Wrong Steps
Additional Tags: Hurt/comfort. Making out a lot.
Lima: tersirat
Berciuman dengan Heksa tidak seperti apa kata orang mengenai ledakan petasan yang mengejutkan, atau membuat dunia seakan terbalik, atau merasakan hidup seperti hanya berdua yang lain menumpang.
Berciuman dengan pemuda berkulit madu tersebut biasa saja, hanya ditambah rasa pahit karena batang nikotin.
Sangat biasa saja, hingga membuat Narendro terbiasa memagut bibir tersebut.
Pada akhirnya mereka akan kembali ke kos Heksa setelah berkelana di luar. Saling mencumbu di balik pintu sebelum berjalan tanpa memutus pagutan hingga ke ranjang.
Tidak ada yang mengingat siapa yang menginisiasi. Sepertinya Heksa—atau mungkin Narendro karena sedari tadi ia sudah menatap bibir pemuda itu saat mereka masih berada di kafe.
Ketika mata mereka sama-sama jatuh pada bibir, tidak ada yang meragu untuk menghapus jarak. Meraih ingin yang sudah bersarang di kepala. Memagut bibir yang sudah terbiasa dicecap namun tetap candu untuk dikulum.
Dorongan lembut Narendro tidak membawa Heksa pada ranjang, melainkan ke kursi gaming yang berada di ruangan tersebut. Ia menyamankan diri di sana, dan secara tersirat mengajak Heksa untuk duduk di atas pangkuannya.
Ada kilat keraguan di netra Heksa yang bisa Narendro tangkap. Namun pada akhirnya Heksa membiarkan dirinya meletakkan diri di atas kokohnya paha Narendro. Kembali melumat bibir atasnya. Kedua tangan pemuda Agustus melingkari pinggangnya, mengamankannya agar tidak terjatuh.
Mereka berciuman seperti sediakala, dipenuhi dengan gesekkan gigi dan lidah. Kadang tertawa kecil karena gigi mereka merasa linu sebab tabrakan yang terjadi. Namun, mulai melumat lagi setelah memasok udara ke dada dan menikmati bagaimana rasa mulut masing-masing.
Mencium Heksa kini sudah menjadi rutinitas bagi Narendro. Sehingga setengah kesadarannya terkadang menantikan pesan pemuda Juni tersebut yang mengatakan ingin merokok. Dan dengan sukarela, ia akan datang mengunjungi posisi kekasih orang lain tersebut. Tanpa aba-aba meraih bibirnya saat Heksa tersenyum menunggunya.
As thinker as he is, Narendro tidak ingin memikirkan motif Heksa ketika mengirim pesan ingin menghisap batang nikotin. Entah karena ia memang mau merokok, atau sebenarnya hanya menggunakan alasan tersebut agar Narendro datang untuk mengecupnya. Ia tidak ingin merenungkannya. Namun, jika disuruh memilih, ia akan menunjuk alasan yang pertama karena tidak ingin berimajinasi terlalu jauh.
Sebab tentu saja tetap ada gap tak kasat mata meski mereka sudah sering making out seperti tidak ada hari esok. Mereka tidak pernah berani menyusuri kecupan selain di wajah. Setiap saat Heksa ingin berpindah, Narendro akan memalingkan diri. Mengetahui posisinya yang hanya membantu pemuda Juni tersebut. Namun sepertinya hari ini, hari ini, kebodohan Narendro ingin membuka jalannya sendiri.
“Bite mark boleh?”
“Mmmm.” Gumam Heksa setuju.
Ia mendongak memberikan lelaki Agustus tersebut akses pada lehernya yang jenjang. Akhirnya dengan berani Narendro—yang belum pernah menjamah leher Heksa—mulai memberikan tanda kepemilikan.
Bukan, bukan tanda kepemilikan karena Heksa bukan miliknya. Pemuda di pangkuannya harus menutupinya esok hari agar tidak ada yang mengetahui bahwa ia bercumbu dengan orang lain meski sudah mempunyai kekasih.
Narendro tersenyum kecut tatkala memikirkan hal tersebut, ia berhenti dari kegiatannya di leher pemuda Juni.
Belum ada satu tanda ia bubuhkan, ia langsung menarik diri.
Heksa yang sadar dengan hal tersebut menunduk untuk mempertemukan pandangan mereka. Melihat bagaimana Narendro mengeluarkan hela napas panjang, lantas tersenyum tipis padanya.
Suara lembut Narendro muncul, “lo udah nggak mau ngerokok lagi, kan?”
Heksa menggeleng sebagai jawaban.
“Berarti udah nggak perlu gue bantu lagi hari ini.” Lanjutnya masih tersenyum.
Netra Heksa meneliti maksud dari ekspresi yang muncul dari Narendro. Kendati demikian, lelaki yang akrab dipanggil Nana tersebut bukanlah sebuah buku terbuka.
Ia mencoba bangkit dari posisinya meski Heksa masih duduk di pangkuan. Membuat pemuda Juni berdiri dan membiarkan Narendro pergi dari tempatnya.
“Gue balik ya, takut kemaleman. Nggak enak sama tetangga kos kalau dengar berisik motor gue pas tidur.”
Heksa mengangguk tidak yakin, lantas mengantar Narendro sampai ke pintu. Entah karena kesopanan, atau karena ia masih ingin melihat pemuda tersebut sebelum benar-benar menghilang dari hadapannya.
Ketika Narendro membalikkan badan untuk membuka pintu, kedua tangan Heksa melingkar di pinggangnya. Kepalanya bersandar pada bahu pemuda yang ingin pergi.
“Stay, Narendro.” Pintanya lirih.
Helaan napas berat kembali hadir dari lelaki yang lebih muda.
Ia memutar kembali tubuhnya untuk menatap mata gelap itu; yang kini menyiratkan sendu. Dirinya tidak ingin berasumsi bahwa Heksa bersedih karena ia akan pulang. Ia tidak mau memberikan pupuk untuk bibit perasaan yang mulai tersebar di hatinya dengan menafsirkan hal tersebut.
“Kita sama-sama tahu apa maksud dari semua kalimat lo yang samar, Sa. Tapi boleh nggak gue dengar ucapan yang gamblang dari lo?” — Biar gue tahu, kalau bukan gue doang yang kayak gini. Sisa ungkapan dari Narendro tersangkut di tenggorokan tetapi ia yakin bahwa Heksa sudah dapat menyimpulkan perkataannya.
Seusai Heksa mendengar kalimat tersebut, ia menggigit bibir bawahnya. Ia tidak menyangka jika akhirnya, pada akhirnya, Narendro akan meminta keterangan terlepas mereka selalu menggunakan pernyataan tersirat yang terbungkus rapi namun dipahami oleh satu sama lain.
“Kita udah lama nggak kayak gini. Please, disini aja sampai besok pagi.”
“Kenapa pengen gue di sini?”
“I miss you. I miss your presence here, Narendro.”
“Kenapa lo kangen sama gue?”
Pupil Heksa melebar terkejut sebab mendengar pertanyaan yang semakin berani dari pemuda Agustus tersebut.
Heksa menekan gigi dalam mulutnya tanpa sadar.
Kalimat tersebut masih menggantung di udara tanpa balasan.
Netra Narendro masih menilik, meminta jawaban. Namun Heksa memilih tetap bungkam, ia mengalihkan pandangannya ke mana saja, kecuali ke Narendro. Ia tidak ingin menatap iris yang kini menuntut tanggapan, karena Heksa merasa ia tidak berhak untuk mengatakan apa yang mengusik dirinya belakangan.
Suasana di sekitar mereka semakin pekat, Heksa berdeham membersihkan tenggorokannya.
“Aing pulang.” Ujar Narendro final ketika ia tidak mendapatkan apa yang ia harapkan. Ia memutuskan kontak mata dengan pemuda Juni, memutar tubuhnya. Kembali menarik kenop pintu untuk dibuka.
Namun, lagi. Dirinya ditahan dengan tangan yang kembali melingkar di tubuhnya.
“I- i want you, and your kisses. They make me feel warm.” Bisiknya lirih. “Akhir-akhir ini gue cium lo bukan karena gue pengen ngerokok, tapi karena emang mau cium lo.”
Lantas, Narendro berbalik. Memagut bibir Heksa karena sudah berani jujur padanya.
Heksa tidak tahu apakah hanya ia seorang yang merasakan hal ini. Namun, ciuman Narendro terasa berbeda. Bibirnya melumat lebih lembut dan lambat. Tidak seperti apa yang lazim mereka lakukan. Dan sepertinya, sepertinya, degup jantung Heksa yang biasa berdegup cepat karena adrenalin mengecup orang yang bukan kekasihnya, kini naik karena alasan yang berbeda.
Tetapi ia harus menyangkal. Ia tidak boleh mengakui bahwa Narendro memberikan efek besar padanya. Pemuda yang sedang melumatnya hanya orang yang tanpa sengaja ingin membantu. Ia tidak boleh berpikir bahwa mereka memiliki sesuatu yang lain. Karena pertama; Heksa memiliki kekasih, dan kedua; mereka tidak bisa lebih dari teman. Meski, Heksa tidak bisa membantah bahwa pesona Narendro lambat laun membuatnya terperosok.
Sama seperti Narendro yang mengatakan bahwa ia mulai terperosok.
End note: nggak tahu, aku suka bikin scene making out. HAHAHA.
© smoldoy #wrongsteps