GIVE UP

Pulang

Nagara ditarik oleh Riza karena sang ibu menelepon untuk mengajaknya bermain ke Bandung seperti semester sebelumnya — yang mana membuat pemuda itu berkicau seperti merpati karena ibunya tampak lebih sayang Nagara daripada Riza anaknya. Kedua pemuda itu pergi lebih dulu setelah memeluk Jendral satu persatu, melirik sinis pada satpam penjaga yang menyangka mereka ingin kabur dari asrama. Keduanya berjalan pelan hingga menghilang di kelokan yang dihalangi oleh wisma tinggi khusus pengunjung.

Kini hanya tinggal Hakam yang berdiri di samping Jendral, pemuda itu tengah membuka aplikasi pesan untuk mengabarkan keluarganya bahwa ia akan berangkat dalam beberapa menit dari asrama, Mayor di sisi lain sedang melakukan obrolan kecil dengan sopir keluarga Jendral, tertawa pelan entah karena apa, rasanya Hakam ingin menginterupsi.

Sejurus kemudian, Mayor menghampiri Jendral, membuat Hakam yang baru saja mendekap Jendral sebagai ungkapan sampai jumpa mundur beberapa langkah, seolah memberikan privasi untuk mereka.

Keberadaan Mayor yang memunggunginya menutupi pandangan Hakam untuk memahami air muka Jendral. Akan tetapi rungunya masih bisa menangkap bisikan mereka berdua. Ia pura-pura memainkan ponsel, menggulirkan layarnya yang menampilkan aplikasi Twitter.

Entah sejak kapan berteman dengan Jendral dan Mayor terasa seperti mengganggu intimasi mereka.

Kepala Hakam sedikit mendongak dan menemukan tangan Mayor sudah berada di tengkuk Jendral seperti biasa.

“Hati-hati, nanti kalau udah sampai rumah chat gue.” Ujar Mayor dengan lembut.

Hakam yakin Jendral mengangguk pelan.

Mereka tidak berbicara setelah itu, membuat Hakam penasaran bagaimana ekspresi keduanya, posisinya sebagai penonton film namun dihalangi tabir sedikit membuatnya geram.

“Salam ke orang tua lo.” Mayor melanjutkan.

Anggukan kedua bisa Hakam rasakan dari Jendral karena ia tahu bagaimana perilaku temannya.

“Salam juga ke orang tua lo, Ja.”

Raja.

Yah, Hakam terkadang masih mendengar Jendral menggunakan panggilan itu pada Mayor saat tak sengaja menguping, namun hanya dalam beberapa peristiwa. Padahal ketika Hakam pertama kali bertemu dengan Mayor pemuda itu sudah tidak pernah disebut dengan nama akhirnya, entah sejak kapan ia mulai mengubahnya.

Tawa Mayor muncul, “masih Raja aja manggilnya.”

“Lupa gue.”

Mayor mengangguk, “nanti gue salamin, lo jangan nyusahin pak Nanang di mobil.”

“Nyusahin gimana, gue cuma duduk, Yor.” Jendral meninju pelan pundak Mayor.

Yang lebih tua mengendik, “entah, siapa tau lo mabok kendaraan.”

Hening lagi.

“Hati-hati.”

“Lo udah bilang hati-hati dua kali.”

“Nggak apa-apa, biar lo makin hati-hati.”

“Iyaaaa,” balas Jendral mengayunkan vokal di belakang, “btw, lo tadi belum makan siang, ya? Aga di ruang makan, gue di kafetaria, lo nggak keluar kamar, belum makan berarti?”

Astaga, Hakam rasanya mau gila mendengarkan mereka karena hanya bisa membayangkan ekspresi keduanya, punggung Mayor amat sangat mengganggu. Namun, ia tetap ingin menguping saking frustrasinya.

“Belum.” Jawab Mayor lirih.

“Habis gue pulang lo makan ya, jangan sakit kayak semester kemarin.”

Mayor berdeham untuk membalas.

Setelah itu mereka saling merengkuh begitu lama, hell, padahal jika dipikir jarak rumah keduanya bisa ditempuh dengan durasi satu jam menggunakan mobil. Namun entah mengapa mereka hiperbola seperti ini.

Mayor melepaskan Jendral, salah satu tangannya masih setia di pinggang pemuda itu, sedangkan yang lain mengusak rambutnya perlahan sebelum membukakan pintu belakang mobilnya, yang lebih muda mulai masuk dan memasang seat belt.

“Hati-hati ya, Pak, bawa Jendralnya, saya percaya sama Pak Nanang.” Tutur Mayor sebelum menutup pintunya.

Pak Nanang memberikan jempol pada Mayor, “pasti, den Mayor.”

Mayor melambaikan tangan di udara pada pak Nanang saat mobil itu melaju, menghembuskan napas panjang di sisi Hakam dengan bahu turun ke bawah ketika kendaraan roda empat itu semakin mengecil dan menghilang dari pandangannya.

“Yor… Yor… dia cuma balik ke rumah, bukan ninggalin lo pergi jauh.” Tutur Hakam, menepuk punggungnya dua kali.

“Entah kenapa tiap Jendral pulang lebih dulu dari gue buat liburan, rasanya sedih.”

Hakam menggigit bibir bawahnya menahan diri untuk melontarkan asumsi, sebagai pengamat bertahun-tahun, sepertinya ia lebih tahu dibandingkan mereka berdua.

#giveup © smoldoy