BROKEN RHAPSODY

I'm not majoring in music nor do I play an instrument, but I did a little research. Please excuse the inaccuracies.


031. Studio

Ardith selalu suka suasana saat mereka bermusik.

Saat Gama menaikkan sticks-nya ke udara dan mengetuk empat kali sebelum memukul drum. Atau saat Atof mulai memetik gitar yang diselarasi oleh Zio. Atau saat Dean menyesuaikan tempo untuk menyempurnakan lagu. Atau saat dirinya sendiri bernyanyi dan menekan tuts.

Ada gelora berbeda saat permainan tangan mereka berpadu menjadi kesatuan dan mengalir dari stereo. Ardith merasa ia mampu mengungkapkan apa yang tidak pernah bisa ia katakan melalui musik. Ia bisa membawa suasana hati orang lain menjadi senang atau sedih karena suaranya. Maka dari itu, tatkala Atof dan Zio mendatanginya untuk bergabung ke band, tanpa pikir dua kali ia mengangguk mantap, lantas menghubungi Gama agar ikut bergabung.

Dean menjadi orang terakhir yang melengkapi band mereka.

You look disgusting,–ly handsome, ujar Ardith ketika Gama sampai ke studio dengan kehabisan napas usai berlari. Pemuda itu meletakkan kantong makanan ringan dan ranselnya.

Thanks, peasant,” balasnya di sela engah, menyurai rambutnya yang basah keringat ke belakang. Holyshit, salah satu kelemahan Ardith adalah Gama yang menyibak rambut, ia harus merekamnya lain kali.

Atof menghentikan jarinya yang memetik gitar ketika menyadari keberadaan Gama, mulai melayangkan tatapan penghakiman pada Gama yang tersenyum agak dipaksakan untuk meluluhkan hati leader band mereka. Sebelum Atof membuka mulutnya, Zio mengecup pipinya membuat Atof menoleh cepat pada kekasihnya, pupilnya membesar kaget.

“Kamu ngagetin banget sih?!”

Zio tersenyum manis lalu menarik gitar di pangkuan Atof meski letak gitarnya sendiri berada di jangkauan.

“Jangan marah, Gama punya alesan.”

Ardith menangkap decak nyaring dari yang paling tua, lantas Atof mengubah posisi duduknya sehingga memunggungi Gama.

“Cium Kakak di bibir biar nggak marah,” Atof menyerahkan seluruh atensinya pada Zio, membuat Gama mengudarakan jempolnya untuk Zio sebagai ucapan terima kasih sebelum masuk dengan tenang.

Ardith menggeleng melihat Atof yang merengek karena permintaannya tidak dikabulkan Zio—Rhapsody beruntung mereka punya damage controller. Namun pada akhirnya Zio keluar dari studio dan pergi entah ke mana—yang diekori oleh Atof.

“15 menit, abis itu kita mulai latihan,” ujar Atof menunjuk Gama lantas Ardith, suaranya sarat suruhan namun terselip bahagia di sana karena keinginannya tercapai.

Gama dan Ardith mengangguk patuh. Pemuda Juni itu mulai duduk di drumnya, meletakkan metronome dan menggoyangkannya dengan tempo lambat; 40 bpm untuk pemanasan.

Bet they make out for 20 minutes,” Gama bersuara di tengah permainannya, mengajak Ardith—yang tengah duduk berselonjor mendengarkan lagu mereka—bertaruh, Ardith melirik pada sahabatnya lantas mendengus.

Half an hour.”

“Yang kalah beli sarapan besok.”

Deal.

Saka yang baru saja muncul dari kamar mandi mengernyit karena hanya menjumpai mereka berdua di dalam studio.

“Yang lain ke mana?”

Gama mengerucutkan bibirnya, mengeluarkan bunyi muah kepada Saka dengan dramatis.

“Ew, love birds,” balas Saka paham bergidik.

Ardith tertawa melihatnya.







Seperti kehadiran Dean sebagai orang terakhir di band, Dean datang paling terlambat hari ini.

Ketika pintu ruang studio ditarik dan menampakkan batang hidung Dean, Gama menghentikan permainannya. Dean tersenyum melihat mereka, menjeling sekilas pada Gama sebelum menghampiri Ardith dengan berujar, “Your coffee, Sir!” pemuda Agustus itu meletakkan dua gelas kopi pesanannya. Ardith terkekeh ringan merespon, “Thanks!” berusaha mengabaikan golak tak menyenangkan di dadanya karena kemunculan Dean.

“Pesanan saudara Saka,” Dean mendekati Saka yang sedang menggulir layar ponselnya di sofa, namun yang lebih muda tetap menunduk tidak menggubris sebab menyumpal telinga dengan Airpods. Dean menarik salah satu Airpodnya membuat Saka mengerang sebal sebelum mendongak dan mendapati yang lebih tua. “Kopi atas nama Saka,” ujarnya seraya tersenyum.

Saka menyengir rikuh karena hampir merasa jengkel, “Makasih Kak Dean,” balasnya pelan dengan suara malu-malu kucing. Ardith merotasikan bola matanya dengan tingkah laku manager band-nya. Semua orang seperti bertekuk lutut pada pemuda Leo itu.

“Atof sama Zio ke mana?” tanya Dean celingak-celinguk, membawa dirinya mendekat pada Gama yang tersenyum. Akan tetapi alih-alih Dean sampai ke drum, Gama berdiri dari posisinya ikut menghampiri Dean. Ardith tanpa sadar menghela napas melihat keduanya, ia menemukan senyum yang Gama ulas lebih lembut dari biasanya. Berteman bertahun-tahun ia mengerti bagaimana perilaku temannya—apalagi, saat Gama jatuh cinta.

“Lagi memenuhi hasrat,” jawab Gama pelan ketika mereka sudah berhadapan.

Dean mengangguk seraya mengulurkan kopi milik Gama, “Kopi pesenan kamu, spesial,” bisiknya, diperuntukkan hanya berdua, namun Ardith terlalu peka.

Ketika orang berkata mata tidak pernah berbohong, Ardith paling mengerti maksudnya.

Gama mengambil miliknya, menggumamkan thank you sebelum menunduk menatap kopinya. Dean merefleksi gestur serupa, merunduk seraya menggaruk tengkuknya, menjejak langkah mundur dengan perlahan hingga bersandar pada dinding dan mendudukkan diri dekat stereo. Ardith merasakan perubahan atmosfer di sekitar mereka, namun berusaha fokus pada lagu Rhapsody yang terputar di Spotify miliknya, kendati, tetap tidak dapat melewatkan bagaimana Gama—yang menyeruput kopinya—sesekali mencuri pandang pada Dean usai kembali ke drum, atau Dean yang juga melakukan hal serupa dengan sudut bibir sedikit naik ke atas. Ruang itu hening kecuali bunyi metronome yang masih mengetuk dengan tempo stabil, rasanya memekakkan seolah Ardith dipaksa untuk menonton tensi antara dua orang, sedangkan Saka tenggelam pada dunianya sendiri di sofa.

Ia memejamkan matanya, menyerap lirik yang terlantun di telinga.

Menyaksikan Gama jatuh cinta berkali-kali dengan orang berbeda tidak membuat rasa sakit di dada Ardith menghilang. Namun lambat laun ia terbiasa dengan lukanya, denyut itu menjadi kawan. Sebab seharusnya memang Ardith tidak menyukai temannya, inginnya pun begitu, akan tetapi ia tak mampu mengontrol hatinya.

“Kemarin gue ngikutin kata lo, Gam. Overthinking write, underthinking read, akhirnya jadi lirik,” sahut Dean memecah hening.

“Oh ya?!” ujarnya terkejut, bangkit dari posisinya saat Dean menunjukkan notes.

Setelah Gama memindai seluruh kata yang Dean tulis, ia beropini, “Buat siapa? Kok kayak lagu cinta?”

“Ada, lah, buat orang,” jawabnya, terkekeh pelan memperhatikan Gama yang memindai ulang tulisannya.

Ardith dengan blak-blakan mengamati mereka lantas mengernyit geli, studio rasanya lebih pengap kendati ia hanya menggunakan kaos. Tidak lama kemudian ia menemukan Zio berjalan menuju studio dengan Atof di belakangnya. Rambut temannya yang agak panjang semerawut. Ketika pintu kaca tersebut diraih, jemari Zio ditampik dari gagang oleh Atof, yang lebih tua menariknya lagi ke tempat lain.

Yang berada di dalam menangkap bunyi punggung menabrak dinding, lalu saling menoleh, kecuali Saka yang tertawa sendiri entah sedang menonton apa.

Dean tertawa menggelengkan kepalanya, “Gila, Atof kalau udah make out nggak nanggung.”

Gama mengangguk setuju, “Nggak bakal mereka begitu 15 menit doang.”

“Kalau kamu gimana?” bisik Dean mengarahkan pandangannya pada Gama, menatapnya dengan penuh makna. Yang ditanya tiba-tiba panik gelagapan sejenak namun kembali mencapai ketenangannya sebelum menjawab.

Ardith mendengus, merotasikan bola matanya jengkel. Playlist acak yang mengalir melalui headset di salah satu telinganya memutar Dancing on My Own seakan tengah mengejeknya.

“Tergantung,” jawab Gama mengangkat alisnya, menantang Dean.

Ya Tuhan, Ardith muak ia ingin keluar dari sana.

“Oh, tergantung apa? Waktu? Apa siapa yang ngajak make out?” Dean semakin menghapus jarak di antara wajah mereka.

Calum Scott memang bajingan, liriknya mengapa I'm in the corner watching you kiss her?

Dengan tergesa Ardith bangkit memicu Dean dan Gama berpaling padanya, rautnya penuh kebingungan. “Gue mau sebat,” katanya cepat sebelum menghentak langkah tanpa sadar. Ia benci ketika pikirannya sudah dikelabui perasaan seperti ini, berengsek, memang siapa yang ingin menyukai teman sendiri?! Mengapa ia tidak bisa bahagia saja saat Gama menemukan orang yang disuka? Mengapa dadanya perlu sesak ketika mengetahui temannya jatuh cinta? Mengapa ia tidak bisa mengucapkan selamat dan menjadi teman yang suportif?

Ketika membuka pintu studio Ardith disambut dengan pasangan lain yang tengah bercumbu. Kepalanya berdenyut tidak karuan, ia ingin meledak sekarang juga.

“K-kak, Kak Atof,” ujar Zio mendorong bahu Atof saat mengetahui ada orang lain yang berdiri dengan bertolak pinggang. Ardith mendesah kesal kembali memutar bola mata, memang anjing dunia ini.

“MASUK LU BERDUA, UDAH LEBIH DARI 15 MENIT!” teriaknya.

Atof yang ingin marah karena terinterupsi melunak tatkala melihat ekspresinya yang frustrasi. “Sorry, sorry, gue masuk. Lo mau kemana?”

“Sebat.”

Yang lebih tua mengangguk, “Jangan lama-lama ya, ntar makin ketunda latihannya.”

Tanpa merespon, Ardith melangkah pergi, ia butuh distraksi.

© impsaux #br