MERAKENO

Sakit

Cutie pie, mana yang sakit?” bisiknya perlahan amat lembut, diperuntukkan khusus pada kekasihnya.

Keno menggeleng pelan, jemari Raki mengelus pelipis prianya yang terdapat plester. Tatapan matanya begitu teduh, ia menghela napas panjang. Dentum di jantungnya lambat laun menurun menjadi normal karena menemukan kekasihnya baik-baik saja. Hanya perlu beberapa hari hingga luka yang menghias di wajah Keno pudar. Beruntung Keno menggunakan celana jeans dan jaket kulit, anggota tubuh lainnya tidak tergores meski terdapat robekan karena bergesekkan dengan aspal. Simpul di dadanya melonggar sedikit.

“Lain kali hati-hati, ya?” peringatnya, membuat Keno mengangguk. Jemari Raki mendarat di pipinya yang lebam lantas mengusapnya hati-hati.

“Keno tadi ngantuk nggak bisa ngehindar,” keluhnya seperti anak kecil.

“Iya, nggak apa-apa, lain kali minum kopi dulu atau makan permen pas naik motor biar nggak ngantuk.”

Keno menengadah menikmati sentuhan lembut dari kekasihnya. Menemukan kemeja Raki amat kusut, keringat meluncur bebas di pelipisnya, wajahnya sangat merah; Raki tampak... kacau. Pasti yang lebih tua berlari menghampirinya ketika menerima emergency call. Ada bongkah rasa bersalah yang menumpuk karena Keno mengganggu kegiatan Raki. Ternyata ia tidak bisa mandiri dan sebergantung itu pada yang lebih tua, dadanya mulai sesak ingin menangis.

“Kerjaan Raki gimana?” tanyanya dengan suara bergetar.

“Nggak usah mikirin Raki,” jawabnya menatap mata Keno, pemuda itu tersenyum kecil.

“Jangan kayak gitu.”

It's fine, semuanya udah di-handle. Kita pulang, ya? Nanti motor Keno dibawa orang lain.”

Keno mencebikkan bibirnya kendati mengangguk patuh. Pandangannya mengabur dan akhirnya air mata lolos di pipi, ia menghapusnya kasar, namun meski sudah diusap, inderanya tetap blur dan pipinya semakin basah.

“Yah, yah, kok nangis? Ada yang sakit? Yang mana yang sakit? Bilang ke Raki.”

Raki menoleh tergesa, hampir berseru memanggil dokter di IGD namun Keno menarik lengannya agar kembali memberikan atensi padanya. Air mata terus turun di wajah Keno, dada Raki terasa semakin teremas.

“Sayanggg,” panggilnya pelan. Mencoba menangkup wajah Keno dengan hati-hati. “Raki di sini, bilang mana yang sakit ke Raki?”

Ibu jari Raki berusaha menyeka bulir yang turun. Keno malah menggeleng dengan cepat sebagai jawaban.

“Mau pulang,” rengeknya. Tubuh Keno terasa lemas dan kepalanya pening. Ia masih merasakan jemarinya gemetar sebab insiden yang menimpanya. Ditambah dengan perutnya yang seperti diaduk karena perasaan bersalah, ia ingin pulang dan tidur di dalam dekapan Raki.

“Ayo kita pulang ya. Keno bisa jalan? Butuh kursi roda? Atau mau digendong Raki?”

Keno langsung memeluk Raki saat mereka sudah berada di kamar. Mengabaikan pertanyaan orang tuanya yang merautkan khawatir saat masuk. Raki menggumamkan bahwa Keno baik-baik saja dan izin bermalam di kamar sang anak—yang langsung dihadiahi anggukan.

Sebelum mereka terlelap tanpa mengganti pakaian, Keno mendengar Raki berbisik pelan, “You didn't know how much it hurted me when i saw you cried, jangan sakit, jangan luka, please,” lalu Raki mengecup dahinya sebelum menariknya lebih dalam untuk bersandar.

Telinga Keno menempel di dada Raki, ia menghitung detak jantungnya yang teratur sebelum bermimpi tentang ciuman mereka di bianglala.




© impsaux #merakeno