MERAKENO

Konfrontasi.

Bunyi ramai langkah kaki dari dalam ruangan membuat Raki yang merenung kembali menengadah menyadari realita. Ia melihat pintu dibuka oleh salah satu dosen yang tidak ia kenali, kemudian ia tersenyum sopan karena mereka bertemu mata. Setelah dosen tersebut berlalu, kepalanya kembali menoleh pada pintu keluar untuk menyisir satu persatu mahasiswa yang muncul dari balik kayu. Netranya melebar meneliti, takut melewatkan sosok pemuda dengan hidung bangir yang sukses mengacaukan pikirannya beberapa hari terakhir.

Sejujurnya, Raki belum memikirkan apa yang harus ia nyatakan pada Keno hari ini. Ia akan membiarkan otak reptilnya bekerja secara impulsif untuk membeberkan semua yang ada di dalam benaknya. Ia hanya ingin Keno mengerti, karena, sepertinya jika perasaan tersebut tetap tersimpan di dalam dadanya, ia bisa menggila dan menerobos batas mereka secara tidak sadar (lagi).

Namun, terlepas dari keinginannya untuk melakukan konfrontasi seperti usulan dari Narendro, ia rindu berada di sekitar temannya. Mereka pernah beberapa kali memiliki masalah besar sehingga membuat Keno lari dari hadapannya, ( yang bisa diasumsikan sebagai waktu berpikir sesuai dengan kalimat Keno, namun tidak bagi Raki). Tapi kali ini, Raki tidak yakin Keno akan kembali berjalan menujunya. Ia merasa seperti ditinggalkan tanpa kesempatan. Maka dari itu, Raki harus mencari peluangnya sendiri. Mengambil resiko karena jika ditarik kembali pada akar mula insiden ini, semua masalah yang terjadi berawal dari Raki dan kebodohannya.

Maniknya menemukan Keno yang sedang tertawa berjalan keluar ruangan bersama Narendro, tidak menyadari keberadaannya di samping pintu. Kemudian, ia menggamit lengannya membuat Keno tersentak kaget dan berhenti, buru-buru menoleh ke belakang dan mendapati Raki yang menahannya. Pupilnya membesar sekilas memandang Raki yang semakin memperkuat cengkraman tangannya agar Keno tidak bisa kabur.

“Kita harus ngobrol, Keno.” Tegasnya pada Keno.

Narendro yang ikut menghentikan langkah mulai memperhatikan mereka berdua.

Raki menunggunya, melihat wajah Keno yang menunduk dengan ekspresi gelisah, seperti sedang berpikir. Kemudian, Keno menoleh pada Narendro yang berada di sampingnya. “Lo duluan aja, Na. Nanti gue chat.”

Narendro mengangguk mengerti, lalu ia berbagi pandangan beberapa detik dengan Raki sebelum memberi anggukan padanya dan menjejakkan kakinya meninggalkan mereka.

Sesaat setelah itu, Keno menepis tangan Raki dengan kuat untuk melepaskan diri, ia mulai bersidekap memproteksi diri. Ekspresinya berubah lebih dingin, wajahnya tegas, rahangnya nampak kaku, menuntut. Bahkan, Raki sempat mendengar decakkan dari bibir Keno.

“Ngobrol di kelas aja, gue nggak mau semua orang dengar.” Ajak Raki untuk masuk pada ruang kosong yang baru saja menjadi ruang kelas Keno.

Raki memimpin jalan hingga mereka berada di tengah ruangan. Keno memilih menghentikan ayunan tungkainya untuk bersandar pada papan tulis yang masih menyisakan banyak coretan, sedangkan punggung Raki menumpu pada meja dosen.

Kemudian hening, mereka sama-sama menundukkan kepala sibuk berkelana dengan pikiran masing-masing.

Beberapa saat setelahnya, Raki mendongak untuk menumpahkan isi kepalanya. Namun, sebelum Raki dapat membuka mulutnya, Keno mencegahnya dengan berkata terlebih dahulu hingga ia mengatupkan bibirnya kembali, “lo mau ngasih alasan apa?” Ujarnya yang ternyata keluar lebih lembut dari ekspresi yang ia berikan padanya dari tadi.

Raki menggigit bibir bawahnya, kemudian dengan ragu membuka suara. “Gue... gue nggak akan ngasih alasan, Ken. Ini semua emang murni kesalahan gue.”

“Okay, kesalahan.” Keno mengangguk berkali-kali dengan pandangan ke sepatu converse-nya, seperti mengerti maksud Raki, namun Raki tahu sebenarnya ia malah semakin salah paham.

“Bukan gitu maksud gue, Ken.” Lanjut Raki.

“Terus apa? Lo mau ngeles dengan bilang hal yang sama kayak waktu itu? ‘It just slipped to your mind’?” Tanya Keno menatap matanya, kemudian mendengus dan mengalihkan pandangan.

“Nggak gitu, Ken... sumpah, nggak gitu.” Sanggahnya semakin frustasi, ia menggigit kuku ibu jarinya.

Netra mereka kembali bersirobok, kemudian Keno menoleh ke arah lain dan mengibaskan tangan di udara, “lupain aja, deh, Rak, gue mau ngerjain project.” Keno sudah kembali berdiri dengan tegap ketika tiba-tiba Raki memekik dengan menyisir rambutnya frustasi. “AH ELAH!” Membuat Keno tersentak dengan erangannya. “Lo dengerin gue ya, Ken. Lo harus dengerin gue!” Pintanya tanpa sadar menaikkan suara.

Sudah tidak ada yang perlu Raki sembunyikan lagi, ia siap mati hari ini.

“Gue suka sama lo. Lo kaget, kan? Iya, sama, gue juga, anjeng,” cercanya, “gue nggak tau sejak kapan. Lo pasti masih inget kan sama chat gue yang `I said I wanna fuck you so bad?’ I do, Keno. I really do want it till now. Its not a joke or without reason. Gue baru sadar suka sama lo setelah Lucky knocked some senses to me, when I told him I wanna fuck you.” Katanya cepat seperti rentetan peluru.

“Gue mimpi having sex sama lo selama seminggu, brengsek, bahkan sebelum itu gue kepikiran buat ngajak lo jadi friends with benefit karena kita selalu ngelakuin hal gila bareng. Gue sinting, kan? Iya, sorry, Ken. Lo punya teman tolol kayak gue.”

“Setelah mimpi itu, gue nge-chat lo padahal gue tau lo gak akan setuju. Tapi bangsat, emang Raki nggak bisa mikir, gue tetap ngirim hal itu dan berharap kita bakal masih jadi teman baik. Setelah nerima balesan lo, gue panik, Ken... Gue panik. Gue takut lo nggak mau jadi teman gue lagi, padahal emang gue yang salah dari awal, gue yang goblok dari awal, gue yang tolol dari awal. Gue nurutin hasrat gue yang nggak layak ke lo padahal lo teman gue, tapi gue nggak bisa, Ken... perasaan gue.... perasaan gue makin kacau setelah itu...”

“Gue pengin milikin lo, gue lebih sering mikirin lo, gue melakukan hal-hal yang sebelumnya nggak pernah gue lakuin ke lo... gue gila sama lo, Ken.”

“Dan hasrat gue semakin kacau, gue nekad nyium lo di parkiran. Sorry, Ken. Lo kalau mau mukul gue, silakan pukul gue, gue udah nggak pantes dianggep teman, lo pasti geli banget sama gue. Gue juga nggak ngerti kenapa gue sampai segininya.”

“Gue stres banget, kepala gue isinya cuma Keno, Keno, Keno, Keno, ANJENG!!” Teriak Raki makin keras menguasai ruangan, “LO PIKIR GUE MAU KAYAK GINI?!” Bentaknya, kemudian ia memijat kepalanya yang berdenyut.

But then, I realized, maybe, its because.. its because.. I really like you a lot, I do wanna try every first thing with you. Maka dari itu, cuma ada nama lo di kepala gue setiap gue melakukan semuanya.” Suaranya kini lirih, “I do like you a lot, Ken..” ulangnya lagi. Raki menghela napas panjang sambil mengusap muka dengan kedua tangannya. Ia menunduk lebih dalam, tidak ingin melihat ekspresi Keno. Ada bunyi samar gemertak gigi yang rungunya tangkap.

Kemudian, suasana menjadi sunyi.

Raki kembali menggigiti kuku ibu jarinya. Dadanya sesak, namun beban di pundaknya seperti hilang setengah.

Ia tidak berharap mendapatkan respon positif setelah ini.

“Gue nggak tau, Rak.” Akhirnya Keno buka suara nampak kalut, “gue nggak tau.” Ulangnya lagi. Raki dapat melihat dari ekor matanya bahwa Keno menggelengkan kepala kebingungan.

I need times.” Tambahnya pelan, kemudian ia melenggang pergi.

Raki menatap nanar punggung Keno yang berjalan menjauh, semakin mengecil, kemudian menghilang ketika berbelok. Meninggalkan Raki di ruangan tersebut sendirian.

Sepertinya, ia akan kehilangan Keno, kan?

© smoldoy #merakeno