BROKEN RHAPSODY

1585 kata. angst.

a/n: i listened to You Never Know by Chen to accompany me in making this narration, I rec you to listen to this song <3


Jurnal

You good?” tanya Dean tersenyum padanya.

Ardith berusaha senatural mungkin untuk menyunggingkan senyum, namun ujung bibirnya terasa kaku. Ia yakin ekspresinya akan tampak terpaksa, akan tetapi temannya tidak berkomentar sama sekali.

Sebenarnya mereka tidak terhitung canggung, karena, yah, sepertinya Dean tidak mengetahui bahwa mereka menyukai orang yang sama. Perilaku temannya terhitung biasa-biasa saja seperti sedia kala. Bedanya, kini mereka seperti berada di dalam satu naungan tanpa Dean sadari, menjadi “barisan para cinta tak terbalas”. Jika ini sebuah film, mungkin keduanya akan bekerjasama untuk melemparkan telur busuk ke depan pintu rumah Gama karena telah melukai mereka. Namun itu persoalan lain, ia tidak ingin menyisihkan uang bulanannya untuk telur busuk, lebih baik ia beli telur biasa untuk diceplok atau didadar. Dan juga, mereka bukan karakter utama dalam film. Ardith terkekeh pelan dengan pikirannya sendiri.

“Kita jarang nongkrong berdua ya, Dith?” tanyanya basa-basi, menyeruput kopinya. Dean menatap keluar jendela kafe, mengamati lalu lalang kendaraan di sore hari, dan langit yang perlahan berubah lembayung.

Ia hanya mengangguk sebagai jawaban, masih sedikit gelisah lantaran sudah tahu mengenai topik apa yang membawa mereka duduk di kafe saat ini, kendati masih agak abu-abu. Ardith agak sangsi tentang alasan yang memicu Dean mengajaknya mengobrol, apakah ia hanya sekadar ingin curhat sebab ditolak temannya? Kemungkinannya 80%.

“Dulu, somehow, gua sempet mikir gua feel left out di Rhapsody, karena Atof dan Zio—meskipun strangers—, mereka ngobrolnya nyambung, lo dan Gama came in a package. Tapi setelah banyak adaptasi, apalagi, all of you always tried to include me to every conversation, jadi... yah, gua lama-lama nyaman juga. Rhapsody is one of my home.”

Dean mulai bercerita dengan santai, berjalan melewati garis start tak kasat mata yang muncul tanpa sadar ketika mereka merajut hening. Entah perjalanan ini ingin diarahkan ke mana, namun teka-teki yang sudah bercokol beberapa hari di kepala Ardith kian membuatnya ingin membuka suara. Beberapa kali ia berusaha mengatakan sesuatu namun mengatupkan mulut kembali. Ingin bertanya tentang mengapa Gama menolaknya, apa tujuannya diajak kemari, dan masih banyak lagi probabilitas tanya yang tertulis dalam daftar.

Namun semuanya tetap tertahan di kerongkongan, ia hanya mengikuti tempo Dean yang lambat lantaran mereka bukan berada dalam kompetisi. Ardith membiarkan Dean mengajaknya berkelana.

“Lu inget awal Rhapsody dibuat nggak? Dulu kita sering berantem untuk perkara sepele. Gua kalau inget itu semua agak ketawa, sih. Kita juga bikin group chat yang nggak ada Atof karena sebel sama dia,” Dean mendenguskan tawa.

Ia mengangguk ikut tertawa, mengingat memori itu seolah masih segar di kepalanya. Kendati Rhapsody menginjak tiga tahun, namun ia masih merasakan euforia pengalaman pertama melihatnya. Ada rasa takjub dan nostalgia saat ia kembali ke masa pertemuan mereka.

“Lu inget nggak pas Zio narik kaos Atof dan banting gitar? Gue merinding banget di situ, kaget karena pertama kali liat Zio marah juga,” timpal Ardith, menambahkan puing-puing kenangan.

Anjing, lu mesti tau, Dith. Gua udah ngetik chat mau keluar band waktu itu, tapi nggak jadi gua kirim.”

“Sumpah? Cupu, anjing.”

“Siapa yang nggak stres masuk band tapi berantem mulu? Mending gua cabut.”

“Aturan kita bikin dokumenter nih, seru juga.”

“Setuju.”

Mereka jatuh dalam sunyi yang nyaman. Sejenak Ardith tersenyum memutar banyak kenangan yang tak sengaja mampir karena diajak nostalgia. Merasa teralihkan dari kegelisahannya saat bertandang ke kafe.

Uap kopi miliknya masih mengepul, menari-nari di udara, belum disentuh sama sekali sejak tadi. Dean tiba-tiba beranjak untuk memesan kopi yang kedua. Seakan menyerahkan waktu sejenak untuk Ardith berpikir dan mempersiapkan yang akan datang.

Sebab firasatnya berkata akan ada sesuatu yang datang.

“Lu nggak mau pesen makanan?” tanya Dean kala kembali ke kursinya.

Ardith menggeleng, senyumnya lebih luwes kali ini, sehingga Dean ikut tersenyum padanya. Ia menopang dagu dengan kepal tangan mengamati temannya yang tampak santai. Kehidupan pemuda di hadapannya seolah tanpa beban dan selalu sesuai dengan apa yang ia inginkan.

“Lu selalu dapet apa yang lu mau, ya?” celetuk Ardith ingin tahu.

Dean mendongak dari cangkirnya, “Kenapa lu bisa menyimpulkan kayak gitu?” tanyanya tertarik menaikkan alis, seringai kecil muncul di bibirnya.

Bahu Ardith mengedik, mengalihkan pandangan, “Entah, lu terlihat amat menikmati hidup tanpa struggle.”

Jawabannya memicu lantunan tawa dari Dean, temannya menggeleng-geleng kecil, “Gua cuma menerima apa yang terjadi di hidup gua aja, mungkin karena itu,” lalu white noise di kafe mengisi jeda suaranya, “Salah satunya gua menerima ditolak Gama,” lanjutnya masih tertawa.

Ardith mengangguk, tidak bisa ikut tertawa karena berpikir mungkin sebenarnya Dean tidak baik-baik saja. Pemuda itu seperti berbakat menyimpan emosinya karena tidak terbaca. Setiap hari hanya ada Dean yang tenang meski ada badai di dalam hatinya.

Dean menyeruput kopinya lagi, “Beberapa hari yang lalu gue nembak Gama, kan, karena, yah, udah merasa yakin kita bakal jadi juga, gua ngerasa dia punya perasaan yang sama, but unexpectedly dia nolak gua.”

Ardith tak berani untuk menjeling, jemarinya hanya kian mengerat di cup kopi yang hangat namun tidak membakar kulitnya. Perasaan terbakar itu mungkin tidak akan muncul di kulitnya karena cup kopi didesain untuk bekerja menahannya. Akan tetapi, hatinya tidak dirancang untuk menahan rambatan rasa terbakar sebab arah pembicaraan mereka mulai mencapai titik yang ia harapkan.

“Gua agak kaget pas dia nolak, karena gua mikirnya kita nggak mix signal sama sekali. Awalnya, dia nggak kasih tau gua alasan kenapa dia nolak, tapi akhirnya dia terbuka. Dan dari sana, gua baru tau kalau lu suka sama dia juga, makanya gua mau ngajak ngobrol karena merasa nggak enak.”

Pupil Ardith membulat terkejut, meski ia sudah berfirasat bahwa Gama tahu, namun, mendengarnya langsung dari orang lain membuat hatinya tersengat sedikit. Sebab, akhirnya, ia mampu mengonfirmasikan segala ambiguitas perilaku Gama.

Oh bangsat, rasanya ia makin sakit hati karena dipermainkan oleh temannya.

Sorry,” ujar Dean memecahkan lamunan, memaksanya untuk menatap pemuda tersebut dengan seksama. Ardith tak mampu menafsirkan makna dari matanya selain sesal dan ketulusan. Pemuda itu tersenyum agak tertahan, lantas menggigit bibirnya seakan ia menjadi oknum yang paling bersalah di antara mereka semua, meskipun sebenarnya ia termasuk korban.

Kepalanya menggeleng dengan cepat, Ardith ingin tertawa untuk menaikkan atmosfer namun yang keluar malah kikik canggung bahkan untuk rungunya sendiri.

“Gue juga nggak mikirin banget,” salah, Ardith selalu memikirkannya setiap saat.

“Udah lama gue suka sama dia, jadi biasa aja kalau liat dia pacaran atau flirting,” bohong, tetap ada sesak di dadanya kala ia melihat Gama bersama orang lain.

“He can’t ever look me back, I know since the start,” but it still hurts.

Ekspresi Dean kian muram mendengar pernyataannya, temannya mengambil sesuatu dari ranselnya lalu menyodorkan sebuah jurnal pada Ardith di atas meja.

“Ini,” ujarnya, Ardith mengerutkan kening melihat buku yang tak ia kenali sebelumnya, “Dia nolak gua karena mau menyelesaikan perkara dia sama lu. Ini jurnal hasil maling di kos dia sebenarnya, karena gua yakin dia nggak berani. Baca dulu aja, mungkin lu bakal tau satu dua hal.”

Temannya segera merapikan seluruh barang bawaannya, “Gue duluan, ada janji lain sama orang.” Dean menepuk bahunya dua kali lalu menjejak pergi meninggalkannya seolah mengetahui bahwa Ardith memerlukan waktu sendiri.

Ardith memandang dengan ragu jurnal yang tergeletak di hadapannya, mulai membukanya dan terkejut sebab disambut dengan namanya sendiri di halaman pertama.

Pada halaman kedua ia mendapati judul yang Gama tuliskan, “Alasan lo harus suka Ardith.” Temannya menuangkan poin-poin yang memenuhi kertas tersebut. Bagaimana Gama menyadari bahwa suara Ardith lebih besar saat tertawa, bagaimana ia akan melukis saat mulai stres, bagaimana lagu yang ia dengarkan sesuai isi hatinya, bagaimana ia suka sendiri namun benci sendiri, bagaimana senyumnya lebih lebar saat Gama datang menemuinya, bagaimana Gama menjumpai Ardith pernah tidur sambil berjalan.

Ia membalik halaman satu persatu, membaca daftar ratusan alasan mengapa Gama harus jatuh cinta dengannya. Ia menggores tentang Ardith dari hari ke hari, pekan ke pekan, menguatkan pondasi untuk membalas perasaannya. Ardith menggigit bibir menahan tangisnya tidak menduga bahwa temannya melakukan hal sejauh itu. Berusaha memiliki perasaan serupa meskipun pemuda tersebut tidak memiliki tanggung jawab atas perasaan yang berlabuh untuknya.

Namun pada lembar terakhir, di bawah list, Gama menuliskan sesuatu dengan guratan yang lebih keras, tintanya tebal, halamannya hampir sobek, ada sisa kopi dan bekas air mata di sana.

Ardith, maaf, you are beautiful but I can't see you as more than a friend. I feel so sorry, gue usaha sebisa gue.

Air mata tanpa sadar turun di pipi Ardith, kepal tangan ia bawa ke depan mulutnya untuk digigit. Dadanya begitu sesak ia memukulnya berkali-kali sebab tidak bisa melepaskan seluruh emosinya di ruang publik.

Ardith tidak tahu apa yang harus ia rasakan saat ini. Sedih? Marah? Kesal pada Gama atau dirinya sendiri? Semuanya begitu memilukan serta memalukan, ia hampir membenci perasaannya sendiri yang membuat mereka berada dalam keadaan seperti ini.

Di halaman terakhir, saat Gama merasa gagal melakukan segalanya yang mampu ia lakukan untuk jatuh cinta pada Ardith. Ia hanya menuliskan satu kalimat sederhana yang membuat hatinya kian terluka.

Do everything that makes Ardith hate me, so he can move on.

Kalimat itu seperti pelatuk yang memicu gulungan memori di kepalanya berputar. Bagaimana Gama memperlakukannya seperti orang tolol karena cinta, sebab ya, Ardith memang tolol, ia setuju.

Kadangkala pemuda itu akan memperlakukannya sebagai orang paling penting, dalam kesempatan lain ia menghantamnya jatuh ke lapisan terbawah bumi. Permainan yang Gama lakukan benar-benar merusak pandangannya mengenai temannya. Namun tetap saja, ia sudah buta, hatinya tetap di sana, meski ia diperlakukan dengan tidak seharusnya oleh Gama yang diam-diam mengetahui perasaannya, namun ia tetap menaruh harap.

Like a fool that he is, but love makes everyone become a fool.

Ardith menyandarkan punggungnya ke kursi, kepalanya menengadah.

Seandainya ia menyerah sejak awal dan tidak keras kepala, mungkin Gama tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini, mungkin mereka akan tetap jadi teman baik, mungkin mereka tidak perlu menyakiti satu sama lain.

Lagi-lagi seandainya, ia marah pada dirinya sendiri.

© impsaux #br