WRONG STEPS
Rating: Mature Content warning: mild nsfw, angst, sex scene, sad sex, tipsy sex
Minor pretty please back off. I'm begging on my knees
Recommended song: How can I love the heartbreak, you are the one I love by AKMU
Enam: tengah malam
“The hours between 12am and 6am have a funny habit of making you feel like you're either on the top of the world, or under it.” — Beau Tapin || the hours between.
Narendro tahu bahwa ia dan Heksa tidak memiliki sesuatu yang eksklusif, tahu bahwa Heksa hanya datang saat membutuhkannya, tahu bahwa ia hanya sebatas teman yang tanpa sengaja ditakdirkan untuk membantu. Ia tahu tidak ada apa pun di antara mereka. Namun, jika Narendro diperbolehkan jujur pada dirinya sendiri, ia ingin lebih dari itu.
Sudah beberapa pekan sejak terakhir kali Heksa mengirim pesan padanya. Mungkin pemuda tersebut sudah tidak memerlukannya lagi; yang mana sepatutnya disyukuri, namun ia malah merasa gelisah. Menatap layar ponselnya yang tidak berdenting dengan nada berbeda. Narendro pun tidak mempunyai alasan untuk menghubungi Heksa lebih dulu. Hidup mereka terlalu berlainan untuk bertubruk, kecuali ada salah satu di antara mereka yang memulai perbincangan, dan sekali lagi, Narendro tidak mempunyai alasan.
Heksa pun sepertinya menghindar dari Narendro, tidak pernah mengunjungi kosnya padahal ada Regasa di sana; yang bisa saja menjadi sebuah alasan. Mungkin urusan mereka memang benar-benar selesai hanya sampai sini. Dan Heksa sudah terlepas dari adiksinya pada batang tembakau.
Semestinya Narendro senang, kan? Namun, ia malah resah dan mencari gagasan mengapa mereka harus berjumpa kembali.
Heksa seharusnya berterima kasih karena telah ditolong olehnya, mereka seharusnya merayakan keberhasilan, mereka seharusnya mengadakan seremoni terakhir sebelum berpisah jalan.
Namun pada dasarnya, Narendro hanya ingin bertemu dengan Heksa karena merindukannya. Sayang, ia tidak bisa mengatakan hal itu secara terang-terangan.
Layaknya deja vu, kini ia berdiri (lagi) di depan pintu kamar Heksa yang masih tertutup — setelah menyelesaikan pertikaian dalam dirinya.
Gerimis, jam di ponselnya menunjukkan pukul 12.25 malam.
Ketika ia menarik kenop pintu, ruangan tersebut langsung terbuka. Sang pemilik kos tidak menguncinya—mungkin lupa. Hal pertama yang Narendro sadari adalah bau rokok yang dibakar. Ia menghela napas panjang, ia pikir Heksa sudah berhenti dari kebiasaannya, namun ternyata ia tetap menghisapnya saat tidak ada Narendro.
Hatinya mencelos tatkala menemukan Heksa yang sedang duduk di bawah, bersandar pada sisi ranjang, asbak di sebelah kiri dengan belasan puntung rokok yang masih setengah, tangan kanannya meremas bir kalengan. Bukan—bukan itu yang membuatnya mencelos, tapi suara isak kecil yang muncul dari bibir Heksa.
Narendro hampir saja berlari memeluknya.
Kakinya melangkah gontai menuju Heksa; yang belum sadar akan eksistensinya. Lantas, ia menjatuhkan diri di hadapan Heksa yang menunduk. Pemuda itu mendongak memandang Narendro, menyunggingkan senyum tipis dengan bulir air mata yang masih mengalir.
“Narendro.” Sapanya, melepaskan benda yang berada di tangan, mengusap kasar kedua pipinya.
“Hei, kenapa ngerokoknya makin banyak?” Tanyanya begitu perlahan.
Pemuda yang ditanya menoleh pada belasan sisa batang tembakau di sampingnya, menggeleng tidak ingin menjawab. Kedua tangannya menjangkau wajah Narendro, menangkupnya, “Narendro.” Panggilnya lagi.
“Iya, Sa. Gue di sini.” Ia meletakkan tangannya di atas milik Heksa, meyakinkan pemuda di hadapannya bahwa ia memang sedang bersamanya di sana. Ia melihat tetesan air yang turun di pipi Heksa dan menghapusnya dengan ibu jari.
“Narendro…” Sebutnya lagi lirih.
Heksa mencondongkan wajah padanya, “kiss me,” suaranya serak, “please.”
Narendro mendesah pasrah, siapalah ia bisa menolak permohonan pemuda yang membuatnya tidak mampu membedakan hitam dan putih. Detik berikutnya, bibirnya menempel pada milik Heksa yang terasa pahit karena perpaduan bir dan rokok.
Ia berusaha melumat bibir Heksa dengan tempo lambat meski pemuda berkulit madu tersebut mengerang kesal di sela-sela ciuman mereka karena perilaku Narendro.
Ketika Heksa mencondongkan wajahnya setelah mengisi rongga pernapasan, Narendro menahan tengkuknya untuk maju, pandangan mereka bertemu, “gue nggak akan pergi kemana-mana, nggak usah buru-buru.”
Air mata masih mengumpul di pelupuk Heksa, ia mengangguk samar sebelum Narendro mengambil alih dominasi pagutan mereka dengan lembut.
Mereka kembali terbuai dalam ciuman yang memabukkan.
Pipi Heksa semakin basah ketika Narendro mulai menghisap bibir bawahnya penuh perasaan. Menghantarkan afeksi yang tidak akan pernah bisa ia lontarkan pada pemuda Juni tersebut dengan kata. Mengujar isi hatinya melalui pagutan yang akan Narendro sesali karena dirinya tidak boleh seperti ini. Ia membantu pemuda yang sedang menerima lumatan untuk berdiri. Membawanya ke ranjang agar pemuda yang pinggangnya ia tarik mendekat dapat terlelap.
Kecupan Narendro mulai berpindah ke wajah Heksa sebelum pemuda Agustus tersebut menarik diri.
“Lo tidur aja, gue temanin.” Bisik Narendro menghembuskan udara hangat.
Heksa membuka matanya yang sayu dan perih, menatap pemuda Agustus di atasnya yang merusak idealisme mengenai hubungan yang sempurna. Mengelus ujung bibirnya yang kini tidak mengguratkan senyum, menggapai Narendro yang begitu dekat namun terasa amat jauh untuk diraih.
Kepala Heksa terlalu berkabut untuk menyimpan semuanya sendiri, ia tidak ingin lagi berhati-hati di hadapan Narendro. Tidak ingin lagi membiarkan pemuda Agustus di atasnya menganggap bahwa hanya ia seorang yang memiliki perasaan pada Heksa. Tidak ingin lagi membiarkan Narendro di kegelapan jurang sendirian sementara Heksa mencoba terus naik namun tetap gagal.
“Sex with me for the first and the last time, Narendro.”
“Lo nggak bisa ngasih consent dalam keadaan mabuk, Esa.”
Heksa menggeleng, “please.”
“Nggak bisa, kita udah terlalu jauh, Sa.”
“Narendro, please.” Pintanya meremat lengan jaket Narendro yang lembab sebab dijatuhi gerimis.
“Lo harus janji akan berhenti ngerokok setelah ini, bukan untuk gue, untuk diri lo sendiri.”
Heksa mengangguk setuju, merobohkan semua pendirian Narendro yang tidak akan menyentuh kekasih orang lain yang berada di antara kedua lengannya.
Jemari Heksa membantu Narendro melepaskan pakaian yang dikenakan satu persatu, menyisakan celana jeansnya yang longgar tanpa ikat pinggang.
Telapak tangannya menyentuh dada Narendro yang memiliki talu secepat miliknya. Pemuda yang menjulang di atasnya kini melakukan hal yang sama, membantu menanggalkan kaos yang warnanya sudah pudar karena terlalu sering digunakan.
Pertama kalinya, Narendro menggigit kulit di sekitar leher Heksa yang jenjang, menghasilkan jejak biru kemerahan yang akan berubah ungu esok hari. Heksa melenguh tatkala Narendro membubuhkan tanda, meremas rambutnya mendorong lebih dalam untuk memberikan apa yang ia inginkan.
Betapa Narendro ingin berteriak mengenai perasaannya.
Namun isakan Heksa malah semakin terdengar saat Narendro mengecup setiap inci bagian tubuhnya dengan hati-hati.
Rungunya menangkap setiap pilu yang muncul diselingi dengan erangan halus ketika ia menjilat dan menghisap titik-titik yang berpotensi menjadi area sensitif milik pemuda di bawahnya. Lengan Heksa berusaha meredam suara malang yang keluar dari mulutnya meski tidak bisa terhalau. Membuat Narendro ingin mengakhiri kegiatan mereka dan merengkuhnya saja, ingin tidur dengan Heksa yang menenggelamkan diri pada ceruk lehernya dan mereka akan saling melemparkan kalimat cinta hingga terlelap. Tetapi, mereka tidak bisa seperti itu.
“Mau berhenti aja?”
“Jangan.” Larangnya lirih.
“Jangan makin nangis kalau gitu, gue nggak tega.”
“Nggak bisa...”
“Kenapa?”
“Because i love you and it hurts.” Heksa menekan dadanya yang sesak dengan kepalan tangan; sebab perasaan yang tidak seharusnya bersarang di sana membuatnya gamang, membuatnya ingin melepaskan diri dari hubungan yang sudah ia konstruksi selama bertahun-tahun, membuatnya ingin mencapai Narendro yang kini mengeluarkan gurat khawatir yang menyedihkan.
Narendro serta merta membungkam bibir Heksa dengan miliknya, karena ia takut akan membalas ungkapan perasaan yang baru terlontar. Dan esok hari, esok hari, setelah pemuda dalam kuasanya pulih dari mabuk, ia akan melupakan semua luapan perasaan yang tumpah.
Mereka melucuti pakaian terakhir yang masih membalut tubuh masing-masing.
“Fuck me hard, Narendro.”
Narendro mengangguk, air yang menggenang di ujung matanya terpaksa jatuh karena ia tak sanggup menahannya lagi.
Ia kembali membenamkan wajahnya pada tubuh Heksa, mencetak bekas gigitan baru di ruang yang masih kosong, mencecap setiap jengkal hangat yang menguar darinya. Menuturkan kalimat penenang yang begitu meneduhkan namun tidak dapat mencegah sedu yang sudah luruh. Heksa dapat merasakan ketulusan pemuda yang kini menghanyutkannya, membawanya ke awang malam ini.
Setiap hujaman yang Narendro tanam, Heksa akan semakin menarik tubuhnya untuk mendekat, merapalkan i love you, Narendro, i love you, seperti mantra di telinganya, dan Narendro akan merekamnya dalam memori teraman, menyimpannya di sudut terdalam agar tidak pernah melupakan bahwa pemuda yang menukikkan tubuhnya juga mencintainya.
Tubuh Heksa bergetar di bawahnya, kuku-kukunya mencengkeram ke belakang bahu Narendro. Wajahnya basah perpaduan antara keringat dan air mata. Narendro menggigit bibirnya sekuat tenaga hingga mengeluarkan anyir besi, berusaha untuk tidak membalas pernyataan cinta dari Heksa. Karena pada akhirnya, semua yang mereka ungkapkan hanya akan menguap di udara, tanpa bisa diikat, tanpa bisa dipersatukan.
Narendro tidak pernah mengira bahwa mereka akan jatuh sedalam ini, tidak pernah mengetahui bahwa ternyata cinta begitu menyakitkan ketika datang di saat yang tidak tepat, tidak pernah berangan bahwa ia akan mengalami sesak yang begitu menyiksanya sehingga ia lebih memilih untuk mati rasa.
Tempo yang Narendro gunakan semakin cepat, Heksa meneriakkan namanya seperti dirinya hanyalah satu-satunya orang yang pemuda berkulit madu tersebut cintai.
Pemuda dalam rengkuhannya menggumamkan maaf berulang kali di sela menyebutkan namanya, menyatakan penyesalannya mengenai takdir mereka yang begitu memilukan, melafalkan jika mereka memiliki hidup yang lain ia akan mencari Narendro ke ujung dunia, dan akan melisankan ia mencintainya setiap hari.
Tangisan mereka menyatu tatkala mereka mencapai titik putih, Narendro ambruk di atas tubuh Heksa.
Mereka meraup oksigen satu-satu, menatap langit-langit kamar Heksa yang putih tanpa noda.
Daksa Heksa merapat pada sisi Narendro, pemuda Agustus tersebut menariknya kembali ke dalam dekapan. Mengecup dahi Heksa yang basah. Mereka terpejam, mulai mengalah pada rasa kantuk yang mendera, tangan Heksa melingkari pinggangnya erat agar tidak pergi.
Akan tetapi, pada akhirnya Narendro akan pergi, karena mereka bukan apa-apa.
© smoldoy #wrongsteps