WRONG STEPS

2183 kata. Domestic fluff, surprise they are.... ngikkkk?


a man with words

Narendro is a man with words; apapun yang keluar dari mulutnya akan selalu ia lakukan meski tidak pada detik ia mengatakannya. Bahkan, terkadang, Heksa sudah melupakan celoteh asal yang ia utarakan pada Narendro, namun pemuda itu tiba-tiba mengabulkannya.

“Aku inget kamu pernah ngomongin ini, Yang,” tuturnya, selalu begitu. Tidak pernah gagal untuk membuat rahang Heksa jatuh ke lantai. Narendro mungkin perwujudan pria idaman semua orang. Ia beradaptasi dengan cepat, mengerti situasi kapan harus bercanda dan serius, pendengar yang baik bahkan ketika atensinya terpecah belah karena multitasking, tidak pernah menyela perkataan orang lain—terlalu banyak poin plus yang bisa dijabarkan untuk mencapai konklusi bahwa Narendro adalah pria idaman.

Kekasih Heksa itu pernah mengatakan tanpa impromptu bahwa ia lebih menyukai saat mereka bercinta tanpa rencana. Yang mana membuat Heksa terbatuk tidak karuan di meja makan saat sarapan, karena hell, pertama: waktu itu masih pagi, kedua: ia kurang suka menunjukkan dirinya yang belum terpoles di depan Narendro. Ia ingin memberikan versi terbaik Heksa untuk dipuja, bukan versi ia belum mandi, belum cukur, belum ini dan itu. Akan tetapi Narendro mengedikkan bahu, lanjut makan seolah itu hanya sebuah perbincangan sederhana di pagi hari sebelum kerja.

Sialnya bagi Heksa—karena Narendro memang manusia yang selalu menggenggam perkataannya sendiri—saat mereka mulai tinggal bersama, mereka selalu seperti itu. Tahu-tahu bercinta padahal sudut bibir Heksa masih tersisa bekas liur, atau ketika Narendro seperti zombie karena kurang tidur.

Mereka pun tak sengaja bercinta malam ini. Sungguhan tak sengaja karena keduanya begitu lelah melalui hari panjang sebagai pekerja di bawah kapitalisme. Mereka tak sengaja berciuman di tengah bunyi televisi sebab adegan di film yang sarat gelora. Narendro tak sengaja melepas dua kancing teratas kemeja Heksa dan mengelus dadanya perlahan-lahan. Heksa tak sengaja menarik kemeja Narendro dari kukungan celana untuk merasakan perutnya. Mereka tak sengaja naik ke ketinggian saat langit baru berwarna biru.

Namun ketidaksengajaan itu mengubah lelah mereka menjadi gairah yang menggelegak.

Mereka diam-diam mencintai ketidaksengajaan yang terjadi karena mulai merajut malam dengan saling memetakan tubuh. Mereka sepakat untuk saling merasakan satu sama lain tanpa tergesa, sepakat untuk melakukan ketidaksengajaan itu berulang-ulang. Dan yang terakhir, mereka sepakat untuk sengaja mandi lantaran merasa tubuh keduanya begitu lengket setelah beraktivitas, apalagi setelah bercinta.

Ini bagian yang paling Heksa sukai usai bercinta, mungkin Narendro tidak sadar, atau sebenarnya ia tahu tapi tetap menuruti keinginan hatinya. Narendro akan lebih menempel tanpa diminta, pemuda itu akan mengecupnya tanpa sebab, tangannya akan mengelus area terbuka di tubuhnya. Bahkan, jika Heksa sibuk di meja kerjanya dengan laptop, Narendro akan selalu mondar-mandir entah berpretensi mengambil apa di apartemen mereka, menghidu puncak kepalanya dan berlama-lama di sana.

Kini mulutnya masih rasa pasta gigi karena ia baru menyikatnya. Atau disikat lebih tepatnya sebab Heksa hanya membuka mulut dan Narendro bekerja seperti dokter gigi handal. Ia selalu tertawa tertahan setiap Narendro berinstruksi, “Mangap lebih lebar sebelah kanan,” dan ia akan bertanya, “Kanan aku atau kanan kamu?” yang membuat mereka lebih memakan durasi di wastafel daripada di bilik kamar mandi. Narendro akan mengecup bibirnya ketika ia sudah selesai, dan berujar, “You do well,” seraya mengurai rambutnya yang masai dan basah padahal ia hanya mangap.

Setelahnya Narendro menyikat gigi sambil bergoyang seadanya, diiringi lagu yang berasal dari playlist bersama mereka. Heksa akan menggelengkan kepala dengan tawa pelan, mencuci mukanya menunggu Narendro selesai berdendang. Mereka akan mengeringkan rambut dengan head bang bak berada di konser rock, membuat pantulan tubuh mereka di cermin blur karena uap air. Kemudian pasti salah satu dari mereka akan iseng menulis “Narendro ♡ Heksa” seperti anak sekolah dasar.

Kadang Narendro hiperbola, ia suka memilih piyama couple agar tampak lucu, namun kali ini keduanya hanya mengenakan kaos berwarna putih tulang dengan celana training hitam.

Narendro akan memasak makanan berkalori tinggi agar Heksa tak menjalankan diet sehat ala bule Singapura katanya, meskipun ia merasa berat badannya sudah naik banyak semenjak mereka tinggal bersama.

Mereka akan menari kecil dengan letupan brondong jagung yang dimasak untuk cemilan. Narendro akan memaksanya naik ke kursi untuk bernyanyi seolah itu adalah panggung, kekasihnya pasti bersiul-siul kencang memanggil namanya bak penggemar berat Heksa. Heksa akan menyanyikan lagu dangdut sunda yang hanya ia hapal bagian chorus karena Narendro sering bersenandung tak jelas, lalu berpindah ke lagu milik Sheila on 7, lalu melompat ke lagu-lagu lain yang tetap berputar sejak mereka masih di kamar mandi. Ah, Heksa jadi rindu mengunggah cover lagu, ia sudah tak pernah melakukannya sejak wisuda.

Lebaynya lagi, hari ini Heksa disuruh melompat turun dari kursi dan Narendro menangkapnya. Pemuda Agustus itu terlampau bersemangat seolah tengah berebut karangan bunga yang dilempar pengantin agar bisa menyusul untuk segera menikah.

Tatkala semua masakan sudah tersedia di meja, mereka makan dengan satu piring karena keinginan Heksa. Akan tetapi hal tersebut justru menjadi bumerang baginya, Narendro lebih banyak menyuapinya hingga ia bersendawa kekenyangan. Gelegar tawa kekasihnya mengisi apartemen mereka, Heksa memukul belakang kepalanya agak sebal.

“Aduh!” Narendro mengaduh kesakitan, namun kembali tertawa terbahak-bahak. Heksa mengelus pelan kepala sang kekasih merasa bersalah sebab pukulannya sedikit bertenaga, ia tersenyum melihat ekspresi Narendro yang amat bahagia.

“Kamu makannya milih-milih banget sih, jadi kecil.”

“Kamu lebih kurus dari aku!” tukas Heksa melayangkan sendok dengan nasi ke depan mulut Narendro.

“Tapi aku makannya kayak monster!” Narendro melahap nasinya, bahkan membuka mulut agar disuapi lagi meski baru beberapa detik lalu ia mengunyah cepat.

Narendro sungguhan monster.

Objek afeksinya kembali menyendok nasi dari rice cooker di counter, Heksa mengerang kencang karena ia pasti akan dijejali makanan lebih banyak.

“Lebay ih kamu mah—disuruh makan kayak disuruh ikut perang.”

Mata Heksa mendelik mengikuti raga Narendro yang menjejak kembali ke kursi di sisinya usai mengambil nasi. Dagunya mendongak agar lebih mendominasi pembicaraan, “Aku perang untuk kebebasan HAM, kamu dari tadi maksa aku makan meskipun aku bilang udah kenyang—itu melanggar kebebasan aku sebagai individu.”

Kekasihnya tertawa lagi karena Heksa berbicara sok keren, tak menggubris perkataannya malah melayangkan sendok dengan lauk.

“Aaaaaa… pesawatnya terbang nih harus mendarat ke mulut kamu—ngueng, ngueng, aaaa….” sendok di depan mulut Heksa berputar-putar ke sana kemari sebelum kembali ke depan mulutnya, Narendro menyengir.

Heksa mencaploknya dengan sebal, lalu ia merasakan tangan mendarat di puncak kepala dan mengusap rambutnya bangga, “You eat well,” kata Narendro. Ia merasa bak bocah berumur lima tahun, namun senyum tipis terukir di bibirnya saat ia mengunyah. Narendro menarik bagian kaki kursinya agar mereka tidak berjarak.

Kekasihnya melirik sekilas padanya sebelum memusatkan fokus pada makanan, “Terlepas kamu orang dewasa yang independen dan bisa melakukan semuanya sendiri, but don’t you like it when someone tries to do something for you?

I do,” Heksa mengangguk mantap, mulai menopang pipinya dengan tangan, tersenyum memerhatikan Narendro yang masih makan dengan hikmat. Ia selalu suka melihat Narendro menikmati hidangan, sangat menggugah selera yang menonton.

Then I’ll always do it for you.”

I love you for that.

Kalimatnya tidak dibalas, namun Narendro kembali menatapnya untuk tersenyum.

Mereka naik ke ranjang setelah itu, menyaksikan film yang tertinggal sebelumnya karena bercinta. Kasur mereka berukuran super king namun keduanya memutuskan untuk saling mendekap, menyisakan ruang yang sangat luas. Heksa lebih memilih menggambar pola tak beraturan di dada Narendro dengan jarinya daripada menonton, telinganya tepat berada di atas detak jantung kekasihnya yang bertempo teratur.

Narendro terkekeh pelan tergelitik oleh jemari Heksa yang berputar-putar di satu sisi, sang kekasih menangkup rahangnya untuk menghujani kecupan kecil di seluruh wajah. Akan tetapi tiba-tiba Heksa merasa kewalahan dengan semua intimasi yang mereka lakukan sejak tadi. Berpikir bahwa bisa jadi ini adalah hal terakhir yang Narendro lakukan sebelum pergi dari hidupnya.

Pemuda itu mulai mengecupi rahangnya, kembali menggigit kecil area lehernya yang sudah memerah bekas bercinta sebelumnya. Heksa berusaha menahan diri untuk tidak mendorong kekasihnya meski lambat laun ketakutan mulai menyergap. Gagasan-gagasan buruk tumpang tindih menyerbu kepalanya; mengenai kekurangannya, kesalahannya, semua alasan yang mampu menjadi alasan untuk menghentikan hubungannya dengan Narendro.

Mungkin banyak yang tak tahu, namun Heksa sering kali merasa tak pantas menerima semua ini. Tak pantas memperoleh kebaikan pemuda yang senyumnya menular dan membawa kehangatan, tak pantas diguyur kasih oleh seseorang yang pernah ia lukai begitu dahsyat, tak pantas menjalin utas dengan seorang Narendro Gibran. Ia segera membalik tubuhnya pura-pura ingin tidur. Air mata lolos darinya, ia menghapusnya sebelum Narendro menyadarinya.

“Kamu mau tidur sekarang?”

Heksa bergumam sebagai jawab, menarik selimut hingga ke kepala. Bagian dalam pipinya ia gigit kuat-kuat sebab merasa kesal; mengapa ia perlu berpikir hal-hal buruk di penghujung hari yang mereka lalui dengan bahagia.

Narendro mulai mematikan televisi dan ponselnya sendiri, pergi ke kamar mandi untuk menyikat gigi lagi sebelum kembali ke ranjang. Keheningan pekat yang tiba-tiba hadir di antara mereka membuat perubahan atmosfer begitu terasa. Narendro peka dan menyadarinya, ia menilik wajah Heksa yang dihalangi dengan selimut, menariknya agar bisa memandang dengan jelas.

Heksa kian menggigit bagian dalam pipinya agar tidak menangis, namun indera penglihatannya mulai mengabur.

“Yah, atuh kenapa jadi nangis gini, Yanggg?” Narendro menangkup pipi Heksa hingga menggembung, “Jelek dah pacar urang padahal habis mandi,” tambahnya.

Ia juga tahu ia jelek saat menangis, namun tak ada keinginan untuk tertawa kali ini. Ia melesakkan kepalanya ke tubuh Narendro karena malu, kekasihnya menepuk-nepuk punggungnya.

“Kamu lagi kepikiran apa?” tanya Narendro lirih seperti mengetahui isi kepala Heksa yang bercabang.

“Kamu baik banget kayak mau meninggal.”

“Heh, ngaco!”

Heksa tersenyum tipis, ia menarik napas dengan dalam sebelum kembali berbicara agar suaranya tidak bergetar, “Aku cuma mikir, do I deserve this? I mean you—do I deserve you? Setelah apa yang aku lakukan ke semua orang?”

Narendro hanya menepuk teratur punggungnya dan tak menjawab, seolah meyakinkan presensinya nyata melalui tekanan dari telapak tangannya. Tiba-tiba kekasihnya menarik diri agar bisa melihat Heksa yang bersandar padanya dengan lebih jelas.

“Kamu merem dong,” pintanya.

Heksa menggeleng tidak mau, membuat Narendro mengerutkan wajahnya lantas berdecak bercanda. Narendro mungkin tidak mengerti ketakutannya sangat nyata. Ia sering berpikir sosok Narendro seharusnya dapat didampingi oleh orang yang lebih darinya. Ia mengingat salah satu perkataan koleganya bahwa, “Orang baik pasti akan berakhir dengan orang baik.” Dan Heksa, tidak mengkategorikan dirinya sebagai orang baik meski semua orang sudah memaafkan kesalahannya, ia cemburu pada orang baik.

Dahi kekasihnya masih mengernyit menunggu Heksa melakukan permintaannya, mata gelapnya menatap lekat-lekat. Namun Heksa bersikeras untuk tidak mengabulkan. Bagaimana jika seandainya Narendro tiba-tiba menghilang tertiup angin? Ia tidak ingin berkedip barang sesekon, “Nggak, ntar aku ditinggal pergi.”

“Eh, kamu mah ngomongnya meuni asal,” Narendro berujar dengan logat sunda yang kental, menyentil pelan dahi Heksa. Lantas wajah kekasihnya dalam sekejap berubah menjadi serius.

“Aku minta tolong kamu tutup mata sebentar, aku janji nggak akan ke mana-mana, ya?”

Tubuhnya bergeming, namun Narendro sengaja menipiskan distansi dan menempelkan bibir mereka. Heksa tak bisa tak kalah. Pada akhirnya ia mulai memejamkan mata hanyut dalam pesona Narendro. Olfaktorinya merasa nyaman dengan harum tubuh mereka yang serupa. Narendro menggigit kecil bibirnya, menyapa setiap inci rongga mulutnya dengan lidah, mengirimkan elektrik ke tulang belakang.

Heksa selalu berharap waktu dapat berhenti dan ia bisa tinggal di dalamnya selamanya.

Ketika ia merasa kekurangan oksigen di dalam paru-parunya, Narendro—yang terlalu paham bahkan sebelum Heksa mendorong bahunya—menarik diri dengan perlahan.

“Jangan dibuka matanya,” bisiknya. Pemuda tersebut mengecup pelipisnya lantas ranjangnya bergoyang karena pergerakan Narendro. Heksa mendengar jejak kaki yang menjauh, ketakutan perlahan merayapi hati, namun ia berusaha menenangkan debar jantungnya yang kresendo.

Sejurus kemudian, ia merasakan ranjangnya bergoyang lagi.

“Buka mata kamu,” instruksi Narendro lirih seperti tak ingin memecah hening.

Dengan penuh keraguan, Heksa membuka kelopak matanya perlahan-lahan. Hal pertama yang ia temukan di hadapannya adalah kotak beludru biru terbuka dengan cincin emas putih tersemat di tengah. Pupilnya melebar dan bolak-balik berpindah dari cincin ke wajah Narendro.

“Mana jari manis kamu?”

Dengan gerak autopilot Heksa menyodorkan tangannya karena masih terkejut. Lalu Narendro mulai menyematkan cincin tersebut ke jarinya dengan hati-hati. Mengelus buku-buku jarinya saat cincinnya terpasang dengan baik.

“Sebenarnya aku mau kasih surprise ke kamu weekend nanti—fine dining, udah diatur bareng Meraki, Keno dari lama,” Narendro menggaruk tengkuknya gugup, menatap jari Heksa yang kini dilingkari cincin; yang sangat berkilau. Heksa belum pernah menjumpai kekasihnya bertingkah demikian karena ia selalu tampak percaya diri. “Tapi sepertinya kamu butuh ini sekarang, jadi nggak apa-apa,” lanjut Narendro.

Lidahnya seolah kelu, ia kembali memeluk Narendro tanpa kata yang mampu terformulasi. Terlalu banyak—terlalu banyak ungkapan yang ingin ia utarakan namun sepertinya Narendro memahami bagaimana ia hanya akan menangis jika dipaksa.

“Kamu layak—bahkan lebih layak dari siapapun. Kamu anak yang baik, kakak yang hebat, teman yang menyenangkan, kekasih yang luar biasa buat aku.”

Narendro semakin merengkuhnya dengan cinta; tubuhnya, kepalanya, jiwanya. Membiarkan suara isak lirih menjadi teman sejenak lantaran pemuda itu ternyata tahu ada kerikil yang menghimpit rongga dada Heksa tahunan lamanya. Heksa menarik napas dan menghembuskan dengan perlahan, menikmati dekap Narendro yang hangat dan penuh kasih sayang, menggaungkan di kepala bahwa setiap orang layak memberi dan diberi afeksi serta adorasi.

Sebab jika ia bisa mengulang waktu dan jatuh cinta lagi, ia ingin mereka bertemu dalam keadaan yang biasa saja: klise, dan membosankan. Ia ingin berkenalan dengan Narendro dalam sebuah organisasi, atau tak sengaja menabraknya hingga ada tumpahan kopi. Ia ingin jatuh cinta ketika tak dikuasai oleh ego, ingin Narendro jatuh cinta padanya karena kepribadiannya, hobinya, jalan hidupnya, kacamatanya pada dunia.

Ia ingin jatuh cinta pada Narendro berkali-kali.

“Datang dan pergi itu perkara biasa, tapi aku nggak akan pergi dari tempat senyaman kamu, Heksa.”

Kerikil itu seolah diremukkan hingga jadi pasir.

Narendro is a man with words, dan ia tahu pemuda itu tidak akan mengingkarinya.

#wrongsteps © impsaux