang ikut bernyanyi membuat Ardith semakin menikmati lagunya. Tidak ada lagi tempo cepat jantungnya yang mengusik, mereka semua larut dalam sendu, dengan bunyi hujan sebagai pendukung.
Saat Ardith menutup lagunya, ia mendapati ekspresi Gama tidak terbaca, sahabatnya langsung memeluk dengan erat tatkala naik panggung. Ardith menepuk punggungnya sebagai respon.
Malam masih panjang, mereka masih punya lagu yang harus dibawakan sebagai penutup, namun entah kenapa Ardith merasa lepas karena telah menyampaikan perasaannya.
Sepertinya, Gama tahu.
#br © impsaux