WRONG STEPS
Rating: Remaja ke atas Jumlah kata: 724 Lagu rekomendasi: It's been so long – Ra.D
Delapan: First Date
Heksa mengetahui tolak ukur kebahagiaan orang sangat berbeda-beda, mungkin berbanding lurus dengan faktor prioritas tertinggi dalam hidup. Seperti sebuah kalimat logika, jika variabel utama terpenuhi, maka hidup akan terasa lebih menyenangkan. Akan tetapi, salah satu standar kebahagiaan Heksa sekarang amatlah sederhana, mungkin terdengar klise dan kadaluarsa, namun ia merasa sudah sepatutnya bersuka cita.
Faktor klise tersebut adalah Narendro. Iya, hanya Narendro. Basi, kan? Cukup ada Narendro yang tersenyum dan tertawa di sisinya, ia merasa menjadi manusia paling beruntung di dunia.
Saat ini Narendro sedang tertawa terbahak-bahak lantaran film bergenre komedi yang sedang mereka putar; omong-omong, mereka memilih film acak dari saring komedi dan menekan asal yang muncul dalam daftar teratas. Bahkan Heksa lupa judul film tersebut meski durasinya sudah berjalan hampir selesai. Namun, gelegar tawa Narendro yang mengisi kamarnya karena film random yang mereka mainkan menghangatkan hatinya.
Narendro meloka ke arahnya seraya menunjuk sesuatu yang menggelikan baginya di dinding; yang memantulkan hasil dari proyektor, namun gambar berjalan tersebut sudah lama Heksa abaikan karena ia lebih sibuk memandangi fitur wajah Narendro yang gelaknya belum habis.
Heksa ikut menyimpulkan senyum terbaiknya pada Narendro, mengangguk beberapa kali meskipun ia tidak mengerti apa yang pemuda Agustus itu bicarakan mengenai alur cerita film itu.
“Lo pasti nggak merhatiin, ya?” Tebak Narendro padanya.
Salah satu tangan Narendro menangkup kedua pipi Heksa dan menekannya sehingga bibir Heksa kini mengerucut ke depan. Membuat Heksa kesulitan untuk menjawab karena perilaku pemuda yang lebih muda dua bulan darinya. Kemudian, Heksa terkekeh rikuh dengan suara bak sedang berkumur karena ketahuan tidak mengamati.
“Sia-sia gue ngomong dari tadi; yang diajak ngobrol nggak nyambung.” Lanjut Narendro semakin menekan pipi Heksa gemas karena diabaikan olehnya.
Bagaimana mungkin Heksa dapat fokus pada film jika terdapat objek afeksi yang lebih menarik perhatiannya di sebelah?
“Mmmhaaffhhhhhh.” Ujar Heksa bersusah payah namun ia tidak hendak melepaskan jemari yang berada di wajahnya. Ia ingin tangan hangat itu tetap menyentuhnya.
“Nggak ada maaf, maaf.” Sahut Narendro semakin menekan.
“Aw, shhakitthh.” Keluhnya.
Detik berikutnya, Narendro melepaskan tangannya, masih dengan senyum lebar yang tertata di bibir.
Netra mereka saling menyorot layaknya remaja yang dimabuk asmara, tidak ada yang ingin memalingkan pandangan seperti sedang beradu tatap siapa yang dapat bertahan lebih lama. Senyum mereka pun tidak pernah luntur, Heksa pikir pipinya akan pegal setelah ini. Namun, senyum khas milik Narendro yang sangat manis dan menular tidak dapat tidak memberikan dampak besar padanya. Selayaknya efek domino, ia akan ikut jatuh ketika kartu pertama jatuh.
Lambat laun matanya turun pada bibir Narendro yang masih tersenyum, dan tanpa ia ketahui, pemuda di hadapannya juga melakukan hal yang serupa. Tanpa sengaja mereka saling mencondongkan wajah bak kutub magnet berbeda yang saling menarik; lantaran ingin meraih bibir yang lain untuk dipagut seperti dahulu, ingin merasakan kembali mulut yang lain setelah tahunan tidak bersua, ingin mencecap kenangan yang dibangun ketika kedua indera tersebut bertemu.
Perlahan namun pasti wajah mereka mengikis renggang. Detak jantung Heksa melompat seiring ruang yang hampir habis di antara mereka, talu tersebut berdentum seperti kali pertama mereka melakukannya. Hingga hanya berjarak beberapa senti sebelum keduanya saling menyentuh, salah satu sel di kepalanya mengingat suatu hal ketika bibir mereka nyaris menempel.
“Jangan ciuman, baru date pertama.” Bisik Heksa menyuarakan isi kepalanya meskipun ia juga ingin mengecup bibir yang berada di jangkauannya. Napas hangatnya menyapu bibir Narendro.
Narendro menarik diri, mengalihkan wajah dan tertawa, “aing lupa, sumpah.”
Heksa tersenyum tatkala Narendro masih terkekeh, mendengar bagaimana suara tawa yang awalnya terbilang asing dan unik kini menjadi melodi paling merdu di kedua rungunya, kembali memandangi fitur pemuda yang begitu memiliki banyak kejutan meski nampak sederhana dari luar.
Narendro yang begitu ceplas ceplos namun sebenarnya pemikir.
Narendro yang menyukai americano dengan 8 shot espresso.
Narendro yang memiliki segudang prestasi namun menyembunyikannya dalam balutan manusia lucu.
Narendro yang semakin dewasa dalam mengambil keputusan.
Narendro yang dapat memahami sifat dan karakter orang dengan cepat.
Narendro yang lebih mengutamakan orang lain.
Narendro yang membuatnya jatuh cinta karena dia seorang Narendro.
Kemudian, Heksa mencondongkan kembali wajahnya untuk mengecup pipi Narendro yang masih tergelak.
Narendro yang kini membeku dan telinganya memerah karena malu.
“Pipi aja, ya.” Ujarnya, sebelum menatap film kembali setelah fokusnya buyar.
Pemuda yang baru saja dicium menyentuh pipinya dengan jemari, mengelus permukaan kulitnya, ia menoleh pada Heksa yang sedang berusaha memusatkan perhatiannya ke pantulan proyektor di dinding.
Ekor mata Heksa melihat sekilas senyum cengengesan Narendro yang amat sangat menular baginya.
Bibir Heksa semakin naik ke atas.
© smoldoy #wrongsteps