BROKEN RHAPSODY

1288 kata. hurt/comfort.


051. Ekspektasi

Ardith melepaskan ponselnya usai membaca deretan notifikasi dan pesan yang masuk. Keadaannya tidak membaik sama sekali meski tidur sepanjang hari. Kepalanya kian berdentum tak karuan seperti ada yang sengaja memukulnya—untuk menghancurkannya perlahan-lahan. Akan tetapi di tengah pertemuan kepalanya dengan tembok tanpa sadar karena berdenyut, ada yang terasa lebih menyakitkan: ekspektasinya sendiri pada seseorang.

Ia sudah berusaha menghapus ekspektasi dari kamus hidupnya sejak lama. Dari tahun ke tahun, ia sudah tidak berharap akan ada yang memberikan hadiah ketika hari ulang tahunnya tiba atau sekadar mengingat dan mengucapkan. Sudah tidak lagi berharap pada teman kelompok ketika mereka perlu bekerjasama menyelesaikan tugas. Sudah tidak lagi berharap akan ada orang lain yang berlaku baik padanya tanpa pamrih, maka dari itu ia berusaha menjadi baik agar semua orang tak keberatan menolongnya. Ardith, menerapkan hal tersebut sebagai salah satu pondasi hidup, dan ia pikir semuanya berjalan sesuai ekspektasinya.

Sampai semuanya tidak berjalan sesuai ekspektasinya.

Saat orang jatuh cinta, mereka condong menghubungkan perkara sederhana yang sama sekali tidak berkaitan dengan objek afeksinya karena ingin terkoneksi. Seperti, saat tidak sengaja mengenakan baju berwarna serupa, atau sama-sama memilih buah apel ketimbang pir. Mereka ingin terhubung dengan orang yang mereka suka, maka dari itu otaknya bekerja demikian. Dan Ardith—menjadi salah satu korban—tak bisa mengelak tatkala otaknya juga selalu menautkan dirinya dengan Gama; yang mana lebih banyak menghasilkan luka. Sebab itu semua hanya buah pikir dan ekspektasinya sendiri pada temannya.

Dan ketika ia menghilang dari pagi dan tak membalas pesan Gama. Ia berharap Gama setidaknya memikirkannya dan mencarinya; yang mana sebuah ekspektasi baru untuk dirusak.

Ardith berusaha mengubur ekspektasinya dalam pejaman mata dan dentuman kepala yang tak usai kendati sudah meminum obat. Memikirkan berapa bpm ketukan stabil yang terjadi di kepalanya. Apakah yang paling lambat? Atau yang paling cepat? Sebab rasanya seperti peluru ditembakkan secara konstan ke seluruh kepalanya, sakit, meski ia tidur beralaskan bantal yang empuk.

Setengah jam mencoba, akhirnya ia kembali terlelap dengan mimpi semua barang di sekitarnya menjadi lima kali lebih besar darinya. Mengabaikan bunyi perutnya karena merasa mual. Memeluk selimutnya karena menggigil meski tubuhnya terasa terbakar dan keringat turun di dalam kaosnya sebesar biji jagung.

Ardith, kali ini, benar-benar ingin ditemukan.


Yang mana benar ditemukan.

Ia merasakan telapak tangan dingin menyentuh dahinya, “Panas banget, sakit tuh bilang, tolol, jangan diem doang,” disertai cemooh kasar dari suara familiar. Matanya tetap terpejam karena perih, merasakan selimutnya ditarik lantas tubuhnya meringkuk seperti udang lantaran kedinginan.

“Tadi siang udah makan belum?” tanya suara familiar itu. Berusaha membuatnya duduk bersandar pada dinding dan mengganti kaosnya yang basah dengan keringat.

Ardith menggeleng, menyuarakan belum namun yang terdengar hanya bisik tak nyata. Hela napas keluar dari Gama yang segera sibuk sendiri dengan ponselnya. Ia membuka kelopak matanya, semuanya terasa berputar.

“Apa yang lu rasain sekarang?” tanyanya pelan, menatapnya dengan raut khawatir. Tangannya yang menempel di sebagian lehernya membuatnya bergidik, namun lambat laun menjadi sejuk dan nyaman. Ibu jari Gama bergerak membentuk pola melingkar dengan pelan. Secara otomatis, Ardith menyondongkan diri pada sentuhan itu.

“Sakit,” bisiknya dengan suara serak. Gama meraih gelas yang entah sejak kapan ada di sekitarnya, menyuruhnya minum beberapa teguk air, lidahnya pahit.

“Apa yang sakit? Kepala?”

Ia mengangguk pelan, Gama menepuk bantalnya agar ia kembali tidur. Mulai mengurut area kepalanya yang sakit, denyutnya agak mereda karena hal tersebut.

“Udah minum obat belum?” tanyanya.

“Pagi.”

“Gue lagi beli makan—nanti lu makan, minum obat, baru boleh tidur lagi.”

Ardith bergumam pelan sebagai jawaban yang tidak yakin akan terdengar. Menikmati pijatan yang ia peroleh dari temannya. Merasakan napas hangatnya sendiri yang keluar dari indera penciuman. Mendengarkan senandung pelan yang tak sengaja terlantun oleh Gama dalam heningnya ruang.

“Kenapa nggak bales chat gue dari tadi siang? Kan gue bisa ke sini duluan.”

Napasnya terhenti, tiba-tiba Ardith merasa tenggorokannya dicekik. Ia menggigit bagian dalam bibirnya. Menarik udara dalam-dalam sebelum menghembusnya pelan; yang mana membuatnya semakin peka tentang denyut di kepalanya. Gama hanya menatapnya lembut tanpa tuntutan. Selalu seperti Gama yang menguarkan aura hangat. Dan saat ia tidak membalas, Gama menambahkan, “We've been friends for years, Iam maybe the most clueless person but I can pick one or two things, Dith.”

Ardith tetap memilih untuk membisu.

The thing is... he wants to be found. Or wishes to be found.

And Gama found him, again. Like the way he wishes. Like the way his stupid mind wants.

“Gue tidur tadi,” jawabnya setengah berbohong. Sebab Ardith memang terlelap usai membaca pesan dari Gama. Ia tidak siap melakukan konversasi serius di tengah ketukan stabil di kepalanya. Atau sebenarnya ia tidak siap menerima sengat dari tempat yang berbeda.

Suara orang memanggil nama Gama terdengar dari luar, sepertinya ojek online. Temannya menghentikan tangannya yang memijit, menoleh ke pintu sekilas lantas kembali pada Ardith. “Sebentar, gue ambil makanannya dulu, jangan tidur.”

Ia mengangguk lemah, kasurnya bergoyang karena pergerakkan Gama. Simpul di dadanya seolah melonggar memudahkannya bernapas lantaran tidak perlu mengobrol perkara tersebut. Meski ia yakin topik ini akan kembali muncul suatu saat nanti.

Layaknya kilat, Gama mulai menyuapi Ardith sup daging yang ia beli, mengompres kepalanya, membuatnya menenggak butir obat hingga diserang kantuk.

Ia berharap kepalanya terasa lebih baik saat bangun.


Yang mana tidak terasa lebih baik.

Ardith bergerak gelisah dalam tidurnya, bermimpi acak tentang hal menyedihkan. Ia tidak bisa mengingat apa yang menjadi bunga tidurnya karena semua peristiwa seakan tumpang tindih, menghimpit dadanya dimulai dari kerikil kecil hingga bongkah batu yang tidak tergerus kendati dihujani tetesan air. Napasnya tersengal-sengal, ia berusaha mencengkeram selimutnya untuk memproteksi diri. Dan tatkala Ardith merasa tidak sanggup dengan seluruh kejadian yang menimpanya, ia berusaha lari karena tahu itu hanya sebuah mimpi. Dengkuran pelan dari Gama dan langit-langit kamar menjadi sambutan pertama ketika matanya sontak terbuka lebar.

Pipinya basah dan matanya sembab, pandangannya kabur karena bulir yang masih mengalir. Inderanya kembali peka dengan denyut yang tidak tertahan. Ia menarik rambutnya dengan tenaga yang tersisa namun sia-sia, mencoba duduk dan membenturkan kepalanya ke dinding lantaran dentumnya tidak berhenti.

Benturnya kian kuat karena Ardith merasa sakitnya berkurang ketika kepalanya bertemu dengan benda keras itu. Ia melakukannya secara konstan, mulai menikmati tempo yang ia adu antara dentumnya dengan bunyi di dinding.

“Dith?” suara serak Gama tidak menahannya untuk berhenti. Temannya bangkit dari posisinya dengan setengah mengantuk, terkejut menemukannya sedang menyakiti diri sendiri. Dengan tergesa Gama menariknya ke rengkuhan. Mengelus kepalanya kemudian mengurutnya teratur.

“Kepala gue sakit...” rintihnya, volume suaranya nyaris tak tertangkap terhalang bahu Gama yang berkemeja.

“Iya, apalagi kalau dibentur ke dinding, nanti lebih sakit.”

Gama memperbaiki posisi bantalnya agar Ardith dapat tidur lebih nyaman. Lantas ikut berbaring di sisinya dan menguap dengan lebar. Pemuda itu menekan vertikal area keningnya secara berulang. Memperhatikan matanya dengan lembut yang mengeluarkan bulir air. Ia menunduk, takut jika Gama bisa melihatnya.

“Jangan nangis nanti tambah pusing,” Gama menariknya ke rengkuhan. Telapak tangannya mendarat di bagian belakang kepalanya untuk diurut.

Dengan lemas Ardith menggenggam sejumput pakaian Gama yang bisa ia raih. Mencekalnya agar tidak menghilang meski ia yakin temannya tidak akan pergi ke mana-mana. Menghirup napas dengan dalam, menyimpan aroma tubuh Gama yang tidak akan pernah ia dapatkan kecuali dari jarak sedekat ini.

Have you ever wish you could unlove someone?

Mungkin aroma Gama yang menenangkan, atau gelapnya kamar Ardith, atau bertambahnya denyut di kepala karena tangis, atau perih mata dan perut teraduk, atau segala sesuatu yang memaksanya berada dalam situasi seperti ini; hatinya melolong tidak ingin dijerat di dalam cangkang, mendorongnya untuk menumpahkan rahasia dengan tiga kata sederhana di ujung lidahnya yang tidak pernah sampai ke pemiliknya.

I love you,” bisiknya lirih.

Tangan yang berada di kepalanya berhenti sejenak. Ah, agaknya Ardith memang kelepasan, ia menghitung bom waktu namun malah merasakan Gama kian membawanya ke dekapan. Menarik keluar ekspektasinya yang selalu ia coba kubur tiap berusaha merangkak.

You'll be fine, I promise you'll be fine.”

Ia berharap hatinya juga akan baik-baik saja sesuai perkataan Gama.

© impsaux #br