BROKEN RHAPSODY

811 kata.


236. Perspektif

Tatkala Ardith masuk ke ruang Google Meet melalui tautan, ia sungguhan hanya menemukan Dean berada di sana.

“Hei, Dith,” ujar Dean basa-basi, ada suara jari bertemu keyboard yang nyaring dari seberang.

“Yoooo,” balasnya.

Ardith masih mengetik dengan giat meski matanya sudah berat dan seolah bersugesti, yuk, sayang bobok yuk, dilanjut besok lagi, skripsi nggak dibawa mati. Akan tetapi esok jadwalnya sangat penuh, ia tak bisa mengundur lagi karena sudah menundanya, ditambah, dosennya mengirim chat, “Ardith, apa sudah selesai mengerjakan revisi?” dengan emot senyum penuh arti; yang mana membuatnya kesetanan menyelesaikan revisinya.

Belasan menit berlalu, hanya ada suara sayup-sayup musik rock dengan volume rendah yang dinyalakan oleh Dean. Kuap muncul dari belah bibir Ardith berkali-kali, ia menggelengkan kepala, meminum air dalam jumlah banyak mencari oksigen. Kedua tangannya menepuk-nepuk pipi agar semakin sadar.

Tiba-tiba, ia mendapatkan satu pesan di ruang chat Google Meet mereka.

Dean Juang M. Good Luck, Dith

Kening Ardith mengernyit. Belum sempat membalas karena bingung, seseorang masuk ke ruang Google Meet, dan Dean keluar dari sana.

What the fuck?!

Nama Hengkara Gamael terbaca di layar. Membuat Ardith mendelik seketika, kantuknya seolah menguap begitu saja. Ia ditinggal berdua dengan Gama yang baru saja masuk, Dean berengseeeeek. Tanpa pikir dua kali Ardith mencuit kedongkolannya via twitter, dan ternyata Gama pun melakukan hal serupa.

Ada kecanggungan di udara kendati mereka hanya bertemu via daring.

Ardith berdeham, lantas Gama berdeham, lalu Ardith berdeham lagi, mereka begitu terus seperti orang yang sedang kencan buta namun tidak tahu ingin membicarakan apa. Ia membisukan mikrofon karena mulai mengumpat selayak bajak laut.

“Ya udah, Dith, lanjut aja skripsinya,” tutur Gama terdengar pasrah.

Yah, ia sudah tidak nafsu dengan skripsi, fokusnya sudah buyar karena Gama. Ingin tidur tapi matanya malah segar kembali karena terkena efek kejut. Dean sialan.

Mereka kembali merajut sunyi meski mikrofon menyala. Ada sayup suara game dari Gama. Ardith seperti benar-benar tak berada di sana. Sejujurnya, ia belum pernah memikirkan apa yang harus ia katakan jika bertemu Gama, bukan karena tak ada, namun karena terlalu banyak. Ardith perlu mengurutkan segala buah pikiran yang muncul di benaknya. Akan tetapi, sekarang semuanya blank.

Berteman bertahun-tahun namun lidahnya kelu meski hanya untuk menyapa.

I'm sorry, apa gue keluar aja?”

“Eh, nggak usah,” Ardith membalas cepat, pertama kalinya bersuara. Ia menatap layar laptopnya yang dibagi dua laman: google meet dan skripsi, lantas menutup laman skripsinya karena merasa mual.

“Dith?”

“Hmmm?”

I'm sorry,” suara Gama terdengar lirih dan penuh sesal. Ardith menggigit bibir bawahnya, tanpa sadar mengangguk kecil kendati tak akan terlihat oleh sang teman.

Ia sudah memikirkan hal ini sejak lama. Mereka berteman bertahun-tahun, Gama menjadi teman terbaiknya sejak mereka bertemu semasa SMA. Tidak pernah membuatnya kecewa kecuali untuk yang satu ini karena mempermainkannya perasaannya. Ia selalu memikirkan apa tindakan yang harus ia lakukan setelah mereka saling memberi distansi. Ardith tidak bisa memaaafkan orang lain dengan cepat karena ia manusia biasa, akan tetapi apakah sebab nila setitik rusak susu sebelanga? Apakah ia harus kehilangan sosok teman karena perasaannya sendiri dan satu kesalahan?

You know I understand your point of view. Beberapa bulan terakhir, setelah amarah dan sedih gue reda, gue berusaha netral dan coba lihat dari perspektif lain,” katanya. Ardith tanpa sadar mengetuk-ngetuk keyboard-nya sendiri mengisi hening, “If I were in your shoes, I'd do same, tapi bedanya, saat gue gagal suka sama lo, mungkin gue akan langsung bilang.”

I'm sorry it was stupid of me,” Gama membalas dari seberang sana, lantas tidak ada suara lagi, sebab tak ada yang perlu dijabarkan, dan Gama tak menyanggah kesalahannya.

“Iya, lo tolol banget,” Ardith tertawa, wah, sekarang ia mampu menertawakan lukanya. Ia sungguhan mulai sembuh, ya? Kini jemarinya malah mengetik website Gartic.io karena ingin mengajak Gama bermain game sederhana.

I'm sorry,” ulangnya lagi. Ardith sudah menerima banyak maaf dari Gama, namun ia tahu tiap maaf yang ia lontarkan bukan sekadar kata. Temannya sungguhan menyesal dengan perbuatannya. Kemudian, Ardith mengirimkan tautan ruang bermain Gartic melalui chat.

“Ngapain?” tanya Gama suaranya sarat kebingungan melihat tautan tersebut.

“Main bareng, udah lama nggak main. Gue nggak bisa main Genshin,” balasnya karena ia tahu Gama tadi bermain Genshin Impact.

Gelak tawa Gama berderai karena kalimat Ardith, membuatnya menyimpulkan senyum. Sudah lama sekali ia tak mendengar Gama tertawa atau bahkan tertawa selepas itu, apalagi mereka tidak pernah bertemu langsung sama sekali meski berada di satu area kampus.

Pada akhirnya mereka bermain bersama di ruang umum. Skor Gama dan Ardith saling berkejaran, namun Ardith memenangkan banyak babak karena jago menebak gambar orang lain yang tak berbentuk. Ia sedikit puas karena orang-orang yang ikut bermain memuji gambarnya meski ia melakukannya tanpa usaha berlebih.

Saat mulai bosan, mereka berdua kembali ke Google Meet sejenak. Ardith izin tidur duluan karena memiliki kelas pagi dan jadwal yang lumayan padat sebab masih mempersiapkan albumnya. Gama mengucapkan, “I have a lot of fun, Dith. Thank you, good night, sleep well,” yang memicu senyumnya lagi.

Tak ayal, Ardith merasa beban di pundaknya hilang setengah.

#br © impsaux