BROKEN RHAPSODY
2115 kata. slice of life, fluff.
Rekomendasi lagu: Bravo, my life! – Eric Nam.
p.s kalau bisa bacanya pelan-pelan, semoga berasa (?)
Wisuda
Wisuda, katanya.
Sebuah seremoni bahagia usai melewati rintangan. Sebuah selebrasi pencapaian tertinggi dalam masa perkuliahan, kendati nantinya masih perlu menanjak ke level yang lebih banyak ujian.
Selebrasi besar bukan menjadi salah satu kebiasaan Ardith sejak dulu, namun kali ini, ia membiarkan dirinya tenggelam dalam euforia kemenangan mahasiswa. Mereka mengenakan toga dan saling membidik momen pada lensa kamera. Mengucapkan selamat dan sukses karena telah berhasil melewati masa perkuliahan meski berdarah-darah. Sebab, apa yang lebih menyenangkan dari merayakan kesuksesan dengan sejawat?
Penggemarnya datang dan menunggu di luar auditorium, berperilaku seperti fansite idol korea yang mengabadikan momen untuk diunggah ke internet. Dulu, ia tak nyaman dengan flash kamera dan atensi, namun saat seseorang terpaksa berada dalam sebuah kondisi, mereka akan beradaptasi, dan Ardith pun demikian.
Ia mendapatkan puluhan rangkai bunga. Semua hadiah sudah dibawa pulang oleh orang tuanya yang menerima dengan senyum, merasa bahagia karena putranya dicintai banyak orang. Mereka merelakan Ardith menikmati sisa waktu di kampusnya; berkeliling, mengamati satu persatu sudut yang selalu ia singgahi, menjejak pada tempat yang banyak menorehkan kisah dalam perjalanan hidup Ardith belakangan.
Saat ia mengobrol dengan teman-teman satu jurusan ponselnya bergetar, ia mendapatkan pesan baru dari Atof di grup Rhapsody.
Founder 🎸 Guys, kumpul di satu spot 15 menit lagi ya, foto bareng, masa wisuda empat orang sekaligus nggak ada foto Depan audit sebelah kiri, gue sama zio udah di sini
Saka 💰 Kenapa ga sekarang bang? Gue udah di depan audit padahal
Founder 🎸 Kalau mau ke sini boleh, tapi masih ada orang tuanya zio juga
Dean 🎸 Lagi diskusi mau nikah pake adat apaan ya tof
Founder 🎸 HAHAHA
Senyum kecil mewarnai wajah Ardith saat membaca balon pesan, hangat merambat di hatinya. Hari ini ia sangat emosional dan mudah tersentuh karena perkara sederhana, ah, rasanya menyenangkan karena ia mampu wisuda bersama rekan seband. Mungkin di antara banyak dukungan yang Ardith dapatkan, anggota Rhapsody menjadi salah satu penyokong terbesar meski mereka semua memiliki jurusan berbeda. Selalu hadir saat ia butuh teman mengetik skripsi kala suntuk, mengobrol dengan topik melompat hingga hampir pagi. Pertemuan langsung jarang mereka lakukan, namun keberadaan teman-temannya yang saling berkejaran meraih titel menjadi pemacu tertinggi.
Ardith segera pamit undur diri pada teman-temannya karena pesan di grup, bergerak ke posisi Atof sesuai arahan. Ia tak melangkah tergesa-gesa, berjalan lambat dan hati-hati seolah berada di titian, mendengar dengung obrolan orang lain yang tak sengaja masuk ke gendang telinganya. Menikmati gemerisik daun, desau angin, tawa yang mengudara—kapan lagi ia akan menikmati hal seperti ini?
Matanya bersirobok dengan Gama yang berjalan dari arah berbeda.
Mereka sama-sama mematung di tempat, Ardith merasa nostalgia ke masa perjumpaan pertama dengannya.
Pemuda itu masih sama menawannya sejak terakhir kali Ardith bertemu secara langsung. Kemeja putih membalut tubuhnya, toganya sudah tanggal, kaki jenjangnya dibungkus celana bahan hitam. Rambut kecokelatannya agak berantakan tertiup semilir angin. Tanpa sadar kepala Ardith memiring menatap Gama, menyunggingkan senyum padanya yang segera dibalas dengan malu-malu, ujung bibir temannya masih kaku. Ardith tertawa dan menderai gelak tawa juga dari Gama, pipi temannya merona, entah karena panas mentari atau memang malu.
Tak ada kemurkaan yang menghampiri Ardith saat melihatnya; marahnya sudah menguap, sedihnya sudah meluruh, yang ada hanya afeksi, mungkin bukan afeksi serupa seperti dahulu. Namun, Gama tetap memiliki sudut khusus di hatinya.
Selalu.
Hatinya mulai memaafkan saat detik terus berdetak.
Ardith memaafkan, bukan karena ia malaikat dan Gama bisa secepat itu dimaafkan, namun karena Ardith berhak mencari kedamaian. Ini semua bukan perkara tentang Gama, ini tentang hatinya sendiri yang putih bersih lalu dinodai titik-titik kebencian; yang seharusnya tak perlu ada di sana.
Jika ia tak membenci sesuatu, ia tak perlu dongkol setengah mati. Tak perlu bereaksi berlebihan lagi pada sesuatu yang menyentil hati.
Ini semua perkara Ardith, bukan Gama. Jadi, jika ada yang bertanya, “Kenapa lo maafin Gama semudah itu?” lantas Ardith akan bertanya kembali, “Kenapa ia perlu susah memaafkan orang? Apakah ia perlu benci setengah mati? Bukannya itu malah menghabiskan energi?“
Ya, Gama menyakitinya, sangat amat sakit; bajingan, babi, jancok—sumpah serapah yang ada di muka bumi akan ia daftar jadi satu untuk mengungkapkan perasaannya. Akan tetapi, lambat laun rasa sakit itu menghilang, sembuh dengan waktu. Apakah ia perlu memupuk benci ketika ia sedang berusaha sembuh?
Jawabannya tentu saja tidak.
Ia tidak akan sembuh, jika tidak melepaskannya.
Melepaskan dan memaafkan menjadi tahap-tahap yang perlu ia lakukan untuk mencari kedamaian.
Distansi mereka menipis karena keduanya melangkah maju, bertemu di pertengahan.
Ardith langsung menyadari mata Gama berkaca-kaca saat mereka berhadapan. Pemuda itu menengadah ke langit menahannya agar tidak jatuh.
“Don't you want to hug your friend? Ngucapin selamat?” tanyanya karena Gama hanya memandang tanpa bersuara sama sekali, matanya seolah memancarkan banyak pesan tersirat yang ingin pemuda itu sampaikan namun kepalanya terlalu berkecamuk.
Sejurus kemudian, tubuhnya direngkuh erat oleh orang yang pernah ia pikir akan jadi dunianya.
Gama memeluknya dalam hening, aroma tubuhnya masih sama seperti dalam memorinya: familiar dan meneduhkan. Ardith mulai melingkarkan kedua tangannya juga, menepuk punggung Gama pelan dan berulang ketika sadar ada isak kecil yang muncul dari birai temannya. Ardith merasa terharu, namun sudah memilih untuk tidak menangis hari ini.
“Udah berapa kali nangis hari ini?” bisiknya.
Dekapnya kian teguh, “I'm sorry,” katanya. Lantas Gama melepaskan pelukan, menyeka air matanya sendiri kemudian tertawa. Ardith ikut terkekeh pelan, menghapuskan sisa air mata di pipi Gama dengan jari-jarinya.
“Jelek dah lu make up-nya luntur—di-make up siapa nih?“
“Temen, biasa psikologi—cewek, katanya biar nggak kumel sendirian pas foto.”
Saka memanggil nama keduanya dari arah lain membuat mereka menoleh, Ardith melambai padanya. Ketiganya berjalan beriringan menemukan Dean sudah di sana terlebih dahulu; tampak lebih beraura dari biasanya karena berpakaian formal—meskipun setiap hari pemuda itu memang mengenakan baju yang tampak mahal, karena, well, FEB.
“Silau banget dah si Dean, heran gue,” tukas Ardith.
“Setuju, dia jalan doang juga semua orang nengok,” Saka kian mencondongkan kepala ke Ardith untuk mengobrol, “Kalau dia lagi makan siang di kantin FEB semua orang ngeliatin anjir, gue suka nggak berani nyamperin, circle dia hits di FEB,” tambahnya dengan pembuka gosip seperti biasa.
Ardith mengangguk sepakat, “Nggak bisa diragukan, liat aja jam yang dipake.“
“Apalagi kalau gue yang jalan, lebih banyak penggemar,” sela Gama.
Telapak tangan Ardith memukul belakang punggung Gama dengan kencang memicu ringisan dari bibirnya. Ia menarik Saka untuk berjalan dengan langkah besar, meninggalkan Gama yang berseru karena dibiarkan sendiri. Tawa hadir di antara Ardith dan Saka.
Ketika sampai di tempat sesuai arahan, ia agak terkejut mendapati penampilan Atof. Leader band Rhapsody itu jarang berpakaian mencolok atau mengundang lirikan, biasanya hanya kasual dan tampak nyaman, namun kali ini Atof sama rapi dengan mereka yang wisuda: kemeja bercorak kotak-kotak dipadu dengan jeans longgar biru gelap, bahkan pemuda itu mengenakan sepatu derby, rambutnya bergaya comma, niat sekali untuk bertemu mertua.
“Wihh, yang wisuda siapa dah, rapi banget lu, bang,” celetuk Gama tiba-tiba seolah mengetahui isi pikiran Ardith.
Atof tertawa, meninju Gama dengan kepal tangan di lengan atasnya.
Usai mereka berkumpul, Atof yang menjadi fotografer impromptu mengatur tripod untuk mengabadikan momen mereka.
“Teriak kejuuu!” instruksi Atof dari jauh, lalu mereka berempat berteriak hingga mulut semuanya mengerucut jelek, dasar Atof.
Mereka berfoto dengan berbagai gaya; kadang berempat dengan ekspresi beraneka ragam, lalu berlima dengan Atof yang diangkat ramai-ramai, lantas berenam dengan Saka berada di tengah wisudawan, kemudian Abin datang untuk melengkapi anggota setelah menyelesaikan kelas.
Atof berjanji akan mengunggah fotonya ke cloud usai itu.
Ardith tak yakin pernah merasa sebahagia ini sebelumnya.
Kadang saat seseorang terlalu bahagia, mereka juga takut akan ada kesedihan yang jatuh menimpa.
Ardith menjadi salah satunya yang mulai khawatir meski masih bercengkrama dengan kenalannya. Di tengah kegelisahan yang melanda, ia segera menarik diri untuk mencari ruang sunyi agar bisa berpikir dengan tenang.
Kakinya mulai berkelana lagi kemana saja, ia sedikit melamun seraya menatap ujung sepatunya yang naik turun menyentuh aspal. Tanpa sadar, pohon-pohon tinggi sudah berada di sisinya, Ardith mendongak, cahaya matahari yang masih bersinar terang tertutup oleh dedaunan. Ia mencari spot yang nyaman untuk duduk, namun malah mendengar bunyi daun kering terinjak di sekitarnya. Bulu kuduknya tiba-tiba meremang ngeri, apakah sungguhan akan ada kejadian tidak menyenangkan di hari bahagianya?
Dengan ragu ia mendekat, kepalanya melongok mencari sumber gemerisik daun-daun kering yang terinjak dalam sunyi. Akan tetapi entah naas atau beruntung, dari balik pohon, ia malah mendapati Atof dan Zio sedang memojok—ya Tuhan, dasar pemuda dimabuk asmara.
Ardith mendesah lega, tidak menghampiri dan memilih untuk menyembunyikan diri, ingin mengintip karena hei! siapa yang tak suka dengan kisah romansa nyata? Ia tak bisa menahan diri.
Mungkin kedua temannya berpikir tak akan ada yang menemukan mereka karena sudah mengembara sejauh ini. Apes saja mereka, ada Ardith yang juga tengah mencari ruang hening untuk berpikir; keluar dari pesta pora dan keramaian.
Kedua pendiri band Rhapsody itu tengah bercumbu di bawah pohon ratusan tahun yang besar, tinggi, dan rindang. Perlahan dan hati-hati, hanya menempel dan mengisap bibir satu sama lain dengan tempo sangaaaat lambat. Pipi Ardith memanas, berpikir ternyata ia sudah lama tak merasakan hal seperti itu. Ia menggigit bibirnya sendiri agar tak bersuara karena sungguhan merasa tengah menyaksikan film, tanpa sadar juga menahan napas. Ardith kembali bersembunyi di balik pohon merasa malu menangkap basah kedua temannya.
“I love you, I'm proud of you,” suara Atof lirih namun masih terdengar.
“I love you as much.“
Bibir Ardith mengulum senyum menemukan nada suara sarat bahagia. Ada tawa yang mengisi usai itu, kekehnya lambat laun hilang. Ardith mengintip lagi, kedua temannya hanya saling memandang penuh afeksi, membuat Ardith menanti tidak sabar. Bodohnya, ia malah merasa sungguhan menonton film di bioskop.
“Hei,” Atof kian mendorong Zio untuk bersandar di batang pohon.
“Yeah?“
“Could I kiss you again?”
Zio segera menangkup pipi kekasihnya untuk meraih bibir Atof. Kedua temannya berciuman lagi, mulai tampak intens membuat jantung Ardith melompat. Ia buru-buru menarik diri memberikan privasi sebelum kelepasan berteriak, “WE NEED MOREEEE.“
Saat ia mencari ruang sepi lain, kakinya malah bergerak ke danau, dan menemukan Dean dan Gama tengah duduk di pinggiran. Sedang menatap jauh seolah menunggu kapal yang akan membawa kekasihnya pulang di pesisir pantai.
“Lo tau nggak kenapa gue masuk psikologi?“
Dean menggeleng pelan.
Gama melemparkan kerikil ke danau, “Biar gue bisa mengatur emosi sendiri. Gue berusaha nyoba implementasi apa yang gue terima, but it's easier said than done. Ngontrol emosi nggak semudah itu, lihat gue, banyak melakukan kesalahan, terlalu dikontrol emosi dan perasaan, meskipun gue tahu apa yang harus gue lakukan, tapi tetep aja gue disetir.“
Dean tidak membalas, justru ikut melemparkan kerikil.
“Kalau lo disetir perasaan, gue disetir otak deh, biar match,” balas Dean ringan lantas terkekeh.
“Stop flirting, bokap lo masih nyetir pulang,” Gama tertawa, menyerahkan sisa kerikil di telapak tangannya pada Dean untuk dilempar.
Dean hanya mengedikkan bahu cuek, ujung bibirnya naik ke atas, “Habis ini lo mau kerja dimana?”
“Mmm, gue nggak pengen jadi budak korporat, tapi belum yakin mau kemana.”
Ponsel Ardith bergetar lagi di sakunya membuatnya mengalihkan fokus, ia mendapatkan pesan dari Jani bahwa wanita itu sudah berada di depan auditorium. Tanpa pikir panjang, Ardith beranjak pergi, melirik sekilas pada punggung kedua temannya yang masih berbincang, ia yakin cepat atau lambat mereka akan bercerita mengenai rencana prospek ke depan padanya.
“Didittttt, selamat wisudaaaaaa,” teriak Jani dari jauh, membawa sebuah handbag yang belum Ardith ketahui isinya. Wanita itu merengkuh tubuhnya seperti ibu yang bangga dengan anak. Mengambil swafoto berkali-kali untuk diunggah ke instagram
Ketika Jani sibuk sendiri memilih foto untuk diunggah, Dominic mengulurkan buket cokelat seraya tersenyum bangga padanya, “Selamat wisuda, bocah,” katanya.
Kini Ardith menggenggam handbag dan buket, alisnya naik saat menilik pakaian Dominic dari bawah ke kepala, ia tampak rapi tipikal Dominic namun lebih mengeluarkan usaha dari biasanya. Pemuda itu berdeham membersihkan kerongkongan saat sadar sedang diamati lamat-lamat.
“Kak Dom mau ketemu orang tua aku nggak?” godanya.
Sontak bola mata Dominic melebar karena kalimatnya, “Masih ada?“
Mata Ardith berkilat, rasanya selalu menyenangkan menggoda Dominic, ia ingin tertawa, “Bercanda, udah pulang duluan. Nggak mau peluk wisudawan?”
Lagi, mata Dominic melebar karena kalimatnya. Akan tetapi kali ini ia lebih cepat menetralkan ekspresi.
“Kenapa jadi berharap afeksi dari saya?”
“Kak Dom nggak mau ngasih?”
“Mau aja, tapi nanti nggak akan berhenti.“
Ardith mengangguk-angguk paham, “Dari kemarin juga nggak berhenti.”
“Jadi sekarang memberi peluang?“
“Emang dari kemarin nggak kasih peluang?”
“Enggak juga, kalau kayak gini jadi jelas.“
“Kak Dom aja kaku kayak orang tua.“
Dominic berdecak sebal karena kalimatnya, namun merentangkan tangannya ragu-ragu, lantas Ardith segera memeluknya. Tubuh yang lebih tua agak kaku—mungkin karena malu atau tegang, Ardith hanya terkekeh pelan, akan tetapi pemuda itu mulai menepuk punggungnya.
“You did well, Dith. If I were you I'd not survive, but you did, I'm really proud of you.“
Ia menyimpulkan senyum.
“Thank you,” bisiknya di bahu Dominic, mulai familiar dengan harum tubuh pemuda yang merengkuhnya.
Kemarin Ardith merasa ia selalu menjadi tokoh sampingan di kisah hidup orang lain, menyaksikan lakon utama mengalami berbagai banyak hal. Sekarang, ia yakin ia adalah seorang karakter utama.
© impsaux #br