GIVE UP

kissing scene, bittersweet (again)


Kamar

Jendral menatap ranjang milik Mayor lamat-lamat seolah ia tengah menelitinya.

Ranjang Mayor berukuran single size seperti ranjang di asrama pada umumnya, dan tidak ada perbedaan dengan miliknya yang berada di kamar; yang ia bagi dengan Yoga—kecuali balutan seprai yang dikenakan. Namun ia tetap meniliknya seperti tengah berada di ujung tanduk untuk mengambil keputusan.

Atau memang tengah berada di ujung tanduk karena telah mengambil keputusan.

Ia teringat pernah melihat Hakam yang berbaring dengan menyempil di sisi Riza ketika mereka berbagi ranjang. Pemuda berkulit madu itu perlu menempel pada yang lebih mungil jika ingin semua bagian tubuhnya berada di kasur.

Dan kini Jendral harus melakukan hal yang sama. Ia belum bisa, atau tidak bisa, atau tidak akan pernah bisa membayangkannya.

Namun ia harus bisa, kan?

Mayor keluar dari kamar mandi, membuat Jendral yang tengah berdiri di depan pintu—tengah memandang ranjangnya—memalingkan wajah pada Mayor. Jendral menawarkan senyum yang tertahan, ia hampir ingin meringis di depan Mayor.

Harusnya ia dapat berdalih untuk tidur di kasur Hakam, tapi bodohnya ia juga ingin satu kasur.

“Ngapain diem di depan pintu? Ayo tidur,” ajak Mayor seolah kalimat itu biasa saja. Dan memang biasa saja, jika Jendral tidak memiliki segudang rahasia yang ingin ia sampaikan dan sebuah pernyataan cin—

Ia melangkah menuju kasur Mayor saat pemuda yang lebih tua sudah duduk di sana. Menjatuhkan diri dengan ragu-ragu di samping Mayor membuat tawa pemuda di sebelahnya berderai.

“Lo kenapa tegang banget sih? Gue cuma ngajak merem, tidur, tau-tau besok udah pagi,” tutur Mayor geli.

Ia mengeluarkan tawa untuk menutupi canggungnya, “Aneh aja rasanya.”

Mayor bergerak ke tengah kasur, tubuhnya merapat pada dinding untuk memberikan Jendral ruang agar bisa berbaring. Jendral menoleh ke belakang, menunggu Mayor menyamankan diri.

Menghela napas, Jendral ikut berbaring dengan kikuk. Memunggungi Mayor karena tidak ingin langsung menatap wajahnya. Sebagian tangannya menjuntai di udara karena minimnya ruang.

“Ah, akhirnya,” ujar pemuda Agustus itu seperti merasa puas, terdengar nada geli darinya. Jendral merasa kepalanya dilubangi dari belakang karena tidak tahu bagaimana ekspresi Mayor.

“Lo nggak kutuan, kan?” tanya Mayor tiba-tiba.

“Ya enggak, lah, gila,” sergah Jendral cepat sedikit tersinggung. Mana mungkin kepalanya ada kutu.

“Siapa tau tiba-tiba ada yang loncat ke muka gue.”

“Nggak mungkiiiiin,” pekiknya.

Tawa yang paling Jendral suka berderai lagi. Renyah, tipikal kikik Mayor ketika sedang berbahagia.

Dua jarinya tanpa sadar mengetuk-ngetuk bagian dada yang bertalu kresendo untuk menenangkannya, seolah ketukan itu dapat mengubah ritmenya jika diganggu. Napas hangat kian menerpa tengkuknya ketika Mayor mendekatkan diri, tubuh Jendral menegang kaku.

Lengan Mayor mulai melingkar di perutnya semakin menariknya masuk ke dalam rengkuhan pemuda yang lebih tua, punggung Jendral menempel pada dadanya, jantungnya jumpalitan.

“Tidur, Jen.”

Ia tidak yakin bisa terlelap jika bunyi detak jantungnya memekakkan hingga ke kepala membuat batok itu berdenyut tanpa ampun.

Dan bunyi yang sama di belakangnya juga seperti keluar dari kukungan rusuknya. Terlalu berisik, meski berada di dalam hening.




Contrary to what he thought yesterday, Jendral tidur seperti bayi.

Jendral tidak sering bergerak dalam tidurnya, namun kali ini ia sempat membalikkan badan, membuatnya menghadap Mayor sehingga ketika kelopak matanya terbuka, pemuda itu menjadi pemandangan pertama yang ia lihat.

Morning sleepyhead,” Mayor tersenyum. Salah satu lengannya tanpa ia ketahui kini berada di bawah leher Jendral, ia yakin anggota tubuh itu mati rasa.

Jendral ikut tersenyum malas. “Pagi,” balasnya serak dengan suara bangun tidur, ia mengedipkan matanya beberapa kali membiasakan cahaya yang masuk. “Jam berapa?”

Mayor meraih ponsel yang berada di bawah bantalnya untuk melihat waktu. Sepertinya pemuda itu sudah bangun lebih dulu dari Jendral entah berapa menit yang lalu... atau jam?

“Jam setengah enam.”

Jendral bergumam sebagai balasan.

“Gimana?” tanya Mayor.

Kening Jendral mengerut, “Apa yang gimana?”

“Sekamar berdua sama gue, biasa aja, kan?”

Jendral tidak pandai berbohong, ia hanya pandai menutupi isi hatinya, maka dari itu ia mengangguk samar.

“Kenapa sih nggak pernah mau sekamar?”

Gue takut.

“Bosen sama lo,” balasnya ringan, Jendral memutar badan ingin segera turun dari ranjang dan kembali ke kamar. They have a morning class after all.

Namun pinggangnya dicekal dengan dua tangan yang mulai melingkarinya lagi, membuat pupilnya membesar dan detak jantungnya yang semula konstan mulai naik lagi dengan tidak wajar.

Jendral meneguk salivanya dengan kasar, ia ingin lari.

Mayor memutar tubuhnya kembali menjadi ke arahnya.

“Sepuluh menit lagi,” pintanya.

“Kita bakal telat, Yor. Belum mandi, belum makan, belum pa—”

“Bentar, Jen, cuma sepuluh menit.”

Bibir Jendral terkatup telak, ia mencebikkan bibir bawahnya tanpa sadar.

Mengapa mereka selalu berakhir di posisi seperti ini.

“Gue baru sadar bulu mata lo lentik,” ujar Mayor, jari telunjuknya mencoba menyentuh bulu matanya membuat Jendral menutup mata hingga mengerutkan wajah. Ia menunggu, menunggu, menunggu, menung

Namun tidak ada jari yang mendarat di sana. Hanya suara kekehan yang muncul, membuat Jendral membuka kembali netranya dengan perlahan lantaran ragu.

Dan tampaknya pilihan yang ia ambil kian salah karena Mayor sedang menatap bibirnya.

Jendral menelan ludahnya yang menyangkut.

Ia merasa tubuhnya membeku ketika Mayor mulai mencenderungkan wajahnya seraya memperhatikan bibirnya dengan intens. It’s coming it’s coming it’s coming it’s com

“Jangan, Ja. Aga?” bisiknya pelan.

Raut muka Mayor berubah drastis setelah kalimat itu selesai. Senyumnya luntur tidak tersisa, menjadi muram dan kelabu. Jantung Jendral turun ke perut, ia benci menemukan sendu di wajahnya.

Jendral menunduk sedikit menyesal. Seharusnya ia tidak perlu berkata seperti itu, atau bahkan seharusnya ia tidak perlu menyetujui permintaan Mayor dari awal, atau bahkan seharusnya ia tidak perlu menggagas akan mengabulkan apapun harapan Mayor.

“Sekali,” gumam Mayor lirih, memohon, “Sekali...” ulangnya, “Sekali..., please?”

Ia tidak pernah berani menatap manik Mayor lebih dari waktu yang ia perlukan, namun jemari Mayor mulai mengangkat dagunya hingga pandangan mereka kembali bersirobok. Mata yang melihatnya semakin menyiratkan harapan yang ingin dikabulkan karena terlalu putus asa.

“Sekali, please?” repetisinya lagi, seakan-akan tiga kali pengujaran tidak cukup untuk meyakinkan Jendral. Mayor salah, ia tidak perlu seperti itu.

“Satu kali...” Jendral membalas dengan bisikan, hampir tidak bersuara.

Dan tanpa diberitahu dua kali, Mayor mulai mempertemukan bibir mereka, menyesap bibir bawahnya dengan amat lembut, membuat Jendral meremas bahunya, bulu kuduknya meremang, nadinya kian berpacu. Pemuda itu memutar tubuhnya sehingga kini menjulang di atas Jendral, memagut bibir bawah dan atasnya secara bergantian, tangan Jendral mulai meraba dada Mayor hingga mengalung di leher, akalnya hilang.

Ciuman dari Mayor kian menuntut, giginya mulai menggigit bibir sehingga mulutnya terbuka dan Mayor menyusupkan lidahnya untuk mengabsen ruang itu, menyapu tiap sudut yang bisa ia raih membuat Jendral bergetar, ia semakin mengeratkan lengannya di tengkuk Mayor, menariknya mendekat untuk membalas cumbuan.

Tidak ada yang bernama satu kali karena setelah Jendral mengisi rongga pernapasannya dengan tarikan panjang, Mayor kembali memagut bibirnya dan Jendral membiarkannya.

Dan ini yang Jendral takutkan.

© impsaux #giveup