GIVE UP

Retak

Pijak Jendral membawanya menuju teritori Mayor. Tidak ada Hakam yang terpindai oleh retinanya ketika ia mengetuk pelan dan membuka pintu selayaknya kamar sendiri. Ia hanya menemukan Mayor yang tengah makan di meja belajarnya, seraya menonton video ASMR di youtube.

Ia mulai duduk di ranjang temannya, pemuda itu memutar kursi mengetahui eksistensinya. Menyunggingkan senyum meski masih mengunyah. Digerakkan kursi beroda tersebut dengan Mayor yang masih duduk hingga sampai di hadapannya.

Pemuda Agustus itu meletakkan punggung tangannya pada dahi Jendral, “Masih anget deh. Kenapa ke sini?”

Keyakinannya bilang ia lebih hangat sebab ulah Mayor, lantaran tangannya yang mengalirkan temperatur itu. Menjalar hingga sudut terpojok hatinya yang selalu digembok namun berhasil didobrak olehnya. Senyum di matanya berhasil tertular pada Jendral. Ia ikut menaikkan bibir.

“Memastikan lo makan.”

Mayor tertawa, merdu—Jendral tidak jemu mendengarnya meski sudah belasan tahun. “Gue pasti makan soalnya laper banget.”

Ia melirik sekilas ke kasur seberang, berisyarat, “Hakam belum balik dari kelas?”

Kedik bahu ia dapat sebagai respon, “Nggak liat dari tadi juga. Pas dihukum di lapangan doang dia kasih minum, terus pergi.”

Jendral mengangguk paham.

By the way, gue lumayan buru-buru—masih ada hukuman lagi setelah ini.” Ujar Mayor menepuk pahanya satu kali.

“Lah? Kok ada lagi?” Tanyanya bingung.

Mungkin otoritas OSIS untuk menjerakan sungguh dipakai sebagai alasan, mereka melimpahkan kekesalan pada Mayor sehingga ia menerima hukuman bertubi-tubi.

“Iya, kan gue bilang nama gue ada di buku hitam. Jadi, hukumannya lebih dari satu.”

“Hukuman karena kesalahan apa lagi?”

“Ketahuan ciuman sama Aga.”

Jendral mengerutkan keningnya, tidak mengerti.

“Loh, bukannya udah?”

“Ada yang lain.”

Napasnya seperti tercekik di tenggorokan.

“Oh.” Jawabnya sederhana.

Jendral mulai menunduk menghindari netra temannya. Memilin ujung sweater biru yang ia kenakan di luar piyama. Ia tidak seharusnya bereaksi seperti ini, namun dadanya kepalang sakit.

Keheningan mulai mengisi tensi yang terbangun. Mayor seolah menunggu apa yang akan Jendral katakan, mengetes dalamnya air.

Usai menenangkan kepalanya yang berkecamuk, ia kembali menengadah. Memberanikan diri memandang temannya. Ia menelan liur dengan kasar, tatapan milik temannya seperti menantang seberapa jauh mereka akan tenggelam.

“Lo kalau mau ciuman tuh, di kamar kek, atau kamar mandi. Gue nggak pengen lo dihuk—”

“Bukan karena lo nggak mau gue ciuman sama orang?”

Mayor menatapnya kian dalam, matanya gelap seperti ruang hampa, namun ada sepercik kilat asa.

Asa yang selalu ia kobarkan bertahun-tahun, namun nyalanya sering ditiup angin, dibasahi hujan, ditutupi kabut oleh Jendral. Asa yang sedikit lagi padam karena apinya sudah tidak sanggup untuk bertahan.

Ia tertegun sebab kalimatnya, terlalu lama mengambil jeda karena terperangkap pada manik tersebut. Mulutnya sedikit terbuka untuk menjawab, namun lidahnya kelu.

Ya, Jendral hanya ingin bibir Mayor menyentuh miliknya. Menciumnya hingga dia kehabisan napas, atau kehilangan waras. Mencari pegangan karena lututnya menyerah, atau tubuhnya pasrah. Ia ingin Mayor, ingin pemuda itu menggila karena Jendral pikir ia sudah cukup gila.

Akan tetapi ia terlalu takut untuk berjalan di titian, kesetimbangan yang sudah ia takar tidak perlu ditambah entitas lain karena jika salah satunya berubah lebih berat, ia belum tahu akibat yang akan menghampiri.

“Lo apaan dah,” jawabnya pelan penuh ragu. “G-gue balik kamar dulu,” lanjutnya tergagap, bangkit dan hampir membanting pintu.

Setiap jejak yang Jendral ambil, ia mendengar bunyi retak paling memekakkan menghalau seluruh frekuensi lain. Retak yang sengaja ia pukul dengan palu untuk memecah hatinya, dan juga, satu hati yang tertinggal.

© smoldoy #giveup