MERAKENO
Makan siang
Ketika Keno sampai ke meja kantin sesuai arahan Raki, ia mendapati bahwa tetangganya tidak sendirian. Ada 3 orang lainnya yang duduk bersama Raki, namun yang ia kenali hanya Lucky karena sering dibicarakan oleh temannya. Ia duduk di samping Raki dengan canggung karena dilingkari oleh kakak tingkat yang berbeda jurusan.
“Santai aja, Ken. Nggak bakal diospek lagi.” Ujar Lucky yang melihat bahu kaku Keno.
Raki menunjuk temannya satu persatu sambil mengenalkan namanya, Keno mengingat dari fitur wajahnya yang beralis tebal bernama Danar sedangkan yang berupa seperti keledai adalah Mahendra. Ia tidak terlalu paham apa yang mereka bicarakan karena menyangkut jurusan Raki, yaitu teknik elektro. Sampai akhirnya ia hanya makan dalam hening namun sesekali menimpali jika ditanya mengenai aib Raki.
Ia mulai merasa nyaman ketika topik berpindah, mereka banyak berbicara mengenai planning menghabiskan liburan panjang meski semester genap baru beberapa pekan dimulai, mencatat tempat – tempat yang ingin dikunjungi dan berencana untuk menanjak bersama untuk melihat matahari terbit. Ada beberapa destinasi yang membuat Keno bersemangat untuk ikut dengan mereka, dan sepertinya teman-teman Raki adalah orang yang mudah bergaul, perbedaan satu tahun tidak membuat mereka menganggap Keno lebih muda.
Di sisi lain, ada keganjilan yang muncul di benak Keno. Ia tidak mengetahui alasan mengapa jarak duduk antara dirinya dan Raki begitu rapat sehingga lengan mereka sering berbenturan, sedangkan ada kelenggangan antara teman-teman Raki karena kursinya memang luas, ia juga tidak begitu peduli ketika tetangganya sering menoleh, menawarkan makanan lain padanya namun tidak pada teman-teman sejurusannya
Raki is just being Raki, pikir Keno.
Keno pamit pada teman-teman Raki karena tidak ada kelas siang dan memilih langsung pulang dengan motornya, ia membonceng Narendro kembali ke kos dan meluncur pulang tanpa memusingkan bagaimana Raki ikut berdiri dan ikut keluar dari area kantin, jemari Raki memijit belakang lehernya ketika mereka berjalan bersisian. Dan Raki mengatakan hati-hati dengan intonasi lembut, sebelum menambahkan kata maba untuk menggodanya seperti biasa.
Raki is just being Raki, ulangnya lagi.
Ia juga tidak ingin memikirkan bagaimana Raki mengusak puncak ubun-ubunnya sebelum menjawir telinganya dengan tawa. Bahkan Raki mengenakan frame yang berbeda hari ini, dan tidak menggunakan kaos polo seperti biasa melainkan kemeja yang lengannya digulung hingga siku.
Bukankah Keno terlalu peka hari ini?
Ia juga tidak ingin acuh ketika Raki memainkan jemarinya di bawah meja saat mereka semua selesai makan dan mengobrol, membuat pola di punggung tangannya, terkadang menggenggamnya erat dan melepaskannya, mengukur besar telapak tangan mereka diam-diam sambil terbahak karena banyolan dari Mahendra.
Pertanyaan muncul pada benak Keno.
Apakah Raki bersikap seperti itu sejak lama?
Atau, apakah memang mereka seperti itu namun Keno terlalu terbawa suasana karena insiden tempo hari?
© smoldoy #merakeno