MERAKENO
Big thanks to a song titled “Gone” by Jin that accompanied me for days to make this one.
Pulang
Home. /hōm/ Home isn't where you are from, it's where you belong to. Some of us travel the world to find it. Others, find it in person.
Segera setelah Raki membuka pintu kamarnya – yang tak sengaja terbanting dengan keras karena ia tergesa-gesa – ia menemukan Keno, disana, sedang duduk menghadap layar televisi yang biasa mereka gunakan untuk bermain PES, menggenggam stick dengan kerutan di keningnya jika sedang berkonsentrasi.
Ia kembali meniti langkah dengan hati-hati menuju Keno. Meski, ia yakin temannya sudah sadar mengenai eksistensi orang lain di kamar tersebut. Namun, entah mengapa ia tetap menjejakkan kaki dengan teratur dan perlahan. Seperti, sedang menikmati pemandangan yang biasanya tidak pernah ia indahkan sama sekali dalam rentang waktu hidupnya.
Melihat Keno kembali setelah mereka tidak bertemu sekian lama membuat ia bernapas lebih mudah, seperti tali yang menyekat tenggorokannya telah digunting dan dibuang. Ia melengos, hampir mendengus serta tertawa konyol karena merasa rindu setengah mati dengan oknum yang sedang mendesah sebal lantaran tim lawan menjebol gawangnya. Kemudian, ia melemparkan ranselnya serampangan ke kasur, memilih meletakkan tubuhnya dengan bersila di samping Keno yang masih serius.
“Bentar ya, gue selesai 10 menit lagi, nanggung kalau di-pause.” Kata Keno tanpa meloka padanya.
Raki memilih untuk tidak menggubris, ia menatap Keno dengan senyum tipis dan akhirnya mengembuskan udara dengan dengus jenaka setelah sadar, ia masih tidak percaya bahwa ia dapat merasakan hal seperti ini pada temannya.
Ia jatuh cinta.
Raki mulai menarik lututnya ke dada, wajahnya bertelekan tangan yang terlipat pada tempurung lutut dan tenggelam, ia memandangi sisi wajah Keno.
Tempo hari, ia merasa hidupnya kosong. Meski, ia mengetahui bahwa hanya Keno yang kurang disana. Beberapa hari tanpa temannya membuat ia menyadari bagaimana seandainya mereka tidak bertemu. Bagaimana seandainya ia tidak menghampiri Keno yang menangis karena terjatuh terantuk batu. Menuntunnya pulang setelah mengetahui keberadaan sedikit darah di lutut Keno sebab menyentuh permukaan aspal. Sepanjang perjalanan pulang, Keno menangis sambil menggamit tangannya dan memeluk boneka pinguin di tangan yang lain. Raki tidak tahu cara menghentikan isakkan Keno karena dirinya tidak punya adik. Ia tidak pernah menghadapi anak lain yang sedang merengek atau mencucurkan air mata. Namun, ketika ia mengetuk pintu rumah milik Keno lantaran ia tahu dari mamah bahwa Keno adalah tetangganya, terdapat seseorang yang jauh lebih tinggi darinya, menatapnya dan Keno. Ternyata, Keno memiliki kakak laki-laki. Kemudian, mereka berdua digiring ke dalam rumah.
Ia mengingat bagaimana bang Dewa – nama kakak laki-laki Keno – membersihkan luka tersebut dan menghentikannya dari isak tangis. Menempelkan plester pada titik yang luka untuk mencegahnya dari infeksi. Dari sana, Raki belajar, bagaimana ia akan memperlakukan orang lain yang lebih muda darinya. Harus dijaga, harus diberi kasih sayang. Lalu, Raki dibawa oleh Bang Dewa ke kamar Keno untuk bermain bersama. Setelah itu, ia mulai mengetuk pintu rumah Keno untuk bertemu setiap hari.
Raki juga tidak dapat membayangkan bagaimana seandainya Keno tidak berlari padanya setelah mengalungkan medali taekwondo. Ia kabur dari ruang tempat lesnya saat sedang serius mengerjakan simulasi try out mengingat dirinya berada di kelas akhir sekolah menengah pertama.
Waktu itu, ia harus menggunakan transportasi publik untuk sampai pada gelanggang olah raga dimana acara olimpiade olah raga siswa nasional diselenggarakan. Setelah menginjakkan kaki disana, ia menemukan Keno masih berada di tengah gelanggang untuk melawan orang lain, masuk ke dalam babak final untuk menentukan juara satu dan dua. Ia menyatukan kedua telapaknya untuk berdoa, kemudian berteriak, “KENOOOOOOO, GUE DATENGGGGG!!” Setelah mengecewakannya pada tempo hari dengan menolak hadir karena memiliki simulasi yang harus ia selesaikan. Wajah sedih Keno dengan balasan okay yang lirih membuatnya tidak ingin melewatkan hari itu. Kemudian, Keno berlari padanya ketika ia menyadari keberadaan Raki. Mengabaikan panggilan pelatihnya untuk briefing sebelum pulang. Ia mengingat bagaimana panasnya gelanggang dan lengketnya pelukan Keno dalam peluh. Semenjak saat itu, Raki tidak pernah ingin mengecewakan Keno lagi.
Memori dirinya bersama Keno semakin tumpah tindih beradu dalam kepalanya seperti kaset rusak, ia semakin menarik lututnya lebih dalam. Mengeratkannya untuk mencari pegangan agar ia sanggup untuk melanjutkan flashback tanpa bergetar sedih. Ia mengingat bagaimana Keno mengetuk pintu balkonnya pertama kali karena mereka terbiasa menghampiri satu sama lain melalui pintu depan. Waktu itu, Keno dengan kemelut pada wajahnya meminta untuk bermalam di kamarnya. Dan ia mengangguk setuju, membiarkan Keno menginvasi kamarnya tanpa bertanya apa yang terjadi.
Raki terhenyak seraya mengumpulkan kepingan badek menjadi perjalanan panjang hidupnya. Ia tidak bisa membayangkan semua itu tanpa Keno. Hanya melalui lintasan tersebut, ia sudah memahami, bahwa, dirinya bukanlah dirinya tanpa Keno.
Dan ia berpikir bahwa ia lebih baik tidak hidup jika tidak ada Keno.
Air matanya jatuh satu, ia berharap Keno tidak melihatnya.
Raki menyekanya kasar, kemudian mengembangkan senyum lebih lebar. Mencoba duduk bersila dengan benar, mengalihkan perhatiannya pada layar yang masih menunjukkan permainan Keno, ia tertawa ketika pemain lawan menjagal bola dari tim temannya dengan sliding tackle.
Ia tidak akan mengorbankan pertemanannya yang terjalin, jika perasaannya akan menyebabkan perpisahan.
Keno menyelesaikan permainannya dengan membanting stick dan bersorak kemenangan, kemudian ia membagi kesuksesannya dengan menyengir pada Raki. Matanya menyipit hingga berbentuk bulan sabit. Rasanya Raki ingin menangis detik itu juga.
Teman. Ia cukup jadi teman.
Kemudian, ekspresi Keno berubah bingung mengamati wajahnya. Alisnya menyatu, keningnya mengerut, bibirnya mengerucut. Ia melipat kedua tangannya di depan tubuh. Ah, sepertinya air muka Raki berubah menjadi semakin muram dan terlalu kentara menggambarkan isi dadanya. Keno dapat membacanya dengan jelas.
“Lo gak apa-apa?” Tanya Keno, tangannya mencoba meraih wajahnya yang kini nampak menyedihkan.
Jangan begini...
“Could we... hug?” Pintanya tidak yakin.
Kemudian, Keno membawanya ke dalam pelukan. Pelukan tersebut masih terasa sama, seperti saat pertama kali ia merasakannya.
Ia tidak pernah begitu mengingat bagaimana harum tubuh Keno. Namun, hari ini ia merasa dirinya sedang pulang. Ia benar-benar kembali ke rumah. Rumahnya yang baru ia sadari begitu nyaman setelah terpaksa keluar selama berminggu-minggu.
Bibirnya menahan isakan dengan kuat karena malu. Namun, satu tangis lolos dari bibirnya.
“Gak usah alay gini, Rak. Gue jadi sedih lihatnya.” Ujar Keno ketika mendengar satu isakan yang baru saja keluar dari Raki, kini menjadi dua, tiga, empat, dan seterusnya.
Raki meremat belakang kaos Keno tidak membalas, ia juga tahu ia berlebihan, akan tetapi ia tidak bisa menghentikan tangisnya.
Keno menepuk punggung Raki dengan tempo konstan hingga ia puas mengeluarkan pilu dukanya.
Ia tidak mengerti alasan apa yang membuatnya menangis hari ini, apakah hanya sekadar rindu belaka? Atau sebenarnya ia sedang mempersiapkan diri untuk hal lain yang akan datang?
Setelah sedunya habis, Raki berusaha melepaskan diri, namun tangan Keno menahannya untuk bergerak. “Bentar, gini dulu. Gue mau ngomong, tapi kayaknya nggak akan bisa kalau natap mata lo.” Ungkapnya pelan, kini Keno membenamkan kepalanya pada bahu Raki.
Mereka bisa mendengarkan napas satu sama lain dengan jernih.
“Gue straight, Rak...” Aku Keno dalam pelukannya, suaranya sangat bergetar dalam keraguan, dan Raki tidak tahu harus berbuat apa saat ini. Lebih bersedih karena kekalahannya mencintai Keno atau ikut terguncang karena temannya mengalami krisis jati diri yang disebabkan oleh aksinya. Bertanya-tanya mengenai orientasinya hingga mencari konklusi sendirian dan membuat pengakuan. Dadanya sesak kembali setelah mendengar hal tersebut, ia ingin menangis lagi untuk menerima kenyataan. Ternyata isaknya hari ini memang dipersembahkan untuk selain rindu.
Keno akan mendapatkan rumah baru selain Raki.
Hatinya bergejolak, ia merasa begitu egois dengan memaksakan perasaannya pada Keno tanpa berpikir. Keno merupakan rumah bagi Raki, akan tetapi tidak sebaliknya. Ia harus rela melepaskannya dan mendukungnya apa pun yang terjadi.
Namun, mengapa mendengarnya dari mulut Keno terasa lebih menyakitkan?
“Maafin gue.” Raki merapatkan lengannya pada Keno, membiarkannya semakin bersandar pada bahunya. Basah, bahunya mulai basah karena Keno mulai terisak di kamarnya yang sunyi selain suara pendingin ruangan. Menambah garam pada luka baru Raki yang sedang menganga dan belum diobati.
Isakkannya membuat rasa bersalah semakin meluap dalam dada Raki. Menyesakkan. Membuatnya ingin melupakan perasaan brengsek dalam hatinya yang merusak hari-harinya bersama Keno.
“Maaf, Ken.” Ujarnya lagi dengan frekuensi rendah. Ia tidak bisa memilih apakah permintaan maaf tersebut ia berikan untuk Keno atau untuk dirinya sendiri. Kebodohan perasaannya telah membawa Keno pergi beberapa pekan dalam kebingungan. Ia menyesal telah membiarkan hatinya bergerak buta atas nama cinta tanpa memikirkan perasaan objek afeksinya yang kewalahan menerima perilaku tersebut.
Namun, kenapa dadanya tersengat setelah mengetahui semuanya?
Bukankah semua ini yang Raki inginkan dari mereka? Kembali menjadi teman seperti sedia kala? Mengapa Raki ingin menjerit?
Ia menghirup napas panjang, mencoba menetralkan pikirannya.
Kemudian, ia mendapati Keno bergerak pelan di bahunya. “G-gue belum selesai ngomong, Rak,” bisiknya yang dapat ia tangkap, “gue bingung sama diri gue sendiri...”
“I believe I'm as straight as ruler,” lanjutnya sebelum mengambil napas panjang, “t-tapi...” ia dapat merasakan bagaimana kata tersebut semakin lirih di ujung lalu berhenti, “ciuman lo- ciuman lo itu... gue nggak bisa bilang gue nggak suka...” ungkapnya pada Raki setelah bersusah payah.
Raki tidak tahu apakah ia harus bangga atau semakin sedih dengan pengakuan Keno setelahnya. Ia sudah pasrah sekarang, keputusannya sudah bulat bahwa ia tidak akan berharap apa-apa dari Keno meskipun hatinya menentang.
“Kita pernah ciuman, Rak. Tapi cuma sekilas. Dan yang kemarin... that one was totally different from what we did during high school.” Tambahnya lagi dengan satu kali napas tanpa ragu. Kemudian, Raki menemukan seluruh beban tubuh Keno jatuh pada dirinya, pada pelukannya, membuat ia harus mengeratkan rengkuh tersebut dan memperbaiki posisi duduknya jika ia tidak ingin oleng dan jatuh terjerembab ke belakang.
Kini, Raki semakin bingung dengan kalimat-kalimat yang muncul dari bibir Keno.
Kemudian, kepala Keno sudah kembali tegak menghadapnya dengan mata yang semakin menyipit karena menangis. Padahal ia tahu netra miliknya juga sama sembab. Ia menatap bulan sabit tersebut, menghapus jejak air mata yang kentara dengan jemarinya yang panjang. “Sorry,” bisiknya sekali lagi, seperti ribuan kali lontaran maaf yang ia utarakan tidak dapat menjelaskan betapa menyesal dirinya dengan tindakannya.
Detik berikutnya, Keno menyunggingkan senyum tipis padanya. “Let's try doing things, Rak.”
Ia menggeleng, “nggak, jangan maksain diri buat gue.” Tolaknya dengan halus, jemarinya masih setia di pipi Keno, mengelusnya dengan lembut seperti menyalurkan perasaannya lewat sentuhan.
Raki sudah tidak ingin lebih dari ini. Ia sudah cukup egois dengan melakukan apa yang menurutnya baik padahal melukai temannya sendiri. Ia harus berhenti memikirkan perasaannya saja.
Setidaknya, kini ada Keno di sisinya. Ia tidak memerlukan yang lain lagi.
“Im not trying for you, Rak. I do it for myself.” Sanggahnya, kini punggung tangannya di pipi Keno diraih oleh pemuda yang lebih muda untuk digenggam. Pemuda April tersebut menautkan jemari mereka menjadi kesatuan. They fit well. Benaknya ketika melihat tangan mereka terjalin.
Namun, Raki tetap keberatan dengan permintaan yang Keno utarakan. Ia sudah tidak ingin ada pertikaian yang memisahkan mereka lagi. Being friends are fine, as long as they are together.
“Nggak, Ken. Lo lagi nggak berpikir jernih. Gue nggak mau hal kayak gini kejadian lagi.” Raki memundurkan posisinya agar dapat memandang Keno secara keseluruhan. Ekspresinya. Gestur tubuhnya. Kemudian, Keno memajukan daksanya untuk kembali meraih kepercayaan Raki.
“Rak, please? Gue beneran mau coba.”
“You are being considerate for my feeling, you fool.” Ujarnya cepat, masih tidak memercayai apa yang Keno tuturkan sebelumnya.
“Gue udah mikirin ini dari kemarin, Rak.” Keno mulai menguasai dirinya kembali karena kini Raki yang terlihat gelisah. “But just—– take things slow.” Bisiknya menambahkan.
Setelah itu, pemuda yang lebih tua berbalik, tidak ingin diperhatikan oleh manik kristal yang sering mengancam kewarasannya. Ia membelakangi Keno untuk berpikir dan sedikit meringis. Mengapa ketika ia sudah tidak berharap apa-apa lagi, temannya malah memberikan ruang setapak untuknya berjalan?
Raki menyugar rambutnya ke belakang, tidak mengantisipasi hal ini meski hatinya hampir bersorak di sela-sela derita yang Keno ceritakan padanya. Apakah ia boleh egois?
Bahu Raki ditahan oleh dua tangan dari belakang, ia baru sadar bahwa dirinya berguncang karena gelisah, mulutnya masih meracau buah pikiran dari pernyataan tetangganya. Keno memaksanya untuk berputar mengarah padanya, kemudian ia mendapati temannya memutar kedua bola matanya. Pipinya ditepuk dengan lumayan kencang membuat Raki sadar dari kemelut pikirannya sendiri. “Sadar, Rak. Lo kayak orang kesurupuan. Gue yang harusnya bingung begini, bukan lo.”
Kemudian, Keno terkekeh kecil menyebabkan beliak dari Raki.
Raki memejamkan kedua netranya seraya menghembuskan napas panjang nan berat.
Sepertinya ia boleh egois sekarang, kan?
“Janji sama gue lo nggak akan menyesal?” Tanya Raki setelah menyelesaikan pro kontra dalam benaknya.
Keno mengangguk.
“Janji jangan kabur dari gue kalau kita ada masalah?”
Ia mengangguk lagi.
“Janji lo ngomong apa pun yang ada di benak lo, kalau nggak nyaman, kalau nggak suka, pokoknya semua perasaan lo?”
“Iya, anjing. Bawel banget, buset.”
Raki menyengir mendengarnya, dan Keno tertawa.
Ia menarik Keno kembali pada dekapannya dengan lenguhan lega. Senyum lebar terpatri di bibirnya, ia tidak dapat mengurung perasaan bahagianya dengan wajah datar, sepertinya ia perlu berteriak keras untuk meluapkan semuanya. Rambut Keno ia usak berkali-kali hingga tidak beraturan, membuat tetangganya memperingati namun ia terlalu senang untuk peduli. Dan, tanpa aba-aba, ada suara yang menyengat euforianya hingga ia perlu menghentakkan badan. Melepaskan rangkulannya dengan Keno. “Kiss me, Rak.”
Mata Keno nampak jernih seperti air telaga, terang seperti langit pagi.
Mengingatkan Raki mengenai kali pertama mereka nekad melancong menggunakan kereta antar provinsi, mengunjungi rumah salah satu teman online yang mereka kenal dari game. Cuaca amat terik hingga membakar keduanya ketika mereka berjam-jam berada di pantai terdekat meskipun matahari hampir tenggelam. Sendal Raki hanyut karena dilempar oleh Keno dan ia harus pulang dengan kaki telanjang. Keno terbahak seraya meminta maaf tidak tulus karena ia tidak menyangka lemparannya sangat jauh. Membuat Raki mau tidak mau ikut tersenyum meskipun ia sedikit sebal karena peristiwa tersebut.
Raki memiringkan wajahnya dan sedikit mendesis untuk memutuskan apa yang harus ia lakukan. “You said take things slow.”
Keno terkekeh, “yeah, kiss me slowly like you mean it.”
And how could Raki say no?
So, he kisses him.
© smoldoy #merakeno