GIVE UP

Non linear narrative, friendship, hurt comfort, slight codependency mayjen


Hakam, Jendral dan Mayor

Hakam pertama kali bertemu Jendral ketika ia berkunjung ke rumahnya.

Akhir pekan itu biasa saja, tidak ada yang spesial pula dengan diri Jendral saat mereka berjabat tangan, ayah mereka berlalu begitu saja untuk mengobrol karena sudah lama tak bersua, ia duduk di samping Jendral yang mulai memainkan nintendo-nya lagi. Hakam sesekali melirik pada layar kecil yang menampilkan piksel gim yang Jendral mainkan, ia punya nintendo yang serupa hanya berbeda warna casing.

Bocah itu tidak mengajak Hakam berbicara sama sekali, mungkin karena malu lantaran ia masih orang baru. Namun tiba-tiba, setelah Jendral menyelesaikan satu babak, ia menyodorkan nintendo miliknya pada Hakam, “mau main juga?” Tanyanya malu-malu seraya menunduk.

Hakam menyengir lebar, dari sana ia mulai berteman dengan Jendral.

Hari kedua, ketiga, keempat, hingga seterusnya, mereka masih berjumpa karena liburan sekolah. Mereka mulai mengetahui fakta-fakta kecil tentang satu sama lain seiring berjalannya waktu; seperti Jendral yang suka pelajaran matematika padahal Hakam membencinya setengah mati. Dan Hakam yang menyukai sejarah dan sering membuat Jendral mengantuk tatkala mendengarkan ceritanya mengenai penaklukan Konstantinopel.

Bunyi mobil lain yang masuk ke pekarangan rumah Jendral membangunkan bocah itu saat Hakam bercerita mengenai konspirasi sejarah yang ia temukan di sebuah website. Ketika Hakam berceloteh dengan seru, Jendral berlari ke jendela kamarnya dan menyibak tirai, meneliti siapa yang datang. Senyumnya muncul lagi setelah kantuk mendera lantaran dongeng dari Hakam.

Jendral membuka pintu kamarnya meski orang yang baru saja datang belum muncul batang hidungnya.

“Maaf, Jen, aku diajak main dulu sama temen-temen aku di Bogor.” Bocah itu mengelus rema Jendral hingga ke tengkuknya ketika mereka berhadapan, menyunggingkan senyum. Hakam memperhatikan figur yang kini di depan teman barunya, bocah itu lebih jangkung dari Jendral, akan tetapi jika ditilik dari tinggi mereka bertiga, Jendral memang terbilang memiliki daksa yang paling kecil.

Jendral mengangguk memaklumi, memberikan senyum terbaiknya, ia menarik bocah yang bersamanya menuju Hakam, yang tengah duduk di atas karpet kamar Jendral, uno stacko masih berserakan di sana.

“Hakam, ini Raj- Mayor. Mayor ini Hakam anaknya temen ayah.” Tidak seperti anak kebanyakan, Mayor melayangkan fist bump di udara.

Bocah itu tidak sepemalu Jendral, ia dapat akrab dengannya dalam waktu sehari.

Namun kali ini, aura keakraban Mayor hilang ditelan bumi.

“Udah gue bilang, nggak usah ke kamar kalau nggak penting.” Kalimat yang muncul dari Mayor begitu dingin, membuat Hakam bergidik. Ia menemukan senyum Jendral jatuh seketika tatkala kalimat itu selesai diucapkan. Telapak tangan Jendral mengepal di sisi tubuhnya.

Hakam berjalan dengan tergesa ke hadapan pemuda April yang berada di bawah kusen pintu, mengajaknya untuk segera keluar dari kamarnya.

“Jen, ayo makan, gue juga laper.”

Jendral menggeser tubuh Hakam yang memblokade pandangannya dari Mayor yang tengah duduk di mejanya, mengerjakan entah apa pada laptopnya.

“Lo kenapa sih akhir-akhir ini?” Tanya Jendral suaranya bergetar, Hakam bisa melihat pemuda itu menggigit bibir bawahnya untuk mencegah tangis setelah kalimatnya meluncur.

Beberapa hari terakhir memang Mayor mulai menjauhi Jendral sesuai permintaan Hakam. Pemuda itu selalu mengabaikan Jendral di setiap kesempatan membuat Jendral mengeluarkan gurat kesedihan. Hakam hanya berpikir Jendral harus terbiasa dengan semua perilaku baru Mayor, ditambah dengan eksistensi Nagara yang bisa menjadi sebuah alibi bagi Mayor, Hakam merasa dapat melindungi Jendral dari sikap bajingan Mayor.

Namun agaknya, Hakam salah kaprah.

“Kalau gue punya salah, bilang! Jangan kayak gini. Lo kira gue bisa baca pikiran, Yor?” Air mata Jendral turun satu, pemuda itu mengusapnya dengan kasar.

Siapa juga yang kuat jika teman dari seumur jagung tiba-tiba berperilaku dingin tanpa sebab? Nihil.

“Udah marahnya? Gue masih sibuk, Jen. Mending lo sarapan sama Hakam, sana.”

Raut wajah Jendral nampak semakin kecewa, wajahnya memerah entah menahan murka atau pilu. Sedangkan Mayor tidak beralih dari layar yang menampilkan dokumen dengan baris paragraf panjang. Hakam merasa ia tengah menyaksikan film drama persahabatan anak sekolah.

“Jawab dulu lo kenapa?!” Jendral hampir berteriak, ia menghampiri Mayor dengan langkah nyaris menghentak, menarik kerah depan Mayor hingga berdiri. “Lo kalau mau gue lenyap dari hidup lo, bilang! Anjing!” Ia menatap Mayor dengan amarah yang mengumpul di durjanya, Mayor berdecak sebal nampak tidak terpengaruh, demi Tuhan aktingnya bagus, Hakam ingin berseru NICE ACT.

“Kenapa jadi childish gini? Lo 17 tahun, Jen.”

Hakam terbelalak, ia tidak tahu jika Mayor memiliki lidah yang tajam karena tidak pernah melihat pemuda itu menuturkan belati.

Pupil Jendral kian melebar, ia mendorong Mayor yang mendengus, melepaskan kerah seragam yang lebih tua. Kepalanya mulai menunduk, “s-sorry, g-gue kaget aja.”

God, Hakam benar-benar merasa ia tengah menonton drama, namun kali ini di dunia nyata. Ia belum pernah mendapati perubahan drastis mimik Jendral seperti ini, pemuda itu terlalu menyembunyikan ekspresinya dalam senyum yang tidak kentara entah senang atau sendu. Sepertinya Mayor memang memiliki pengaruh sebesar itu pada Jendral, Hakam kiranya berlebihan, ya?

“Sor- sorry gue nggak tau kenapa lo tiba-tiba kayak gini, g-gue salah apa?” Nadanya tersendat-sendat, hati Hakam mencekit memandangnya, tujuan ia menjauhkan Mayor dari Jendral bukan ini, “jangan diam aja, gue nggak akan g-ganggu k—”

Mayor mengerling pada Hakam, pemuda Juni itu paham bahwa Mayor bisa melakukan hal yang lebih bajingan dari ini dan membuat Jendral membencinya seumur hidup. Namun apakah itu yang Hakam harapkan?

Ia menyerah, menggesturkan tangan di udara dengan samar, membiarkan Mayor bertindak sesuai biasanya.

Pemuda itu langsung mendekap Jendral.

“Lo nggak salah, gue yang salah, mood gue lagi kacau karena mikirin festival jurusan. Maaf, ya?”

Jendral memukul punggung Mayor berkali-kali sebagai jawaban, seolah tengah menghukum perilakunya yang berengsek beberapa hari terakhir. Wajah pemuda itu semakin tenggelam pada bahu Mayor yang tengah merengkuhnya. Tidak ada balasan kalimat koheren selain isak yang mulai muncul namun teredam helai pakaian.

“Jangan nangis, gue minta maaf.”

Ah, sepertinya Hakam akan menyetujui kutipan yang berkata friendship break ups hurt more than romantic break ups.

“Jangan nangis, nanti di kelas mata lo makin nggak ada. Malu kalau ditanya alasan lo nangis jawabannya karena didiemin Mayor.” Ujarnya ringan, Mayor sempat tertawa pelan untuk menaikkan suasana. “Gue janji nggak gitu lagi. Udah ah, gue ikut sedih, nih.”

Ketika Hakam ingin melewati mereka berdua untuk keluar dari pintu — karena merasa menginterupsi intimasi mereka —, ia berbagi pandangan dengan Mayor, dirinya semakin bergidik menemukan pemuda itu memberikan lirikan tajam padanya seolah mengatakan we need to talk. Ia menelan ludahnya yang menyangkut.

Hakam menjejak kaki dengan terburu-buru, ia menyugar surainya ke belakang ketika menuruni tangga, helaan napas panjang muncul dari bibirnya, sepertinya pilihan Hakam untuk menjauhkan Jendral dari Mayor bukan sebuah keputusan yang tepat.

Ia tidak akan pernah bisa memisahkan mereka berdua, meskipun untuk kebaikan Jendral sendiri.

Mereka memang diciptakan untuk satu sama lain, kan? Meski terkadang tidak semuanya bergerak sesuai ekspektasi.

Mayor pulang kembali ke Bogor meski baru sebentar berkunjung ke rumah Jendral, yang lebih muda mencebikkan bibirnya tidak rela lantaran sang teman harus kembali; kendati gelap malam sudah menjemput.

Bocah itu memeluknya sebelum merangkul Jendral sama erat, “temenin Jendral kalau aku nggak bisa di sini.” Mengujarkan kalimat sederhana seperti anak umur tiga belas pada umumnya, akan tetapi rungunya menangkap itu seolah sebuah wasiat.

Hakam selalu mengawani Jendral ketika Mayor tidak dapat bertandang. Namun waktunya pun habis, ia harus pulang ke Bandung. Tahun berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk memilih sekolah menengah atas yang sama dengan Jendral, menuruti permintaan Mayor, bak kalimat itu menancap di kepalanya.

© smoldoy #giveup