WRONG STEPS
Rating: mature Jumlah kata: 1.2 ribu Lagu rekomendasi: It's been so long – Ra.D
Bonus scenes: kiss
One day you'll kiss someone and know those are the lips you want to kiss for the rest of your life.
Six months after officially dating.
“Inget our first sex?”
Heksa mengangguk mantap tatkala Narendro bertanya mengenai seks pertama mereka yang amat menyedihkan.
“Masih inget apa aja yang kamu omongin?”
Kini, anggukan dari Heksa menjadi samar karena ragu, ia sempat mengatakan pada Narendro bahwa ia mengingat semuanya, namun mungkin saja terdapat cuplikan-cuplikan kecil yang terlewatkan disebabkan oleh kepalanya yang berkabut saat itu.
Narendro terkekeh pelan, “makanya jangan mabuk,” salah satu topangan tangannya dilepas untuk menyentil pelan dahi kekasihnya, membuat Heksa mengerutkan wajah. Narendro menyampirkan poni pemuda berkulit madu yang menutupi matanya.
“Kamu bilang, kalau kita punya hidup di waktu yang lain, kamu akan cari aku meskipun ke ujung dunia dan akan bilang kamu cinta aku setiap hari.”
Heksa tersenyum, badek tersebut tidak tersisa di memorinya namun kini muncul perlahan-lahan lantaran Narendro mengingatkannya.
“Aku bilang kayak gitu? Serius?”
Detik berikutnya Narendro mengangguk. “Cringe banget maneh, tapi aku suka.”
Kemudian Narendro mencuri kecupan dari bibir kekasihnya.
“I love you, Heksa.”
Heksa tertawa kecil memandang Narendro dengan tatapan cinta. Melihat pantulan dirinya pada iris gelap Narendro yang menenggelamkan. Kini, ia sudah menerima takdirnya yang berada di dalam jurang dan sedang berusaha mencari jalan keluar dengan pemuda Agustus yang berjalan beriringan di sisinya.
Kemudian kedua tangan Heksa menarik lembut tengkuk Narendro agar bibirnya dapat ia raih kembali.
Mengecup Narendro rasanya sama saja seperti dahulu mereka melakukannya, bedanya, sekarang mereka berstatus sebagai sepasang kekasih.
Pagutan tersebut hanya terasa lebih menyenangkan karena tidak ada lagi perasaan bersalah di sudut hati Heksa, tidak ada lagi penyesalan setelah Narendro melangkah keluar dari kamarnya. Ia bisa melumat bibir pemuda Agustus dalam rangkulannya hingga bibirnya merah merekah dan bengkak tanpa peduli pada hal lain.
Dan sekarang Heksa akan melakukannya.
“Hei... hei… nggak usah buru-buru, aku nggak akan kemana-mana.”
“Itu juga kalimat yang kamu bilang pas seks pertama kita, Narendro, tapi kamu pergi.” Balas Heksa agak sendu.
Ia mengingat dirinya membuka mata dengan kepala berdenyut dan tidak ada Narendro yang merengkuhnya, sisi kasurnya yang kosong terasa dingin karena pemuda Agustus tersebut meninggalkannya. Dan, pada akhirnya Heksa menangis lagi kala itu.
Narendro memutar tubuhnya, kini ia berbaring di sebelah Heksa. “Aing nggak bisa tinggal waktu itu, Sa,” ia menoleh pada kekasihnya yang mengubah posisi menjadi berbaring menyamping menghadapnya, “tapi sekarang aing bisa tinggal dah sampai maneh bosen juga.” Bibirnya menyunggingkan senyum.
Heksa menggeleng, “nggak. Nggak akan pernah bosen sama kamu.”
“Maneh makin corny banget dari hari ke hari.” Narendro menanamkan kecupan kecil lagi — entah keberapa kali hanya Tuhan yang tahu — di ujung bibir pemuda yang berstatus kekasihnya.
Jika semua ini hanya sebuah bunga tidur, Heksa tidak ingin bangun selamanya.
Akan tetapi ibu jari yang kini mengusap bibir bawahnya dengan lembut begitu nyata, dan obsidian kelam yang menatapnya nampak seperti milik lelaki yang membuat otaknya malfungsi bernama Narendro Gibran.
Sepertinya ia memang di dunia nyata, ya?
Heksa membuka mulutnya sehingga ibu jari Narendro bisa masuk menyentuh bibir dalamnya. Mendengar bisikan ya Gusti saat ia mulai mengulum ibu jari kekasihnya. Terpejam menikmati jari di dalam mulutnya yang berada di atas lidah. Suara jantungnya berdetak dan terdengar hingga ke kepala.
Detik berikutnya, jari tersebut ditarik, ia merasakan bibir Narendro menggantinya.
Bibir Narendro mengunci miliknya dengan sama lembut seperti yang sudah-sudah. Hanya saling mencecap menikmati pagutan yang mereka padu. Daging merah miliknya diisap dengan halus seperti Narendro sedang menyesap kopi americano favoritnya. Heksa menyunggingkan senyum kala berciuman.
Ia membuka kelopaknya, memandang mata Narendro yang terpejam karena sedang fokus merasakan bibir yang sedang ia cumbu, Heksa tergelitik untuk terkekeh. Namun, ia tidak ingin merusak momen yang sedang mereka bangun, lantas ia kembali menutup irisnya, melumat bibir atas dan bawah Narendro secara bergantian.
Narendro menggigit kecil bibirnya menghasilkan erangan tertahan. Lidahnya masuk menggelitik deretan giginya, mengeksplorasi langit-langit membuat jemari Heksa yang bersemayam di depan dada kekasihnya semakin kuat meremat bahan kemeja yang dikenakan.
Tubuh Narendro kembali berubah posisi menjadi menjulang di atasnya, kedua telapak tangannya menangkup wajah Heksa, berusaha semakin menekan ciuman meski mereka tahu mereka sudah berpagutan terlalu dalam.
“Aku nggak bisa berhenti, aku bisa gila, Sa.” Bisik Narendro kala menarik diri, memandang dirinya yang terengah-engah mengambil udara untuk memasok paru-parunya. Heksa tersenyum menatap kilat gairah yang mulai muncul di mata kekasihnya.
“Aku juga nggak bisa.” Balasnya. Lantas, kepalanya bergerak untuk meraih bibir Narendro yang sudah bengkak sebab ulahnya.
Kecupan Narendro mulai berpindah ke ceruk leher pemuda dalam kuasanya, melumat dan menggigit kecil sehingga menghasilkan warna kemerahan, wajahnya turun menghisap area tulang selangka yang tidak tertutup helai kaos.
“Don't you wanna make love?” Gumam Heksa tatkala Narendro masih sibuk membubuhkan tanda.
“Mau, tapi nggak hari ini.” Bisik Narendro.
“Ayo, sebelum kamu pulang.”
“Kamu mau banget, ya?”
“Kamu udah ngeledek aku dari tadi, masih nanya?” Keluhnya.
Narendro terkekeh di sekitar lehernya, menghasilkan getaran yang membuat Heksa meremang, gairahnya naik sebab hal tersebut.
“Yaudah, aku berhenti.” Ujarnya menarik diri, Narendro bangkit dari posisinya yang setengah menindih Heksa, merapikan kemejanya yang agak kusut karena dipakai berbaring.
Heksa mendengus sebal, memperhatikan Narendro yang kini sudah berdiri tengah mengecek ponselnya yang baru saja berdenting.
“Mau temanin aku sampai depan pintu, apa aku langsung pulang?” Tanyanya menoleh pada Heksa yang sudah duduk di sisi ranjang.
Heksa ikut bangkit mengkawal kekasihnya untuk pulang, masih memanyunkan bibirnya lantaran sebal.
“Aing pulang ya.”
Jemari Heksa menarik milik Narendro untuk ditautkan kembali, enggan membiarkan kekasihnya pergi, “jangan pulang.” Cegahnya. Bibirnya mencebik sedih meski ia mengetahui malam sudah larut dan Narendro harus kembali ke kosnya.
Narendro tertawa lantas mengusak halus rema kekasihnya, “besok ada kelas, sayang.”
“Nginap sini aja.” Tawarnya penuh harap. Heksa sebenarnya tidak keberatan jika Narendro ingin bermalam di kosnya, namun kekasihnya hari ini sedang bersikukuh tidak ingin tetap tinggal.
Pemuda Agustus tersebut makin terkekeh, “kayaknya kita sering banget punya percakapan kayak gini. Iya nggak?”
Heksa mengangguk setuju, “soalnya kamu selalu pulang di jam segini.”
“Dulu aku bukan pacar kamu, Sa. Aku harus pulang.”
“Sekarang kamu pacar aku, tapi kamu tetap pulang.”
Keluhan Heksa menghasilkan tawa lagi dari Narendro. Entah kenapa pemuda tersebut jadi sering tergelak karena tingkah kekasihnya.
“Maneh manja banget kalau jadi pacar gini.” Detik berikutnya Narendro menarik pinggang Heksa membuat pemuda yang berada di rangkulannya terbelalak dengan perilakunya.
Heksa menemukan sorot Narendro berpindah turun dari mata menuju hidung hingga ke bibirnya, merasakan kekasihnya mempersempit ruang di antara wajah mereka.
“Ciuman terakhir sebelum Aa pulang.” Bisiknya masih menatap seksama bibir Heksa yang basah karena mereka sudah berjam-jam saling melumat di sela kegiatan, udara hangat menyapu atas bibirnya, lantas Narendro mengikis jarak terakhir untuk mengulum candunya di depan pintu.
Reminisensi mengenai ciuman pertama mereka yang diliputi kesalahan muncul di rekam jejak Heksa. Ia mengingat mereka melakukannya di depan pintu seperti saat ini. Namun, sekarang ia akan mengganti kenangan malang tersebut dengan yang lebih manis tanpa ledakan dilema yang menyerang.
Tangan Heksa mulai mengalung dan membawa Narendro ke dalam lumatan yang lebih intens.
Seperti dulu, punggung Heksa membentur dinding di belakangnya, namun kali ini begitu lembut, bahkan telapak tangan Narendro berada di punggungnya agar dirinya tidak bersentuhan langsung dengan dinding. Pemuda Agustus tersebut menggigit bibirnya menghasilkan erangan yang tercegah, kembali menjelajahi ruang yang rasanya sudah ia hafal namun tetap ia telusuri lantaran gemar.
Rasanya jika mereka dapat berciuman tanpa perlu melakukan hal lain di dunia, mereka akan berciuman selamanya.
Kalimat terakhir terinspirasi dari lagu Can We Kiss Forever yang direkomendasikan salah satu pembaca yang ngetuk dm aku.
© smoldoy #wrongsteps