WRONG STEPS
Additional tags: character study, slice of life, kind of fluff (?), Heksa-centric, kissing scene as a plot driven, minor merakeno
Notes: pernah merasa rindu sama seseorang tapi nggak tahu gimana rasanya rindu? That's what i tried to deliver here.
Bisa dengerin officially missing you covered by Chris Andrian di youtube, ila suka banget sama suara dia.
celengan rindu
Narendro itu... sibuk.
Tidak bisa mengelak dan bohong kalau perhatiannya tak terbagi, karena sejak dulu juga sibuk, maka dari itu, Heksa hanya mampu maklum.
Sekarang ia lebih sering pulang ke kos Heksa ketimbang kos sendiri, lantaran kalau tidak menyempatkan diri ke sana, tentu saja tidak akan pernah bertemu.
Bahkan ibu kosnya sampai memicingkan mata jika Narendro datang. Pasalnya, ia sering ujug-ujug berkunjung jam satu atau dua pagi, bermalam di kosnya yang khusus untuk satu orang. Membuat Heksa tersenyum malu lalu meminta maaf dan sering memberikan bingkisan tiap awal bulan tatkala ditransfer.
Hari ini pemuda itu juga bermalam di kosnya, namun datang pada jam yang normal. Kekasihnya pulang dengan kemeja yang sudah kusut dan lanyard menggantung terbalik di leher—kekasihnya mulai kerja di salah satu startup hijau kendati masih menyusun skripsi.
“Aku mau ke China dua pekan, besok berangkat.”
Heksa terbatuk mendengar kalimat Narendro yang meluncur santai. Pemuda di depannya hanya makan dengan lahap nasi goreng yang dibeli Heksa sebab enggan masak makan malam.
“Kok baru ngomong sekarang?” tanyanya usai menenggak gelas penuh air yang diberikan Narendro.
“Biar kamu nggak kepikiran aja. Cuma lomba, kalau menang uangnya balik ke kampus, soalnya kita dibiayai—aku ngajuin proposal ke dekan.”
“Kamu mainnya langsung ke dekan.”
“Oh, iya atuh, buat apa kita mencari jaringan jika tidak dimanfaatkan. Sekalian jalan-jalan jadinya, lumayan.”
“Sendirian?”
“Aku ajak Keno dan satu adik tingkat. Si Raki udah dikabarin dari lama jadi riweuh pisan geuleuh, aku jadi mikir nggak mau kasih tau kamu dari jauh hari, karena takut reaksinya sama.”
Heksa mengangguk mafhum, menyendok nasi miliknya karena sangsi ingin menjawab apa. Sebab kalimat yang dikatakan Narendro benar, tentu saja ia akan kepikiran dan menunggu tanggalnya tiba. Namun kalau mendadak begini, ia jadi blank dan bingung.
“Peluk Raki dulu yang lama,” Raki membuka lengannya, lalu Keno menghamburkan diri ke rengkuhan kekasihnya. “I'm gonna miss you, cutiepie.”
Raki menepuk-nepuk punggung Keno dengan lembut, Heksa menyunggingkan senyum memandangnya. Dua insan yang dimabuk cinta itu mulai menggoyangkan bagian atas tubuhnya ke kiri-kanan saking eratnya.
“Cuma sebentar, Raki, masih bisa chat juga.”
“Still, harus kabarin Raki setiap hari.”
“Siap komandan!” sahut Keno dengan suara tegas, melepaskan dekapan mereka dan melakukan hormat pada Raki.
Raki tertawa renyah, menjitak dengan sayang kepala kekasihnya yang menyengir hingga ke telinga lalu mengusak rambutnya.
Ah, mungkin ini akan terdengar tidak bersyukur tapi Heksa ing—
“Aku tau, ayo sini peluk,” ujar Narendro membuyarkan lamunannya, ia menoleh kembali pada kekasihnya.
Pemuda itu mengukir senyum, merentangkan kedua lengannya juga untuk menyambut Heksa. Dengan malu-malu ia datang dalam dekap hangat itu, melesakkan kepalanya di bahu Narendro. Kekasihnya mengelus punggungnya naik turun.
“Maaf bilangnya mendadak, tapi itu bukan karena kamu nggak prioritas. Skripsi kamu lebih penting untuk dipikirin daripada merenungi aku yang ngelancong ke China dua minggu. Dan lagi pula cuma sebentar—nanti aku bawa barongsai dari China.”
Heksa memukul punggung pacarnya karena berkelakar, ia tertawa.
Mereka melambaikan tangan pada Narendro dan Keno yang menyeret koper masing-masing. Usai menghilang dari pandangan, Heksa menangkap hela napas kakak sepupunya yang amat berat di sebelah. Ia menoleh dan mendapati pemuda yang lebih tua setahun tersebut menunduk dengan bahu turun.
“Bakal sepi banget deh dua minggu,” gumamnya sendirian. Aura yang terpancar darinya begitu menyedihkan, kendati Keno baru saja pergi.
Heksa memperhatikan dengan bingung. Ia merasa sedih karena tak merasa sedih. Bagaimana Heksa harus menjelaskannya? Ia biasa saja melihat kepergian Narendro, tidak ada kepedihan di hati atau berekspresi seperti ditinggal jauh. Apakah perasaannya pada sang kekasih tidak sebanyak Raki pada Keno?
Kepalanya menggeleng seolah berusaha menghapus keraguan itu. Ia menepuk punggung Raki dan menggiringnya ke parkiran.
Benar saja, dua pekan tidak ada rasanya bagi Heksa. Ia masih berkomunikasi dengan kekasihnya saat luang. Terkadang mereka melakukan video call jika Narendro menginisiasi. Pemuda itu selalu memberikan pembaruan aktivitasnya di China.
Ia selalu mengulas senyum tiap menerima foto dari Narendro. Memandang cengiran lebar kekasihnya di potret diri yang selalu dikirim dengan pesan, lain kali kita berdua harus ke sini yaaaa.
Tidak ada uring-uringan karena rindu, Heksa fokus mengerjakan skripsinya bersama Regasa di salah satu kafe andalan dengan wifi kencang setiap hari.
Tatkala hari Narendro pulang tiba, ia pun tidak mendapatkan antusiasme menunggu seperti mayoritas orang.
Entahlah, Heksa tidak ingin merenungkannya lebih jauh karena klakson dari mobil Raki amat memekakkan telinga. Kakak sepupunya tidak sabaran setengah mati.
Pasti karena rindu ya…? Hahaha, Heksa meringis.
Mereka menunggu di terminal yang sudah diberitahu. Tidak lama kemudian, sosok yang mereka kenal muncul dengan muka mengantuk. Raki langsung menjejak tungkainya untuk menarik magnet hatinya ke pelukan.
“Sayang ngantuk banget mukanya,” ujarnya pelan namun masih tertangkap oleh Heksa.
“Kemarin begadang ikut party peserta sampai tadi pagi,” keluh Keno setengah merengek pada pacarnya.
Heksa celingak-celinguk mencari Narendro yang seharusnya akan muncul juga. Ketika ia hendak bertanya pada Keno, ia menemukan pemuda itu menyembul di antara beberapa orang dan berlari menuju Heksa yang mengayunkan tangan di udara.
Ia ikut berlari kecil menghampirinya, Narendro—dengan raut bahagia yang amat kentara—segera menyambar wajahnya dengan telapak tangan dan menanamkan kecupan basah membuatnya terbeliak.
Sepertinya ini pertama kali mereka bercumbu di publik. Akan tetapi Narendro nampak tidak peduli, sehingga Heksa memejamkan mata meskipun rikuh masih menguasai dirinya.
Pikirnya si Abang dan Keno saja hanya saling merangkul tatkala bertemu, tapi tumben sekali Narendro berani melakukan sesuatu yang lebih dari itu. Ada apa gerangan pada pemuda tampan yang sedang memagutnya sekarang.
Namun semua ide di kepalanya semakin tertepis saat Narendro kian memperdalam ciuman. Menarik pinggangnya lebih dekat meski sudah tidak ada jarak yang perlu dihapus. Kekasihnya seperti menyalurkan rindu melalui tiap hisapan di bibirnya. Otaknya mulai berkabut.
“Ternyata hidup aku nggak ada kamu setelah kita kenal rasanya aneh, ada yang hilang. I don't wanna take you for granted, terima kasih sudah jatuh cinta ke aku, Heksa.”
Pening. Kepala Heksa pening mendapatkan pengakuan, kendati mulut Narendro memang terlewat manis, ia tetap tidak pernah terbiasa dengan ujarnya. Apalagi ditambah mereka berciuman di depan umum.
Sebelum ia mampu memformulasikan kalimat koheren untuk membalas, kekasihnya melumat bibirnya lagi. Heksa kembali tidak mampu berpikir, lumer dalam tiap pagut yang mereka bina.
Rungunya bisa mendengarkan ringisan orang lain. Tentu saja kakak sepupunya sengaja mendesis geli lebih keras kendati ia suka berlaku lebih ekstrem di khalayak.
“Kita duluan ke mobil,” ucap suara lain yang ia kenali sebagai milik Keno. Sepertinya ia tidak ingin mengganggu, dan Heksa akan berterima kasih padanya nanti.
Narendro melepas pagutan untuk mengiyakan kalimat temannya, sebelum kembali mengunci bibirnya usai Heksa meraup oksigen. Ia merasakan ujung lidah kekasihnya menginvasi langit-langit membuat lututnya gemetar, tangannya yang mengalung di tengkuk kian mengerat.
Rasanya Narendro, semuanya Narendro; pahit lidah sebab kopi yang baru saja ia minum di pesawat, sekuritas tangan yang melingkar di tubuh, hidung yang bergesekkan dengan miliknya saat mengubah sudut untuk semakin menjelajah rongga mulutnya. Seluruhnya Narendro, dan Heksa baru sadar dua pekan terakhir ia kehilangan ini.
“Mau ciuman lagi, atau mau pulang?”
Heksa nyaris gila mendengar bisik rendah Narendro dengan kalimatnya yang berbisa. Ia memandang manik kekasihnya yang begitu kelam, seolah dirinya berada di kedalaman ribuan meter palung mariana, dan tidak bisa kembali.
“Pulang,” cicitnya karena tidak sanggup.
Narendro terkekeh tanpa suara lalu menarik diri. Heksa—yang masih agak disorientasi—digiring oleh kekasihnya menuju parkiran bandara. Pemuda itu meremas jemarinya yang digenggam sesekali untuk membawa pulang kewarasannya.
“Segitunya dicium sampai nggak bisa ngomong,” ledek Narendro amat peka.
Sontak ia memukul punggung Narendro dengan keras hingga bunyi blak tertangkap nyaring di telinganya. Kekasihnya menjerit tidak karuan.
“Kaget tau dicium kayak gitu… di depan umum.” Balasnya malu dengan frekuensi kian menurun di tiap katanya.
“Tapi kamu suka, kan?”
Heksa memilih untuk memalingkan muka karena ia yakin pipinya bersemu.
Langkahnya terhenti ketika sampai di hadapan kendaraan yang ia kenal. Helaan napas panjang keluar dari mulutnya dan sang kekasih secara serentak.
Ya Tuhan, sepupunya malah making out di mobil.
Ia bisa melihat kakak sepupunya duduk di kursi penumpang dengan Keno di pangkuannya. Merangkul pinggang kekasihnya protektif, tidak menyadari ada yang datang.
Narendro memukul bemper mobil Raki berkali-kali lalu bersembunyi, membuat mereka sedikit terlonjak kaget. Kekasihnya menarik jemarinya agar ia ikut merangkung di bawah.
“Kita kerjain dulu,” bisik Narendro pelan seraya terkekeh, meletakkan jari telunjuknya di depan bibir.
Heksa ikut terkekeh, menatap kerling jahil di mata kekasihnya. Lantas, seolah terhipnotis oleh peristiwa yang baru saja ia tonton, Heksa memangkas jarak dan mengecup jari telunjuk Narendro yang masih setia di depan bibir dengan lama.
Pupil kekasihnya melebar sekilas, lalu kembali normal dengan cepat. Bibirnya mengulas senyum karena perilakunya.
Pria Agustus itu menarik jarinya dari depan bibir, ikut memangkas celah untuk menyatukan bibir mereka. Heksa mulai menutup matanya, tersenyum sekilas merasakan kepalanya direngkuh oleh kedua tangan Narendro untuk memperdalam ciuman.
Ah, sepertinya Heksa benar-benar rindu dengan pagutan Narendro. Rindu dengan tangan yang menangkup wajahnya, rindu dengan wangi tubuhnya yang seolah perwujudan musim semi, rindu dengan binar di matanya, rindu dengan tiap tingkah laku yang membuat dirinya tidak bisa menentukan bagaimana rasanya rindu.
Sebab dirinya merasa baik-baik saja saat Narendro pergi, ia pikir ia tidak terlalu cinta. Namun, sekarang ia merasa lebih utuh, seperti puzzle terakhir yang hilang sudah ditemukan dan dipasang untuk melengkapi hidupnya.
“Oh, jadi elo yang mukul mobilnya, Ndro.”
Suara itu membuat mereka melepaskan pagutan. Heksa menoleh ke belakang dan menemukan Keno berada di luar mobil—masih dengan bibir basah dan rambut semerawut—menyandarkan punggung pada kendaraan roda empat milik sepupunya, melipat kedua tangan di perut.
“Lagian malah sosor menyosor, anying,” balas Narendro, pura-pura dongkol.
Kekasihnya beralih kembali menatapnya, melebarkan senyum, mencubit pipinya sekilas, hatinya melonjak.
“Tadi lo juga ciuman, berengsek, makanya gue ke mobil nggak mau ganggu. Sialan lo malah ngusik gue,” jawab Keno nampak agak kesal karena tidak ada balas budi dari kawannya.
Heksa menelan ringisan, bergantian memandang Narendro dan Keno. Kekasihnya tengah membuat ekspresi yang menyebalkan, kian menambahkan rasa jengkel pada Keno. Decakan keluar dari bibir Keno, “Yaudah lah, cepet masuk.”
Merasa menang, Narendro tertawa kencang lalu berdiri, menggamit Heksa sehingga mau tidak mau ia ikut berdiri.
“Tolong masukin koper gue, mas portir, thank you,” ujar Narendro melayangkan kiss bye seperti bocah pada Keno, membuka pintu belakang mobil sepupunya.
“Anjing?!?” maki Keno membelalakan matanya, namun usai itu, ia sungguhan menarik koper milik Narendro yang tergeletak dan menaruhnya ke bagasi. Raki tertawa di kemudi mengamati Keno yang bergerak dengan gusar.
Rasanya Heksa ingin meminta maaf pada Keno. Mengapa mereka berdua bisa berteman dengan kepribadian yang bertolak belakang seperti ini?
Sepanjang perjalanan pulang, mobil sepupunya diiringi bunyi rendah dari radio yang dinyalakan oleh Raki. Keno terlelap di kursi samping kemudi, dan Narendro tidur bersandar di bahunya, agaknya mereka amat kelelahan.
Raki membawa tangan Keno yang tengah tertidur ke mulutnya untuk dikecup, lalu digenggam di atas pahanya. Heksa mengembangkan senyum tanpa sadar meskipun sudah sering menjumpainya.
“Bucin banget lo, Bang,” cemoohnya tidak sesuai isi kepala.
“Nggak apa-apalah sama pacar sendiri ini, daripada suami orang gue cium.”
Heksa tertawa tanpa suara karena responnya.
“I'm homeeeee,” teriak Narendro ketika mereka sampai di kos Heksa. Ia merenggangkan ototnya hingga berbunyi, buru-buru berganti baju dengan pakaian yang nyaman sebelum membanting diri di kasurnya.
Heksa menggelengkan kepala dengan tingkahnya, lantas menyusul ke ranjang. Pemuda Agustus itu langsung merengkuhnya seperti guling, kakinya melilit, “Emang paling enak peluk kamu di kos, nggak gelisah dilihatin orang.”
Ia tertawa.
“Kamu kangen nggak sih? Kok ekspresinya biasa aja pas aku pulang,” ujarnya mencebikkan bibir.
Heksa mengangguk, “Kangen.”
Narendro mengernyitkan keningnya, “Tapi kayak nggak kangen ah, harusnya teh kalau kangen kamu lari-lari kitu ala film india pas aku muncul.”
Gelak tawa keluar dari bibir Heksa, ia memukul dadanya, “Lebay anjeun mah.”
Lelaki Agustus itu ikut terkekeh, lantas menguap dengan lebar. “Kita buka oleh-olehnya nanti ya. Aku mau lanjut tidur lagi, kamu mau nemenin?”
Heksa memilih untuk memperbaiki posisi tidurnya daripada ungkapan verbal. Kekasihnya segera menyamankan diri mengetahui hal tersebut.
“Aku seneng bisa pulang ke rumah,” bisik Narendro terakhir kali mengusap pipinya sebelum memejamkan netra dibawa kantuk.
Hati Heksa begitu lapang dianggap tempat pulang. Ia ikut menutup matanya menemani Narendro tidur.
Ada satu hal yang Heksa pelajari hari ini: berciuman saat berjongkok sangat amat tidak direkomendasikan.
Oh, atau dua hal? Hidupnya juga hampa jika tanpa Narendro di sisinya.
© smoldoy #wrongsteps