MERAKENO

Words: 1737

Additional tags: friendship, slice of life.

Notes: Shoutout to anin, kayaknya dia nggak akan baca, atau akan baca tapi entah kapan. Semua ini terinspirasi dari perbincangan kita berdua.

This is very very personal for me. Sorry, malah jadi serius?


Friends mode

Best friends can last fondly in your memory forever, even if you’ve both moved on.

Keno dan Raki tengah berada di salah satu McDonalds 24 jam dengan perut kekenyangan dan sisa french fries yang masih menggunung. Jarum pendek pada jam milik Keno di pergelangan tangannya sudah bergeser ke angka satuan; lewat tengah malam, namun mereka masih enggan beranjak kendati ruang sekitar kian lengang.

Beberapa hari terakhir mereka sedang melakukan kesepakatan friends mode: no kiss, no fuck, back to the day when they were only friends karena permintaan Keno. Sebenarnya itu hanya akal-akalan agar Keno mampu fokus menyelesaikan skripsi dan melancarkan No Nut November namun di bulan Mei.

Raki menyandarkan punggung dengan nyaman ke kursinya, mendorong nampan yang masih penuh kentang pada kekasihnya scratch that temannya bertahun-tahun.

“Tanggung jawab, Ken. Gue kenyang.”

Keno menggeleng cepat, menunjuk pada nampan dengan jari telunjuknya, “gila, itu gue udah makan setengah nampan. Gantian lah, perut gue kayak mau meledak. Sayang kalau dibuang masih banyak gini.”

“Bawa pulang aja, gimana?”

“Nggak akan enak, dan nggak ada yang makan juga.”

Raki menggaruk kepalanya bingung, ia tidak bisa memberikan ‘sisa’ pada orang lain, dan opsi membuang akan memunculkan perasaan bersalah. Keno mencomot beberapa batang dan merendamnya di sisa saus, lantas menyuapnya dengan hikmat.

Melihat Keno makan membuat selera Raki naik namun perutnya sudah tidak mampu menampung lagi.

“Oh...” Keno tiba-tiba menjentikkan jarinya, “let's play game buat ngabisin ini semua.”

Keno menggeser segala sesuatu yang berada di meja ke pinggir, menyisakan nampan dengan french fries di tengah, “kita tanya jawab, kalau pertanyaannya nggak bisa dijawab, yang nanya harus makan.”

Raki merenung sejenak sebelum setuju, “yah, kalau rules begini, pertanyaannya harus gampang,” tertangkap nada kecewa dari suaranya. Keno yakin ia sudah berpikir untuk melontarkan soal ajaib.

“Biar lo nggak nanya aneh-aneh.”

Raki tertawa, “Okay, shoot.”

Mereka melakukan batu-gunting-kertas untuk menentukan penanya pertama.

Keno berdeham membersihkan kerongkongan, sejujurnya sudah ada pertanyaan yang bercokol di kepalanya sejak lama, namun ia belum menemukan waktu yang tepat untuk mengungkit, “kalau ada kerjaan yang selinier sama jurusan lo tapi harus LDR, mau diambil nggak?”

Raki memberi jeda beberapa detik untuk membalas, “depends, worth it nggak sampai harus LDR.”

Keno mengangguk paham, menunjuk dengan dagunya, “giliran lo.”

“Oh iya,” ujar Raki tersadar, matanya bergerak ke kanan-kiri berpikir sejenak, “seandainya bisa putar waktu, lo mau mengubah cara jadian kita nggak?”

“Enggak, lagi pula lucu juga kalau dipikirin sekarang. Lo?”

Raki menggigit bagian dalam bibirnya, “to be honest? I do.

“Kenapa?” Tanya Keno mengerutkan kening.

“Sekarang giliran gue yang nanya,” Raki menjulurkan lidahnya, membuat Keno berdecak, “you never tell me why you kissed me back, back then. Tau-tau di pangkuan gue.”

Keno merotasikan bola matanya, “lo lagi pengen dipuji, ya?” Ia meraih kentang untuk dijulurkan ke mulut Raki, namun dengan sigap pemuda yang lebih tua melindungi mulut dengan membekapnya sendiri.

“Pertanyaan sederhana itu,” sahut Raki, suaranya tersamarkan karena terhalang tangan.

You're a good kisser,” timpal Keno memberi makan pada ego Raki.

Raki mendengus bangga, “dang, indeed.”

“Kenapa harus di parkiran?”

“Kalau di altar kita nikah, Ken.”

“Seriussss.”

“Ya mana gue tauuu. Momennya pas, you looked good, I wanted to kiss you, we made out.

“Mangap.”

“Gue udah jawaaaab,” Raki merengek melihat kentang yang disodorkan padanya.

“Nggak puas sama jawabannya.”

Keno tetap melayangkan tangan penuh kentang ke depan mulut Raki, menunggu gayung bersambut dengan melambaikannya sedikit. Raki menghembuskan napas menatapnya, dengan enggan membuka mulut, menerima suapan itu dengan tidak ikhlas.

“Ini terbalik, aturan lo yang makan bukan gue!” protes Raki dengan mulut penuh kentang karena baru sadar dikelabui oleh Keno. Seharusnya jika Raki tidak mampu menjawab, maka sang penanya yang harus makan.

Keno tertawa melihat Raki misuh-misuh, “gue suportif, gue juga makan nih,” ia menyuapkan bagian miliknya.

“Curang,” sambat Raki sebal, ia mengambil tisu karena merasa jemarinya sangat kotor.

“Kapan mau nikah?” tanya Raki menaikkan salah satu alisnya.

Keno memandangnya tanpa ekspresi karena sangat terbiasa dengan pertanyaan itu, ia segera menyodorkan nampan mendekat pada Raki, “makan.”

“Dih, pertanyaan gitu doang nggak bisa jawab, payah,” keluh Raki mencebikkan bibir bawah kecewa, ia menepuk meja pelan namun tetap meraih beberapa batang kentang dan melahapnya.

Kekeh kecil muncul dari bibir Keno memperhatikan Raki yang mengunyah dengan enggan. Ia bertopang dagu sebelum meluncurkan soal lain untuk dijawab oleh tetangganya.

“Gimana kalau seandainya kita nggak pacaran?”

“Yaaa, bakal tetep temenan, lah?” jawab Raki cepat seolah itu hanya perhitungan satu tambah satu.

Keno mengangguk setuju, “iya, gue juga mikir hal yang sama, tapi lo tau nggak sih kalau temenan akan ada expiration date-nya?”

Kening Raki mengerut hingga alisnya hampir menyatu, Keno ingin melanjutkan kalimatnya karena ia berasumsi Raki tidak akan melayangkan opini sebelum ia selesai menjelaskan.

“Pas lo punya pacar—” lanjut Keno usai meneguk air mineral. Raki mengubah posisinya menjadi melipat kedua tangan di atas meja, mencenderungkan diri karena topik yang serius, “— gue pernah mikir, aah, suatu saat nanti kita bakal sibuk masing-masing dengan orang yang lebih penting. Lo bakal lupa sama gue—gue akan sibuk sama hidup sendiri juga—jangan dipotong dulu, Rak.”

Raki yang baru saja membuka mulut hendak protes langsung mengatupkannya, bibirnya maju karena keinginan interupsinya ditolak.

Friends can't not communicate, Rak. Kita terkoneksi karena punya pengalaman yang sama: satu sekolah dari kecil, satu lingkungan, satu lingkaran. Tapi perlahan-lahan kita pisah: lo ambil elektro, gue ambil informatika, lo mulai kerja, gue pasti nanti kerja di tempat yang berbeda dan kita nggak akan punya koneksi lagi untuk ngobrol kecuali sesuatu yang lampau.

Jadi… nanti perlahan-lahan intensitas komunikasi kita berkurang karena orientasi hidup yang mulai beda; kita akan melangkah ke jalan yang berseberangan dengan mimpi masing-masing, ketemu orang baru yang akan berbagi pengalaman karena kita nggak bisa lagi jadi orang itu buat satu sama lain. Dan akhirnya, sesi tatap muka kita berubah dari ketemu tiap hari, jadi sepekan sekali, atau bahkan sebulan, atau malah setahun. Ternyata tanggal kadaluarsanya tanpa disangka udah dateng.”

Keno sedikit memiringkan kepala usai mencapai konklusi. Raki mengetukkan ujung jarinya ke meja dengan tempo stabil seraya berpikir, mengamati Keno yang menatap matanya mencari jawaban. Raki merasa tenggelam di netra kelam Keno, namun sekarang bukan saat yang tepat untuk meluncurkan kalimat cheesy.

You think too much, gue nggak akan pergi meskipun kita nggak punya kesamaan lagi buat dibahas.”

Keno mengangkat bahu seolah tak acuh, “gue cuma mencoba realistis.”

“Orang yang menikah tanpa keserasian hobi, atau beda lingkungan kerja, dan atau faktor lain pun banyak, but they work,” sanggah Raki.

“Mereka punya anak dan keluarga yang bisa jadi jembatan, Rak.”

Then we adopt.”

“Gue bahas perkara teman.”

But we are boyfriends and of course will be married!

We are in friends mode.”

“ARGH,” Raki mengerang kesal tidak dapat menyangkal. Checkmate: Keno satu Raki nol, Keno tertawa meraih pipi Raki untuk dicubit karena gemas dengan ekspresinya.

Jemari Raki mulai melingkar pada pergelangan tangan Keno ketika pemuda itu mengusap tulang pipinya, “but seriously, though, I won't leave.” gumamnya meyakinkan, menyorot Keno seolah memberi jaminan. Pendingin ruangan masih menggigit kulit namun hati Keno menghangat.

Keno mengangguk paham, ia tahu Raki tidak akan mengingkari perkataannya sendiri, “I know you won’t,” ia menarik diri, menjeling pada nampan yang hampir kosong; saatnya untuk pulang.

Raki menghembuskan napas lega, mengulas senyum. Keno pikir ia bisa memandangnya seharian tanpa bosan. Well, he does.

“Kalau kasusnya beneran temen, menurut gue gini sih, Ken,” Raki membuka mulutnya kembali untuk berpendapat, “meskipun kita udah pisah tempat dengan kesibukan masing-masing. Lo punya dunia sendiri, dan gue merangkai jalan hidup juga; kita punya sejarah di belakang yang membuat kita jadi pribadi saat ini. Tanpa lo, gue nggak jadi seperti ini and vice versa. Kalau seandainya kita pisah dan nggak komunikasi, its okay, gue yakin awalnya kita merasa bersalah ke satu sama lain, but as day passes we grow and realize hidup emang gini jalannya, people come and go, it bounces to happen even for childhood friends like us, so be it.

Itu semua nggak buruk sama sekali. Lagi pula gue nggak mau nahan langkah lo cuma karena ‘kita’, dan malah berujung destruksi buat kita berdua—gue juga yakin lo begitu. Dan kita nggak bisa tinggal di belakang hanya untuk mempertahankan pertemanan, di sana harus ada pengorbanan.

Meskipun frekuensi komunikasi kita menurun, apa yang di belakang bakal jadi memori indah. Because people go but memories stay. Dan nanti kalau kita reuni, yaaa… semua itu bakal seru untuk dibahas, kan? Nostalgia. Jadi, nikmati aja keseruan kita sekarang.”

Raki mungkin tidak menyadari jika caranya menikmati hari ikut memberikan andil besar dalam kehidupan Keno. Namun kekaguman Keno hanya akan jadi rahasianya sendiri, karena sudah terlalu banyak misteri yang tumpah dan Raki peroleh darinya, setidaknya ia ingin menyimpan satu.

Keno berdiri membuat Raki menengadah, “mau pulang sekarang?” tanyanya, akan tetapi Keno tidak menggubris. Ia mendekat pada Raki dan mengecup pipinya sebelum mengambil langkah seribu.

“Hei, temen nggak cium pipi!” seru Raki terbelalak pada Keno yang melesat kabur ke parkiran. Pemuda itu melupakan ponselnya di atas meja.

Raki mengambilnya, memeriksa meja dan kursi dua kali khawatir jika ada yang tertinggal. Usai yakin, ia membuang sampah sisa makan mereka dan menyusul, memanggil nama Keno, “temen nggak nyiummm!” Serunya membuat Keno memutar tubuh.

“Tapi lo pacar gueeee,” teriak Keno berjalan mundur dengan senyum mengembang. Pemuda itu terkekeh lebar hingga matanya menyipit. Dirinya tidak menyadari ada batu di belakang tumitnya dan hampir jatuh tersandung, Raki menggeleng melihatnya, tawanya ikut berderai. Cute, his boyfriend is the cutest.

“Udah selesai friends mode-nya?” Timpalnya dengan suara yang nyaring sebab hening malam.

“Hari ini doaaaang.”

“Okaaaay.”

Tungkai Raki berlari menghampiri Keno, ia menarik tangannya untuk digamit. Keno mengeratkan genggaman mereka. Mengangkat kepal tangan tersebut ke mulut lalu mengecup punggung tangan Raki berkali-kali.

Raki mengembangkan senyum.

“Boleh meluk?” Tanya Keno setelah mereka sampai di depan mobil Raki.

“Kenapa mesti tanya? Emang temen nggak pelukan?”

Keno langsung menghamburkan diri pada Raki, memberikan rengkuhan yang bisa menghancurkan tulang. Raki menyalak karena kesakitan namun tidak berusaha melepaskan diri. Menggelitik pinggang Keno kendati percobaannya tidak berhasil juga. Yang lebih tua membiarkan tetangganya, menepuk punggungnya dengan sedikit tenaga.

Usai puas, Keno mulai mengendurkan rangkulan, menyandarkan sisi kepalanya di bahu Raki lantas bergumam, “gue mau realistis tapi gue nggak mau pisah, jadi jangan kemana-mana.”

Raki kian menarik sudut bibirnya ke atas, mengusak rambut Keno yang bertumpu padanya.

“Gue nggak akan pergi ke tempat yang nggak ada lo, Keno.” Ujarnya meyakinkan.

Hembus napas lega keluar dari bibir Keno, ia kian melesakkan diri di bahu tetangganya. Menghirup aroma tubuh Raki untuk mengisi memorinya.

Setidaknya untuk hari ini, mereka masih tinggal, tengah menyusun gulungan film untuk memori, yang nantinya akan diputar saat keadaan memaksa keduanya bertolak.

Setidaknya untuk Keno dan Raki, mereka masih punya hari kemarin untuk diceritakan, hari ini untuk dirajut, dan semoga esok serta lusa untuk dimimpi.

© smoldoy #merakeno