MERAKENO
It's just an excuse from ila to write markno kissing (again). Inspired by one of the scenes in Horimiya.
Words: 1062 (isinya kissing doang)
Additional tags: fluff, its fucking fluffy I dare you to not smile T_T Bitch wants to fall in love, hashtag ila menangisi markno. Markno tenderism, i love markno, can they marry each other please?
Permen
“Keno abis semhas dikasih banyaaaak banget permen, katanya biar pas ngoding nggak ngantuk,” Keno menumpahkan isi handbag yang ia bawa dari kamarnya di kamar Raki.
Tadi, saat menemukan lampu di kamar kekasihnya menyala—yang mana menandakan si empunya sudah hadir—tanpa pikir dua kali Keno langsung melompati balkon, menemukan pemuda yang baru pulang kerja itu melemparkan ranselnya serampangan ke ranjang.
Yang lebih tua langsung menyamankan diri di depannya, melepaskan dasi yang mencekik dengan agak kasar karena kesulitan dan menggulung lengan kemejanya hingga ke siku. Ia meneliti tumpukan permen itu.
Keno memperhatikan rautnya yang nampak frustrasi lantas melontarkan, “bad day?”
Raki menggeleng tidak menoleh, jemarinya meraba hamparan permen lalu melemparkan beberapa ke udara, “not really. Tadi kerjaannya agak numpuk pas mau balik, jadi buru-buru ngerjainnya dan nggak maksimal—kepikiran aja.” Ia mengalihkan atensi pada Keno yang meringis dan mengerutkan muka tiba-tiba karena mengecap permen dengan rasa yang aneh.
“Keno lagi makan rasa apa?” Tanyanya.
“Tanah liat, ini beneran bikin melek sih karena nggak enak. Coba yang lain deh, Rak. Tadi baca sekilas ada yang rasa kentut.”
Alih-alih mengikuti instruksi Keno, Raki malah menumpukan kedua telapak tangannya di atas gunungan permen dan menipiskan ruang di antaranya dengan Keno. Ia mengecup bibirnya, lidahnya menjulur untuk meminta izin dan menggapai butir yang mulai menyusut di mulut Keno.
“Bener ternyata pahit rasa tanah liat.” Gumamnya pada Keno usai merebut gelintiran tersebut.
Pemuda Agustus itu beranjak mencari ponselnya di ransel untuk menyalakan lampu balkon karena langit kian membiru, meninggalkan Keno yang tercengang dan sedikit menganga karena ulahnya.
Ya Tuhan, Keno sudah sering berciuman dengan Raki bahkan berbuat hal yang lebih dari itu, namun jika pacarnya melakukan sesuatu tanpa ancang-ancang mukanya masih saja menghangat dan merah padam karena malu.
Raki kembali duduk di hadapannya dengan gap bukit permen, rungunya dapat menangkap bunyi gemeletuk manisan yang awalnya berada di mulutnya dan kini berpindah ke mulut Raki. Kekasihnya mengamati bungkus kecil yang Keno peroleh seperti jatuhan konfeti warna-warni di karpet.
“Ini ada yang rasa keju basi.” Sahut Raki mengangkat salah satu permen dan menunjukkannya pada Keno.
Keno yang melamun mengangguk perlahan, “nggak tau pada beli dimana, tadi malah ada yang dikasih sembako buat di kos.”
Raki manggut-manggut paham, “pas Raki sidang juga pada kasih barang yang questionable. Mahen dikasih lube—dibungkus jadi buket kecil gitu, untung nggak dia buka di tempat.”
Keno tertawa mendengarnya, ia mendapati Raki menyobek salah satu bungkus permen lantas menyimpan sampahnya di saku, pemuda itu mengulum gula-gula artifisial tersebut hingga pipinya mencekung. “Tebak rasa permen yang Raki makan, Ken,” tantangnya.
“Telur busuk?” Terkanya mengangkat alis.
Raki menggeleng karena perkiraan Keno salah, membuat yang lebih muda mengerang, “kayu manis?”
Kepala Raki menggeleng untuk kedua kalinya.
Keno menyerah, “nggak tau, rasanya aneh pasti.”
Gelak tawa Raki berderai, “sini duduknya.” Ia menggesturkan tangannya agar Keno mendekat, menepuk ruang di sisinya yang kosong.
Keno berpindah menjadi duduk bersila di sebelah Raki. Pemuda itu langsung menghapus jarak di antara wajah mereka membuat Keno mengernyitkan kening dan otomatis memundurkan durja, “ngapain?”
“Mau tau rasa permennya, kan?”
Oh.
Raki menatapnya, menaikkan alis menunggu.
Tidak mungkin juga Keno menolak.
Mereka menyatukan bibir dan Raki mendorong permen di mulutnya sehingga Keno dapat mengetahui rasanya.
“Rasa apa?”
“Puding cokelat.” Balas Keno mengunyah gula-gula yang kini berada di mulutnya. Permen itu pecah dan substansi di dalamnya lumer, mengeluarkan rasa yang lebih manis.
Raki mengulas senyum, mengambil bekas balutan permen di kantung kemejanya dan menilik tulisan berukuran kecil yang memberikan informasi mengenai rasa produk tersebut, “bener.”
Sejurus kemudian Keno mengikuti Raki, meraih acak salah satu bungkus yang berserakan di atas karpet dan melahapnya, “sekarang Raki te—”
Raki segera merengkuh wajahnya dengan kedua tangan, melumat bibirnya dengan tergesa seperti memang menantikan momen itu. Keno membulatkan matanya terkejut namun langsung terpejam, mulai membalas dan menurunkan tempo ciuman mereka yang awalnya terburu. Tangannya melingkar dan mengerat di pergelangan Raki.
“Rasa apa?” Tanya Keno sedikit tersengal. Sebab wow, berciuman dengan Meraki selalu menakjubkan.
“Rasa Keno,” jawabnya, “Raki suka rasa bibir Keno.”
Keno menyikut rusuknya salah tingkah karena tidak berekspektasi mendapatkan jawaban seperti itu, Raki meringis dan tertawa pelan melihat ekspresi kekasihnya. Kemudian, pemuda yang lebih tua memiringkan dan mencondongkan wajahnya kembali untuk mengulum bibir Keno, membuat Keno melakukan hal yang sama lantas bibir mereka bertemu dan mulai saling memagut.
Berciuman dengan Raki selalu menghasilkan sensasi ledak sukacita di perutnya, seperti biji jagung yang siap melompat karena tidak mampu menahan tekanan uap air yang memenuhi ruang ketika dipanaskan, meletup-letup menjadi jagung brondong yang gurih dimakan. Seperti perasaannya yang meletus ketika bibirnya mulai digigit dan ditarik gemas oleh gigi-gigi Raki, kemudian pemuda itu akan menyelusupkan lidahnya dengan lihai saat Keno memberikan akses, mulai mendorong permen rasa cola yang awalnya di mulut Keno, lalu berpindah ke mulut Raki, dan kembali pada pemakan pertamanya.
Lidah mereka saling mentransfer permen ke mulut satu sama lain, mereka terkikik lucu di sela menghela napas karena merasa konyol, namun kembali saling menempelkan bibir tidak ada yang ingin berhenti.
God, Keno tidak tahu apakah berciuman dengan orang lain akan semenyenangkan ini atau hanya dengan Raki saja. Ia begitu menikmati bagaimana mereka saling mencecap rasa satu sama lain, membelitkan lidah, dan berbagi saliva. Atau sebenarnya semua perasaan itu hadir karena ia melakukannya dengan orang yang ia cinta?
“I love you.” Bisik Keno terengah-engah usai melepaskan pagutan mereka. Ia menemukan Raki mengatur napas seraya tersenyum padanya dengan mata yang amat jernih serta bibir sedikit bengkak. Pemuda itu menarik diri, telapak tangan yang melingkupi tengkuk Keno memijitnya pelan.
“I love you as much, Keno.”
Mereka berciuman kilat untuk terakhir kalinya, menggesekkan ujung hidung mereka yang mengerut dengan gemas lalu tertawa. Keno menyudahi semuanya dengan berdiri, membuat Raki menengadah, pandangannya mengikuti pergerakkan sang kekasih.
Ia membuka lemari milik Raki dan melemparkan handuk baru pada si empunya kamar yang ditangkap dengan ahli, “mandi gih.”
“Habis mandi mau ngapain?”
“Nggak tau, nggak kepikiran apa-apa.”
“Kan Keno habis semhas, let's celebrate! Keluar, ya? Nanti kalau udah nyetir jauh pasti kepikiran mau kemana.”
“Oke, tapi Keno yang nyetir karena Raki baru pulang kerja.”
Raki mengangguk dan bangkit, “Raki mandi dulu,” pemuda itu melepaskan semua pakaiannya dan menjatuhkannya di tempat ia berdiri. Tidak segan-segan untuk meletakkannya pada keranjang baju kotor yang sudah disediakan. Ia melilitkan handuk di pinggangnya lalu mengacir ke kamar mandi.
Keno menghembuskan napas panjang melihat pemandangan itu, mulai memunguti tiap helai pakaian kotor dan menaruhnya di keranjang. Dirinya yakin ia menyukai Meraki, namun kalau pemuda itu masih melucuti baju dan meninggalkannya berceceran di karpet, ia jadi berpikir lagi jika diajak menikah.
© smoldoy #merakeno