GIVE UP

Mention of pet death, bittersweet (again)


Bonbon

Mayor tidak mengingat kapan tepatnya awal mula Jendral menjadi seseorang yang memasung emosi. Hanya menumpahkan keberagamannya di hadapan Mayor.

Keistimewaan itu hanya milik Mayor. Jendral terhitung jarang nampak rapuh di hadapan orang selain dirinya, bahkan pada orang tuanya sendiri. Temannya hanya tersenyum pada semua orang seolah emosinya cuma berlabel bahagia.

Namun di depan Mayor, jika ada Mayor di sekitarnya, emosi itu tumpah ruah, kadang membuatnya kewalahan karena banjir emosi. Entah karena bertahun-tahun bersama, atau memang Jendral merasa nyaman menelanjangi perasaan di hadapannya.

Tatkala dirinya datang ke kamar Jendral, Yoga di ranjang seberang sudah tidur dengan selimut menutup hingga ubun. Sedangkan Jendral duduk di sisi ranjangnya, menunggu, membaca salah satu buku yang baru saja ia beli ketika mereka kabur. Ia menengadah ketika lututnya bersentuhan dengan kaki Mayor di hadapannya.

Pemuda itu tersenyum menemukan Mayor. Rasanya Mayor ingin menghentikan Jendral untuk tersenyum. Namun ia menyukai senyum dengan mata bulan sabit itu terlepas emosi yang dikeluarkan selalu berbeda dari motifnya.

Ia tidak menemukan mata sembab, atau tanda lain yang mungkin dilakukan oleh orang berkabung. Sebab, tentu saja Jendral tidak akan membiarkan dirinya melakukan sesuatu yang membuat orang lain khawatir. Temannya terlalu baik bahkan untuk dirinya sendiri.

Mayor duduk bersila di depan kaki Jendral, menyandarkan kepala di lututnya. Dirinya merasakan Jendral mengelus surainya. Mulutnya mendesah lega mendapatkan kenyamanan yang menyelimutinya.

Rumah.

“Lo bau kendaraan.”

“Gue langsung lari ke sini.”

Sorry.”

“Jangan bilang maaf, gue yang pengen ke sini.”

Ia meletakkan tangannya di atas milik Jendral yang tengah mengusap rambutnya, menariknya untuk digenggam. Kini dagunya bertumpu pada lutut Jendral, ia mendongak. Tersenyum pada Jendral.

“Gimana ceritanya?”

Jendral mengerutkan hidungnya, tersirat raut sendu yang akan mudah terlewat jika bukan Mayor yang memindai. Pandangan Jendral beralih untuk berpikir, temannya jarang menatap mata orang lain terlalu lama saat mengobrol.

“Sopir gue bilang Bonbon tadi dibawa ke rumah sakit tapi udah nggak bisa ditolong, karena udah tua juga dan udah lama sakit. Detak jantungnya makin lemah dan beberapa jam kemudian nggak ada.”

Mayor bergumam paham, “kenapa nggak pulang?”

Jendral menggeleng, melirik pada Mayor sepersekian detik, “gue takut nggak mau balik ke asrama lagi. Tadi dikasih fotonya juga.”

Pemuda Agustus itu bangkit dari posisinya, kini Jendral yang menengadah.

“Ya udah, sekarang tidur, udah tengah malam juga, gue temenin sampai lo tidur.”

Tubuh Mayor terasa lengket karena seharian di luar, namun ia tetap naik ke kasur, menemani Jendral yang tidak keberatan menerima dekapnya meski berpeluh.

Ia menepuk punggung Jendral berkali-kali hingga napas pemuda di pelukannya teratur, mulai terlelap.

Napas berat keluar dari bibir Mayor tanpa sadar. Ia merasa sedikit menyesal lantaran waktu seperti mengujinya untuk memilih hari ini—padahal ia tahu siapa yang menempati puncak piramida prioritasnya, akan tetapi alam semesta menyudutkannya—meletakannya di posisi yang menjengkelkan.

Seperti orang bodoh, atau seperti orang yang tidak punya pendirian? Nampaknya Mayor dianggap demikian. Ia juga mengerti, namun apa dikata, orang tidak memahami apa yang tengah ia alami.

Sorry.” Gumam Mayor lirih.

Tangan Jendral yang melingkari pinggangnya mengerat, seolah membalas permintaan maafnya yang kelewat tak terdengar. Napas Jendral masih teratur, tempo tepukan yang ia lakukan kian berjarak.

Sorry.” Repetisinya pelan.

“Nggak usah ngerasa bersalah, Yor, nggak ada yang tau Bonbon pergi hari ini.” Jendral membalasnya membuat tubuh Mayor menegang kaku. Sempat menyangka temannya sudah tertidur. Ia menghembuskan napas dengan panjang.

“Jen, coba ngomong ya, tentang perasaan lo ke orang lain, mulai cerita tentang apa yang lo lakukan tiap harinya.”

Tidak ada respon dari Jendral, mata Mayor menatap dinding yang tidak menarik, pikirannya berkelana.

Hari ini Jendral tidak mengatakan apa yang ia rasakan padanya, kendati ia mengerti meski Jendral tidak menuturkannya. Akan tetapi tidak semua orang seperti Mayor, mereka belum tentu dapat menguraikan bidak pada diri Jendral.

One day, kalau gue nggak ada, kalau gue nggak bisa di samping lo lagi, kalau gue... entah—mungkin ninggalin dunia duluan dari lo, gue pengen ada orang lain yang kapabel buat nepuk punggung lo kayak gini, yang jadi tempat lo buat berkeluh kesah, yang jadi source of comfort for you and vice versa.”

You wanna leave me, dont you?” Ia merasakan tangan Jendral meremas pakaiannya.

No, nggak akan.”

Then dont say that, gue nggak mau dengar kalimat itu.”

Mayor kian menarik Jendral ke dalam pelukannya, surai temannya menggelitik dagu.

Mungkin ia tidak akan pergi, atau mungkin malah Jendral yang memilih bertolak karena suatu saat nanti temannya akan jatuh cinta pada orang lain. Mulai melupakan keberadaan Mayor. Menemukan rengkuhan baru yang mampu menghilangkan resahnya, menemukan rumah nyaman lain yang lebih baik dari pada Mayor.

Atau mungkin Mayor akan sungguhan menyerah lebih dulu, melepaskan Jendral, memandang orang baru yang kini mulai masuk ke hidupnya, tanpa bayang-bayang Jendral di belakangnya. Tidak mencari sosok Jendral pada insan lain, tidak menjadi bajingan dan mempermainkan perasaan sendiri.

Namun bagaimana mungkin ia bisa menyerah, jika ia tetap membawa Jendral pergi bersamanya?

Mayor tidak bisa pergi karena ia butuh Jendral. Terlepas opini yang masuk ke telinganya menganggap Jendral nampak ketergantungan padanya.

Padahal sebenarnya, Mayor yang berpegangan pada Jendral. Ia tidak akan mau bolak balik bertandang ke rumah Jendral setiap memiliki waktu luang jika bukan dirinya yang merasa bergantung.

Mayor merasakan tubuh Jendral bergetar di dalam dekapannya.

Ia sedikit memberikan jarak, mengangkat dagu Jendral yang bersandar di dadanya. Pemuda itu memejamkan matanya kuat-kuat.

“Jen, buka mata, lihat gue.”

Air mata jatuh dari pelupuk mata temannya saat dibuka. Oh, sweet boy, Jendral, Mayor merasa ia umur sepuluh lagi ketika Jendral tersenyum memberitahunya ia mengadopsi Bonbon. Kendati posisinya agak canggung, ia menangkup pipi Jendral dengan kedua tangan agar temannya tidak bisa mengalihkan pandangan. Ibu jarinya menghapus bulir yang mengalir.

“Bonbon udah bahagia di sana, udah nggak sakit lagi.”

Jendral mengangguk samar sebab kalimatnya.

“Karena Bonbon udah bahagia, Jendral juga harus bahagia. Boleh sedih, tapi jangan lama-lama, ya? Gue ikut sedih lihatnya.”

Pemuda di hadapannya mengangguk lagi.

“Sekarang jangan mikir apa-apa, lo tidur karena Bonbon juga lagi tidur dengan tenang, besok semuanya bakal baik-baik aja, okay?”

Air matanya turun lagi, Mayor ingin mengecupnya pergi.

Jendral memperbaiki posisi tidurnya hingga kepalanya beralaskan bantal, mulai memejamkan matanya kembali. Mayor mengusap daun telinga Jendral untuk menenangkannya, membuat pemuda itu mendekat pada sentuhnya seperti kucing. Senyumnya terulas sebelum berdiri untuk kembali ke kamarnya.

“Tidur di sini aja.”

Pergerakannya terhenti ketika merasa bagian belakang bajunya ditarik.

Ia memandang tangan yang menggenggam sejumput pakaiannya untuk menahan.

Sepertinya semenjak Mayor mulai menghapus garis semu itu, Jendral ikut berani melangkah melewatinya.

“Gue ganti baju dulu.” Ia meraih pergelangan tangan yang mencekalnya, meremasnya pelan. Jendral menatapnya dengan mata masih berkaca-kaca, temannya sedikit menengadah agar buliran itu tidak jatuh.

“Tidur di sini?” Tanyanya dengan suara bergetar.

Kepalanya mengangguk.

“Pake baju gue, ambil dari lemari.” Cicitnya lemah.

Ia yakin tenggorokan Jendral begitu perih karena menahan perasaannya sendiri.

Mayor kembali naik ke ranjang Jendral usai mengganti pakaian yang lebih nyaman, temannya langsung memeluknya lagi. Melesakkan kepalanya di bahu Mayor.

“Raja, thank you.” Bisiknya.

Perasaannya kian tak karuan.

© smoldoy #giveup