WRONG STEPS
Rating: Teen and ups Words: 3133 Song recommendation : Can't go – Ben
P.s isinya cuma cerita klise dan membosankan, tapi harus dibaca.
Tujuh: Haris dan Heksa
i
Heksa duduk di kelas 3 SMP ketika pertama kali melihat Haris.
Biasanya sekolah enggan menerima siswa baru untuk kelas akhir karena akan menyulitkan pendataan, namun ketika hari pertama sekolah — yang mana masih masa orientasi bagi siswa baru — muncul seorang siswa yang nampak asing di kelas Heksa.
Wali kelasnya menyuruh siswa itu untuk masuk setelah mengetuk pintu; ia telat tiga jam omong-omong. Namun, tidak ada yang peduli dengan keterlambatannya sebab belum ada kegiatan belajar mengajar.
Perawakan siswa baru itu tidak ada bedanya dengan teman Heksa yang lain, masih meninggi lantaran masa pertumbuhan, dengan bibir berisi dan mata sipit yang membuatnya seakan-akan memicing dan menelanjangi dengan netranya ketika tidak tersenyum, namun ia bisa menemukan raut sendu dibalik dingin yang ditunjukkan.
Namanya Haris Pradipta.
Ia duduk di samping Heksa sebab kursi di sebelahnya dibiarkan kosong sebagai privilese untuk ketua kelas. Namun mulai hari ini, Haris akan mengisinya.
“Hai, gue Heksa, ketua kelas di sini, gue dipilih jadi ketua kelas bukan karena pintar, tapi cuma karena gue jago mengalihkan pembicaraan kalau guru ngingetin tugas.” Ujarnya secerah mentari mengenalkan diri pada Haris yang kini duduk di sebelahnya.
Ia mengulas senyum terbaik agar temannya yang masih mengeluarkan aura dingin bisa menghangat. Sebab, mereka akan menjadi teman sebangku hingga kelulusan.
“Haris.” Balas siswa baru tersebut sekenanya, bahkan tidak berminat meski hanya untuk menjeling.
Senyum di bibir Heksa luntur mendapatkan respon yang tidak sesuai ekspektasinya, namun ia masih ingin berusaha.
ii
Heksa masih duduk di kelas 3 SMP ketika Haris pertama kali menangis di hadapannya.
Tak berselang lama, mereka menjadi teman akrab karena duduk bersisian. Heksa kini memiliki seseorang yang dapat diajak berbisik atau saling mencoret catatan ketika mereka mengantuk mendengarkan celoteh guru sejarah di depan kelas. Tiga bulan beradaptasi membuat Haris menghangat dengan semua temannya. Ternyata siswa pindahan tersebut tidak seketus durjanya.
Pasca guru mata pelajaran terakhir menutup sesi belajar, semua siswa dengan gesit keluar ruangan karena sudah lelah di petak persegi tersebut, tidak terkecuali dengan Heksa. Namun tiba-tiba, Haris menahan lengan Heksa ketika ia menjejakkan kaki untuk pulang.
“Gue boleh ikut ke rumah lo nggak?” Tanya Haris, masih tidak berpindah dari kursinya meski kelas hampir lowong.
Haris mendongak mempertemukan sorotan, mereka saling memandang lama karena Heksa membutuhkan detak detik untuk berpikir. Permintaan temannya tidak terdengar seperti ajakan main yang lazim, malah tertangkap nada putus asa. Ia mengerutkan kening, “boleh sih. Tapi nggak izin dulu ke orang tua lo?”
Haris menggeleng sebagai jawaban, “nggak perlu, nggak ada yang nyariin gue.”
Alis Heksa semakin mengerut setelah memproses kalimat dari temannya, “yaudah, ayo,” namun ia tidak bertanya lebih jauh karena tidak ingin memaksa Haris untuk terbuka.
*
Suasana kamar Heksa amat hening karena Haris bergeming, lebih memilih duduk di pinggir ranjangnya dengan mata kosong memandang dinding yang kelabu.
Heksa memperhatikannya dengan bimbang, bingung antara ingin bertanya atas apa yang mengusik pikiran temannya atau membiarkan ia larut dalam kelananya sendiri sampai berani membuka suara.
“Gue pindah sekolah karena orang tua gue.”
Oh.
“Gue kabur ke rumah nenek setelah Mamah lari duluan, nggak tahu kemana, nggak nanyain gue mau ikut dia atau enggak.”
“Kemarin mamah telepon, bilang mau cerai. Gue mati rasa nggak bisa nangis karena udah bosan ngelihat orang tua gue saling teriak dan ngelempar barang.”
Heksa tidak mengetahui respon apa yang harus ia berikan. Ia tidak pernah berada di posisi Haris, namun suara yang bergetar dari pemuda di sampingnya membuat Heksa merasa sedih dan ingin memeluknya. Ia menarik temannya ke dalam dekapan setelah penjelasannya berakhir.
Dan sepertinya Haris berbohong ketika ia mengatakan hatinya kebas, karena simpati dan tepukan teratur dari Heksa di punggungnya membuat ia menangis sesenggukan memukul dada saking sesaknya.
iii
Heksa duduk di kelas 1 SMA saat pertama kali mencoba menghisap rokok.
Sebagai remaja yang ingin melakukan banyak hal, Heksa juga merasakan hal yang sama ketika dirinya beranjak menjadi siswa sekolah menengah atas. Salah satu ketertarikannya jatuh kepada rokok. Ia penasaran mengapa banyak orang yang menyukai menghisap gulungan nikotin itu meski di depan bungkusnya memiliki gambar yang tidak sedap untuk dipandang. Pada akhirnya ia mencoba secara sembunyi-sembunyi.
Akan tetapi, kini rokok sudah ia hafal rasanya. Ia tidak merasa dirinya kecanduan, tidak sama sekali, ia hanya menyesap rokok sesekali jika tidak ada yang melihat. Namun setelah enam bulan menyimpan pak bersampul jelek di ranselnya, diam-diam menyendiri ke salah satu gang sempit dekat sekolah usai kelas berakhir untuk menghisap batang tembakau tersebut, Haris menyarankannya untuk berhenti.
“Lo tau dari mana gue ngerokok?!” Tanya Heksa membulatkan mata takjub pada Haris, mereka tak sengaja bertemu di kelokan koridor menuju ruang paduan suara, Haris sedang reses dari sesi basketnya — omong-omong Heksa berpura-pura izin ke toilet untuk mengepulkan batang di sakunya.
“Bau, Sa. Orang kalau habis ngerokok ada baunya.”
“Gue udah pake minyak wangi lagi!” Sergahnya.
“Tetep ada baunya, mending berhenti sekarang, lo udah kecanduan banget itu, nggak bagus buat suara lo.”
“Nggak bisa, gue nggak bisa berhenti. Gue udah coba, Rissss,” rengek Heksa, kakinya menghentak-hentak seperti anak kecil, bibirnya mencebik, “gue udah sering coba cara dari Google buat berhenti ngerokok! Entah yang makan permen karet, makan kuaci, minum air bergalon-galon sampai sering ke kamar mandi, pada nggak bisa semuanya! Ibaratnya nih, rokok udah jadi kebutuhan pokok setelah sandang, pangan, dan papan. Bahkan, gue di mimpi aja ngerokok dulu sebelum ketemu pocong atau main tong setan.”
Tawa lepas Haris berderai mendengar alasan sepele Heksa.
iv
Heksa masih duduk di kelas 1 SMA ketika ia pertama kali jatuh cinta.
Ia mengingat dirinya sedang menonton film Suicide Squad di bioskop ketika hal itu ia sadari
Pada pertengahan film, dirinya setengah sadar memperhatikan Haris yang duduk di sampingnya; sedang tertawa lepas. Bunyi tawa Haris sangat ringan dan memancarkan kebahagiaan, seperti tidak pernah memiliki beban. Matanya berbinar dan menyipit saat gelaknya berderai. Wajahnya yang terkena pantulan sinar dari layar menambahkan kesan adonis yang sudah lumrah diketahui umum. Terdapat gelenyar aneh di perut Heksa ketika menatap paras pemuda di sebelahnya.
Dan bibirnya, eeerrrrr, berisi dan seksi?
Sejak kapan ia menganggap Haris atraktif seperti ini?
Oh. Oh.
Lantas, Haris menoleh karena merasa diperhatikan, “kenapa ngelihatin gue?”
Ia menggeleng, “gak apa-apa.” Jawabnya, memalingkan wajah ke layar besar.
I think i'm in love.
v
Heksa masih duduk di kelas 1 SMA, ketika ia mendapatkan pacar pertamanya.
Ia suka jalan-jalan.
Semua orang tahu kalau Heksa lebih cenderung sering di luar ketimbang berada di rumah, mungkin rumahnya sendiri hanya menjadi lapak tidur dan makan. Apa lagi saat libur panjang tiba, ia lebih banyak berada di luar mengeksplorasi tempat-tempat baru yang belum pernah ia kunjungi.
Hari ini, Haris mengajaknya ke tempat yang berbeda lagi, salah satu pantai yang belum terjamah oleh pengunjung, yang tidak pernah Heksa ketahui eksistensinya kendati kota tersebut adalah tempat lahirnya. Masih sepi, airnya tenang dan bening, bahkan hanya ada satu dua orang di sana.
Mereka menikmati semilir angin sore, menunggu matahari perlahan-lahan turun ke laut lepas dan berganti dengan gelap malam.
Heksa pikir pantai ini akan masuk daftar tempat favoritnya.
“Arggghhh,” Haris mengacak rambutnya tiba-tiba, “gue udah nggak sanggup nyimpan ini sendirian.”
Teman di sampingnya tiba-tiba mengerang tidak jelas ketika matahari sudah lenyap dari pandangan.
“Lo kenapa?” Tanya Heksa bingung dengan gelagat temannya.
“Entah lo yang nggak peka atau gue yang nggak jago kasih kode— “
“Maksudnya?”
“—lo sadar nggak sih gue ngajak jalan ke tempat baru mulu karena apa?!”
“Hah?”
“Gue suka sama lo, Sa. Anjir, udah lama. Cuma lo kelihatan biasa aja kalau gue lagi ngode.”
Heksa mengerjapkan matanya beberapa kali ketika memproses kalimat dari temannya. Haris suka padanya? Perasaannya tidak sepihak?
Kemudian, ia memukul kencang bahu temannya menghasilkan pekikan tinggi dari Haris. “Anjir! Sakit banget.”
“GUE JUGA SUKA SAMA LU, DODOL.”
vi
Heksa duduk di kelas 2 SMA, ketika ia mendapatkan ciuman pertamanya.
“Heksa, jangan ngerokok terus. Seragam kamu sekarang bau rokok kayak abis dari warnet.”
Pemuda yang ditegur menyengir kendati dengan batang rokok di belah bibirnya, ia menghisap zat nikotin tersebut dan menghembuskan asap abu-abu ke udara.
“Wah, kamu pinter banget. Nanti kalau ditanya Ayah, aku bisa alasan habis ke warnet.” Ujarnya tertawa ketika Haris malah memberikan ide baru sebagai alibi.
Haris menghela napas pasrah karena peringatannya tidak didengar, ia ingin Heksa berhenti karena dari hari ke hari kekasihnya secara tidak sadar menambahkan porsi rokoknya hingga tahap yang memprihatinkan, apalagi mereka masih siswa.
“Aku sering disundut rokok sama Ayah.” Balas Haris jujur sebagai kartu As terakhirnya setelah sekian lama menegur Heksa namun tidak membuahkan hasil.
Sesungguhnya ia tidak ingin membahas itu, Haris pun tidak membenci rokok, apalagi mengenai Heksa yang merokok karena kekasihnya mengatakan batang nikotin tersebut dapat menjadi alat relaksasi baginya. Ia tidak bisa melarangnya terlepas hal tersebut sedikit mengganggunya; tembakau gulung mengingatkannya tentang kenangan pahit yang ingin ia lupakan perihal sang ayah.
Terlepas dari alasan tentang ayah. Ia hanya ingin Heksa menjaga kesehatan karena candu kekasihnya berbahaya.
“Kenapa kamu nggak bilang dari dulu...?” Tanya Heksa dengan suara semakin lirih di ujung kata karena merasa bersalah. Pemuda Juni tersebut seperti mengerti implikasi kalimat sederhana yang Haris lontarkan tanpa perlu penjabaran.
“Kamu mau masuk choir kampus, kan? Ayo, berhenti dari sekarang biar nanti nggak susah. Seleksi choir kampus nggak kayak di SMA, Sa.” Haris membalas mengalihkan pembicaraan.
“Maaf, Ris.”
Haris menggeleng, “bukan salah kamu. Kamu bukan Ayah.”
“Harusnya aku tanya kenapa kamu kelihatan risih sama rokok.”
“Bukan salah kamu, Heksa”
“Maaf ya.”
Ia mematikan bara batang tersebut di dinding, melemparkan puntungnya ke tong sampah terdekat.
“Gimana ya biar berhenti? Aku udah coba dari dulu, kamu lihat sendiri.”
“Ada satu cara yang belum kamu coba.”
“Apa?” Tanya Heksa penasaran.
“Ciuman.” Haris menyarankan dengan senyum jahil.
Heksa tertawa, “idih, mana ada cara kayak gitu.”
“Adaaaa, makanya aku kasih tau. Mau coba dulu nggak?” Tawarnya, ia menoleh ke sekitar gang sempit belakang sekolah tempat mereka berada sekarang. Sepi.
Heksa mengangguk setuju, “nggak ada salahnya nyoba.”
Kemudian, Haris menggamit tangannya untuk mencari sudut yang layak agar mereka dapat berciuman.
Ciuman pertama mereka dipenuhi dengan tawa dan keluhan lucu karena mereka masih amatir.
vii
Heksa duduk di kelas 3 SMA, ketika hubungannya diterpa badai.
Haris berubah.
Heksa baru menyadari perilaku kekasihnya berubah semenjak ia sibuk belajar untuk mengejar universitas impiannya; karena ia yakin dirinya tidak akan bisa lulus dengan nilai rapor.
Kekasihnya tidak pernah lagi menunggu di depan kelasnya ketika bel jam istirahat berbunyi, atau melambaikan tangan seraya tersenyum lebar di jendela ketika ia memiliki jam olahraga sedangkan Heksa berada di kelas, atau tiba-tiba menyelipkan susu kotak di ranselnya ketika mereka berjalan bersama dengan Haris di belakang memanuver pergerakannya.
Pemuda berkulit madu itu tidak mengetahui tepatnya awal mula perubahan Haris terjadi. Mungkin sudah beberapa bulan sejak mereka menjadi siswa kelas akhir, namun ia pikir kekasihnya hanya sedang fokus untuk masa depannya, sama seperti Heksa.
Desas-desus Haris yang berubah juga dibicarakan oleh banyak orang. Namun Heksa menepis berita yang disampaikan temannya. Semua orang yang mengetahui informasi tersebut seperti berbondong-bondong menanyakan apakah Heksa sudah menyelesaikan hubungannya dengan Haris, namun ia selalu menjawab dengan kalimat yang sama. Tidak, ia tidak putus dengan kekasihnya.
Akan tetapi, ketika ia berjalan semangat menuju kelas Haris yang berbeda dua ruang — ingin memberikan cokelat batang yang ayahnya dapat dari rekan dosen yang baru saja pelesir ke luar negeri — ia mengetahui mengapa Haris tidak melakukan apa yang biasanya ia lakukan. Pemuda tersebut sedang melingkarkan tangannya di pinggang salah satu siswi yang tidak ia kenal. Ketika mata mereka bertemu, Haris tersenyum miring, semakin membawa siswi tersebut untuk mendekat sehingga duduk di pangkuan, kemudian pemuda Maret itu melengos tidak peduli. Kembali sibuk berbincang dengan kawan sekelasnya.
Heksa berjalan cepat menuju kelasnya, meremas bungkus cokelat di tangan hingga renyuk.
Berita Haris yang berselingkuh secara terang-terangan menyebar cepat bak dinding dapat berbicara.
Ponsel di saku baju Heksa bergetar, Haris mengirimkan pesan padanya untuk bertemu di depan perpustakaan usai kelas berakhir.
*
“Kita putus aja.” Ujar Haris ketika mereka berdiri berhadapan di depan ruang perpustakaan yang lengang, “kamu suka ngelupain orang lain kalau udah sibuk sama dunia sendiri. Kamu sadar nggak udah berkali-kali kayak gini? Aku capek. “
Heksa menatap nanar kekasihnya, meremas strap ransel mencari pegangan, “aku belajar, By. Aku bukan ngelupain kamu.”
Haris mendengus, “sana belajar aja, kalimat kamu bisa jadi alasan putus kita. 'Mau fokus buat ujian.' Iya, kan?”
Heksa tidak setuju. Sejujurnya ia tidak bisa menerima alasan tidak masuk akal dari Haris. Iya, memang intensitas waktu mereka bersama menurun drastis karena Heksa perlu datang ke salah satu bimbingan belajar, namun ia tetap berusaha meluangkan waktu untuk kekasihnya. Iya, ia mengaku salah terkadang lupa membalas pesan pemuda Maret itu karena dirinya sudah kelelahan hingga ketiduran.
“Kalau kamu mau putus, kamu harus memenuhi satu permintaan terakhir aku.”
Mata Haris berkilat sekilas setelah menyimak perkataannya, membuat hatinya semakin berdenyut karena kekasihnya benar-benar ingin menyelesaikan hubungan mereka.
“Apa?” Tanyanya.
“Kita trial satu bulan, di dalam satu bulan itu kamu harus antar-jemput aku, gendong aku setiap berangkat dan pulang. Setelah itu selesai, kamu boleh mutusin aku.”
“Gendong?!” Haris mendelik, “berlebihan banget kamu, Sa. Ini sekolah, malu.” Ujarnya keberatan.
Heksa menggeleng, “cuma itu permintaan terakhir aku.”
“Terserah kamu, lah.”
“Mulai besok pagi jemput aku di rumah.”
Haris mengangguk malas kemudian berlalu.
*
Esok pagi Haris menjemput Heksa dengan mobilnya, bahkan sempat bercakap-cakap dan ikut sarapan bersama keluarganya meski hubungan mereka berada di ujung tanduk.
“Naik!” Titah Haris sudah menekuk lutut agar Heksa dapat naik ke punggungnya saat mereka berada di depan pintu rumah Heksa. Sesungguhnya, pemuda Juni tersebut ingin tertawa. Namun ia menyimpan bibirnya di bawah gigi untuk menahan kekehan, lantaran kendati Haris nampak enggan, ia tetap melakukan permintaan terakhir Heksa.
Mereka melakukan tindakan konyol tersebut dalam hening.
Sepanjang perjalanan ke sekolah pun tidak ada yang mengisi sunyi kecuali bunyi lagu dari radio yang Haris putar acak.
Ketika mereka sampai di sekolah, beberapa pasang mata yang tidak sengaja menyaksikan aktivitas mereka mengernyitkan dahi, entah karena bingung atau geli. Beberapa teman yang mengetahui rencananya gegoakan dan bersiul seperti mendukung kesebelasan favorit mereka.
“HOT COUPLE OF THE YEAR.”
“KIW KIW, HARIS HEKSA.”
“COUPLE GOALS SMANSA.”
Heksa tersipu rikuh menyembunyikan kepalanya di bahu Haris sebab gagasan absurd yang ia canangkan kini menjadikannya pusat perhatian di koridor.
“Malu banget sumpah.” Bisiknya untuk diri sendiri, namun tentu saja Haris menangkapnya.
“Kan aku bilang ini malu-maluin.” Balas Haris mendecak dongkol.
Pertukaran kata mereka hanya berakhir sampai situ saat hari pertama mereka melakukannya.
Pada hari kedua Heksa mengusulkan hal yang lebih absurd kepada Haris, ia meminta dibopong ala bridal layaknya orang menikah, namun Haris tetap menurut dengan permintaannya meski diselingi dengan decak di awal. Pemuda Juni tersebut merebahkan kepala, merasakan harum parfum favoritnya. Haris tidak mengatakan sepatah kata pun hingga mereka sampai kelasnya kendati mereka mendapatkan respon yang lebih dahsyat dari teman-temannya yang menyaksikan.
Namun ketika Heksa dibopong kembali ke rumahnya, Haris berkata, “kamu wangi banget ya meskipun udah sore.”
Heksa tersenyum dan melambaikan tangan pada Haris yang pulang dengan mobilnya.
Pada hari ketiga, Haris membopongnya di punggung, suhu tubuh Heksa menghangat dan ia bersin-bersin karena terserang flu. Haris yang merasakan panas napas Heksa di bahunya berujar, “kita ke uks aja, ya? Kamu jangan maksain diri gini.”
Heksa agak terkejut karena Haris masih peduli padanya, “iya, boleh.” jawabnya serak. Lantas Haris membawanya ke ruang unit kesehatan.
Kekasihnya bahkan memilih untuk menemaninya dari pada bertemu dengan sang selingkuhan ketika ia merangsek ke UKS.
Pada hari keempat, Haris tertular dan mereka tertawa bersama karena bersin secara bersahutan.
Hari kelima kekasihnya demam sehingga ia tidak masuk sekolah, Heksa menjenguk ke rumah neneknya usai sekolah. Haris menyambutnya dengan tersenyum lemah.
Pada hari keenam Heksa mendapatkan kotak susu di tasnya ketika ia kembali dari kantin, dengan pesan, “udah lama aku nggak ngasih susu ke kamu. Ayo, ambis bareng, baby.”
Bibir Heksa naik, sepertinya sang kekasih mulai kembali.
Pada hari ketujuh mereka mulai belajar bersama di perpustakaan kota saat akhir pekan. Kala Heksa menguap karena sudah berjam-jam duduk untuk mengerjakan latihan soal, Haris menggenggam tangannya, mengajaknya untuk ke tempat lain. Mereka making out di sayap utara karena sepi.
Pada hari kedelapan Haris kesiangan, meskipun begitu Heksa tetap digendong hingga ke gerbang depan menghasilkan tatapan mematikan dari pembina kedisiplinan sekolah.
Rasanya hubungan mereka kembali seperti sedia kala.
Heksa menyadari bahwa ia memang kurang meluangkan waktu untuk kekasihnya, mereka sudah berada di tahap jenuh sebab sudah menjalin hubungan bertahun-tahun. Dan kini ia lebih memahami bahwa ia harus melakukan inovasi agar mereka tidak kembali bertemu dalam titik jemu.
Hari setelahnya, siswi yang hampir menyebabkan mereka putus mengirim pesan bahwa ia membenci Heksa.
Haris meminta maaf padanya, dan mengatakan ia sudah tidak berhubungan dengan siswi tersebut.
Pada hari terakhir Haris membopongnya hingga ke pintu rumah, Heksa mengatakan, “ini hari terakhir, Ris, kalau kamu mau putus, kamu boleh pergi sekarang, aku nggak akan nahan kamu. Tapi kalau boleh jujur, aku masih berharap.”
Ia tersenyum dengan tulus karena sudah menikmati kebersamaan mereka satu bulan terakhir meski dengan penatnya jam sekolah yang bertambah dan belajar ekstra.
Haris menggeleng cepat, “enggak, kita nggak akan putus.”
Heksa menghela napas lega, “thank you.”
“No, thank you for bringing me back to you, Sa.” Sahut Haris padanya.
viii
Heksa sedang menunggu hasil SBMPTN ketika pertama kali bercinta dengan kekasihnya.
Pandangannya bolak-balik menuju jam di dinding kamar Haris ketika mereka sedang menonton film ilegal yang diunduh oleh kekasihnya — menunggu hasil pengumuman SBMPTN, “duh, aku nggak bisa duduk doang, gelisah banget kayak gini, By.” Racaunya melepaskan diri dari rangkulan Haris.
Kemudian, ia berdiri mulai mondar-mandir berceloteh tidak jelas seperti bunyi dengung koloni lebah. Mata Haris ikut bergerak kesana kemari memperhatikan kekasihnya yang terkadang menjerit lantas mengacak rambutnya frustrasi menantikan waktu.
Kekehan muncul dari bibir Haris lantaran melihat tingkah laku kekasihnya yang random ketika resah, resonansi tersebut membuat Heksa berhenti di track lantas memalingkan wajah pada kekasihnya.
Haris menyengir padanya, telapak tangannya menepuk ruang kosong yang awalnya ditempati oleh Heksa, lantas pemuda Juni tersebut menurut untuk kembali duduk. Bibir Haris yang berisi langsung melumat milik Heksa ketika ia kembali menyamankan diri di rengkuhan Haris, membuat pemuda berkulit madu terbelalak sebab terkejut dengan perilaku kekasihnya yang tanpa tedeng aling-aling.
Mereka sudah sering berciuman semenjak Heksa berusaha untuk melepaskan diri dari rokok. Dan meskipun kebiasaan buruknya telah lama hilang, mereka masih sering bercumbu jika tidak ada pasang mata yang mengawasi.
“Nggak mau gelisah, kan?” Tanya Haris dengan iris sejernih air telaga setelah melepaskan pagutan mereka yang terburu-buru untuk menyuplai udara.
Heksa mengangguk.
“Then, i will make you forget everything but my name.“
Heksa merasakan ledakan kupu-kupu di perutnya setelah itu.
ix
Heksa sedang melakukan perjalanan ke Singapura ketika mengakhiri hubungannya dengan Haris.
Gema merdu pramugari dari pengeras suara mengisi kabin mengingatkannya bahwa pesawat akan lepas landas dalam beberapa menit. Ia menyeka bulir air di ujung matanya tatkala membaca ulang semua kata dalam paragraf yang sudah berada di catatan sejak lama. Ponselnya harus segera beralih ke mode pesawat karena sinyal dapat mengganggu penerbangan. Bibirnya ia gigit kuat-kuat agar tidak mengeluarkan isak pilu.
Hari ini, Heksa akan melepaskan segalanya.
Ibu jarinya menekan lemah sudut layar berikon kirim setelah merampungkan deret kalimat yang tersusun di ruang percakapan, langsung menyimpan ponsel ke dalam saku setelah mematikannya. Ia tidak ingin mengetahui balasan Haris meski ia tahu pemuda tersebut tidak akan pernah memarahinya.
Mulai sekarang, Haris tidak lagi menyandang julukan kekasih untuk Heksa.
© smoldoy