GIVE UP
Additional Tags: bitter sweet, i guess.
Mayor Rajabuming
Terdapat bunyi nyaring mesin mobil yang masuk ke pekarangan rumahnya ketika Jendral tengah berkutat dengan debu di rak buku. Ia menarik helai tirai yang menutup jendela, menemukan sebuah kendaraan roda empat yang familiar dalam memorinya terparkir di sana. Pintu belakang alat transportasi itu dibuka, memunculkan sosok yang sudah menjadi bagian hidup Jendral lebih dari setengah umurnya.
Pemuda yang keluar dari kendaraan itu merenggangkan otot tubuhnya, kedua tangannya berada di udara. Ia menyapa asisten rumah tangga yang ingin berlalu setelah membukakan gerbang rumah Jendral untuknya, bercakap-cakap sekilas lantas menepuk punggungnya lantaran sudah mengenal begitu dekat.
Semua orang yang bekerja di rumah Jendral tentu tidak asing dengan Mayor. Bahkan supir pribadi Mayor kini mulai turut nimbrung untuk berkonversasi dengan ART rumahnya, terlalu mengenal lantaran sering berkunjung. Ujung bibir Jendral naik ke atas mengawasi hal itu.
Mayor tidak pulang ke huniannya di Bogor, pemuda itu langsung ke Jakarta untuk menemuinya.
Pemuda itu meninggalkan mereka berdua, masuk ke dalam kediaman Jendral seakan-akan tempat itu merupakan rumahnya sendiri.
Jendral menutup gordennya, menantikan kedatangan Mayor.
Ketika pintu kamarnya berderit, Jendral berbalik dan menemukan Mayor segera berjalan menujunya. Inderanya mendapati pemuda yang lebih tua itu mengenakan pakaian kasual seperti biasa, kaos hitam yang dilapisi dengan jaket jeans berwarna coklat, dengan rambut yang mencuat ke segala arah amat semerawut; panorama yang terlalu sering Jendral jumpai, namun tidak pernah menjemukan.
Pemuda itu langsung merengkuhnya kuat-kuat. Penciuman Jendral segera dipenuhi oleh semerbak harum khas Mayor yang tidak pernah hilang dari lintasan ingatannya. Membuatnya berpikir apakah Mayor juga merenungkan hal yang sama ketika mendekapnya, apakah sebuah aroma akan mengingatkan Mayor pada dirinya jika mereka tengah tidak berjumpa.
“Sorry.” Kata itu menjadi ujar pembuka Mayor setelah sepekan lebih tak bertemu. Pemuda yang lebih tua melepaskan pelukannya dan meremas kedua bahu Jendral dengan sedikit tekanan, membuat Jendral mendesis. Suaranya asing, suara Mayor rasanya amat asing ketika berdengung di telinga Jendral, seperti ia tidak mengenal sosok yang kini tengah menatap netranya—mungkin karena ia sudah lama tidak mendengar frekuensi itu—; mencari sebuah pengampunan.
“Sorry, hm?” Tawarnya lagi untuk kedua kali sebab Jendral bergeming, tengah berusaha menggeledah makna di balik pandangan yang Mayor berikan. Pemuda yang lebih tua menaikkan salah satu alisnya, menunggu Jendral meluncurkan jawaban yang ia harapkan.
Jendral menyerah dengan ikhtiarnya, lantas mengangguk pelan, “barang lo udah dimasukin semua?”
Pemuda itu menggeleng, “cuma ngeluarin tas baju gue, paling besok sore gue ke Bogor, kasian Pak Edi kalau bolak-balik bawa barang.”
Kepala Jendral menganggut sebagai tanggapan, “mau mandi? Apa mau makan malam dulu?”
Mayor mencebikkan bibir bawahnya, “lapeeer,” merengek.
Jendral terkekeh, menggiringnya ke lantai bawah untuk makan.
Ketika mereka menyantap hidangan di ruang makan, kepala Mayor celingak celinguk seperti mencari seseorang. Jendral menurunkan alat makannya, menunggu pertanyaan yang muncul dari Mayor.
“Dari tadi cuma lihat ART lo. Mamah kemana?”
“Pergi ke luar kota sama Pak Nanang.”
“Oh, itu beneran? Nggak cuma alasan?” Ledek Mayor padanya.
Jendral merotasikan bola matanya. Mayor tertawa melihatnya, menyuapkan sesendok nasi ke mulut.
Akhirnya Mayor bercerita mengenai perjalanannya yang mendadak, dimulai dari pertukaran pesannya dengan Nagara yang berkelakar jika Mayor ingin berkunjung pintu rumahnya akan selalu terbuka, dan tanpa pertimbangan dua kali, Mayor memutuskan untuk pergi.
Ia melanjutkan kisahnya dengan deskripsi tiap tujuan wisata yang disinggahi bersama Nagara; satu persatu secara runut seolah tengah meriwayatkan sejarah dari tahun ke tahun. Jendral menyimak dengan seksama seraya menatapnya dalam diam, mendengarkan bagaimana vokal Mayor yang berirama naik dan turun, menyaksikan pergerakan daksa Mayor yang kadang kala membuat ranjangnya sedikit berguncang.
“Gue pengen ke sana lagi, tapi sama lo, Jen.” Tuturnya final menutup kisah itu.
Mayor yang menyorot langit-langit kini menoleh pada Jendral setelah suaranya tidak lagi mengisi ruang. Senyum terpatri di bibirnya sebab telah menyelesaikan dongeng petualangannya. Jendral menawarkan senyum tipis.
“Gue juga jadi pengen ke sana karena cerita lo.”
Kepala Mayor mengangguk semangat, ia mengeluarkan desah senang. Tubuhnya berputar sehingga posisinya berubah menjadi berbaring menyamping serupa dengan pose Jendral, jarak wajah mereka terlalu dekat sehingga pemuda April itu dapat menemukan bulu mata yang jatuh di pipi Mayor.
“Beneran mau, kan, ke sana sama gue?” Tanya Mayor dengan antusias, mengantisipasi, matanya berbinar.
Jendral mengiyakan.
Senyum Mayor kian lebar mendapatkan reaksi seperti itu, membuat hatinya menghangat.
Mayor semakin mencondongkan wajahnya, menghapus jarak, salah satu tangannya yang bebas tanpa tedeng aling-aling mendarat di rahangnya karena kebiasaan, membuat tubuh Jendral menegang sejenak dan rileks. Ibu jari pemuda itu mengelus tulangnya membentuk pola. Mereka saling memandang dalam hening, membuat Jendral takut, takut jikalau detik semakin berjalan dengan jauh netra yang kini mengamatinya dapat membongkar isi hatinya bahwa ia mencin—
Ia memilih untuk memejamkan mata.
“Maaf gue berlebihan.” Kata Jendral lirih.
“Mmm, nggak, nggak apa-apa. Gue yang harusnya minta maaf karena nggak mempertimbangkan keputusan yang gue ambil, maaf ya.”
“Mm-hm.”
Ujung hidung mereka bersentuhan, Mayor menggesekkan hidungnya pada milik Jendral dengan begitu perlahan dan lembut, seperti menikmati bagaimana sentuhan kulit yang samar itu menghasilkan kehangatan; yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
Jendral tahu jika ia membuka kelopak matanya saat ini, ia tidak akan pernah bisa kembali.
Namun singgungan itu begitu lembut, terlalu lembut sehingga dadanya sakit karena ia sudah menahan napas sejak Mayor mulai mencenderungkan diri padanya.
“Raja…” Jendral berbisik, menghembuskan napas hangat yang berpendar sekilas di udara lantas lenyap.
“Sorry.” Mayor membuka matanya, menarik diri dan bangkit hingga duduk di tepi ranjang Jendral, memunggunginya.
“Kamar gue di sebelah kayak biasa, kan?” Prediksi Mayor meloka dari bahu.
Jendral melenggut.
“Gue ke kamar ya, capek banget. Good night, Jen.”
Tanpa menuntut jawaban dari Jendral, Mayor melenggang pergi dari kamarnya, menutup pintu hingga berbunyi klik dengan halus.
Menyisakan Jendral yang berbaring terlentang di ranjangnya, kembali menatap langit-langit kamar, dengan helaan napas berat yang keluar, serta ujung hidung yang terbakar karena ulah Mayor.
© smoldoy #giveup