Jody's weirdness
Waktu orientasi selalu menjadi salah satu acara yang sangat menguras tenaga.
Jody sudah lupa kapan terakhir kali ia mengeluarkan suara dengan volume biasa, karena dirinya terlalu sering berseru dengan lantang hingga urat lehernya timbul.
Menjadi koordinator komisi disiplin tidak pernah mudah. Masalah yang muncul tidak hanya dari peserta orientasi, namun juga dari panitia penyelenggara.
Dan sebagai tangan kanan project officer, ia perlu 'mengamankan' panitia yang suka melakukan hal – hal tidak terpuji selama masa orientasi.
Jody kelelahan setengah mati namun ia tahu Dewa merasakan hal yang serupa, atau bahkan lebih.
Ia berdiri di belakang Dewa yang sedang berbicara mengenai misi pemenangan bendera jurusan menggunakan pengeras suara, project officer-nya terlihat begitu berwibawa dengan PDL hitam khas angkatannya. Terik matahari membuat mahasiswa baru yang duduk menghampar lebih banyak menunduk karena silau.
“Setiap jurusan harus mengeluarkan ciri khas masing – masing, dan jika kami menemukan kemiripan konsep, kami tidak akan memberikan satu pun bendera di belakang kami untuk kalian.”
Dewa melirik pergelangan tangan, melihat waktu pada arlojinya, “karena sekarang merupakan hari terakhir orientasi, saya akan memberikan waktu diskusi hingga jam 5 sore yang akan dievaluasi oleh panitia. Paham?”
Kata paham serentak muncul dari mahasiswa baru.
Project officer mundur berpindah berdiri di belakang, komisi disiplin menggantikan posisinya untuk berbicara.
“Silakan berdiskusi di tempat lain, dalam 5 menit saya tidak ingin melihat kalian masih berada di lapangan. Mulai dari sekarang!”
Semua mahasiswa bangkit meninggalkan lapangan dan berkumpul sesuai jurusan, mengosongkan rumput hijau.
Setelah yakin tidak ada satu pun mahasiswa baru di lapangan, Jody merosot duduk di rumput karena lelah berdiri berjam – jam. Ia berputar dan menemukan teman – temannya juga melakukan hal yang sama.
Begitu pun Dewa.
Ia melihat kacamata yang membingkai kekasihnya melorot hingga di ujung hidungnya, dan membuatnya sedikit terkekeh.
Dirinya bangkit untuk duduk di hadapan Dewa.
“Ketua aku kacamatanya merosot.” Ia memperbaiki posisi frame Dewa yang membuat kekasihnya tersenyum padanya.
Dewa menarik walkie talkie yang berada pada saku celananya, “tolong semua koor kumpul di lapangan 20 menit lagi, nggak ada telat karena sekarang hari terakhir dan jam 8 nanti malam puncak. Ganti.”
Jody kembali tertawa mendengar kalimat menuntut dari kekasihnya, ia jarang sekali menemukan intonasi itu keluar dari Dewanya. Karena ia tidak pernah seperti itu kecuali dalam beberapa peristiwa, khususnya sekarang.
“Kamu nggak panas pake hitam, Yang?”
Sebagian dari panitia pergi dari lapangan. Beberapa orang yang tak sengaja mencuri dengar melirik padanya dan membuat ekspresi mual karena Jody mulai menggoda ketua pelaksana.
Jody hanya tersenyum cengengesan.
Hampir seluruh panitia tahu kalau Dewa adalah pacar Jody, karena Jody vokal sekali tentang hubungan mereka.
“Panas. Angkatan gue kenapa ya bikinnya pake warna hitam. Nyesal gue iya-iya aja pas ditanya pendapat.”
Sesal Dewa karena tidak terlalu peduli ketika angkatannya berdiskusi mengenai warna PDL yang menjadi ciri khas mereka selama berkuliah.
Dewa melihat PDL angkatan Jody yang berwarna hijau dan kaus putih yang digunakan di dalamnya. “Gue mau buka PDL, boleh nggak?” Izinnya pada Jody.
“Kamu pake kaos dalam, Yang?”
Dewa menggeleng.
Jody langsung menyerobot, “ya jangan, Yang. Ntar banyak yang liat kamu.”
“Kan gue cowok, Dy.”
“Ya karena kamu cowok, makanya jangan.”
Dewa mengeluarkan tawa, ia melepas beberapa kancing atas agar angin bisa menerpa badannya.
“Lah, lah, Yang, kok dibuka?!” Jody panik, semakin mendekat pada Dewa untuk menutup tubuh kekasihnya agar tidak diperhatikan oleh orang lain.
Padahal lapangan sudah sepi kecuali beberapa orang yang lalu lalang.
Jody melihat bagaimana keringat Dewa yang turun dari leher ke dadanya, ia menggeleng.
Ya Tuhan, ada saja ujian di siang bolong.
Ia mencoba memfokuskan pandangannya hanya pada wajah Dewa yang sedang memperhatikan orang yang lewat, mendapatkan kantung mata kekasihnya di balik kaca yang semakin menghitam karena tidak tidur dua hari terakhir.
Tangannya meraih kacamata Dewa untuk di lepas dari hidungnya yang bangir, membuat kekasihnya menaikkan alis bertanya tanpa suara.
Ia menyentuh kantung matanya, “kalau kita udah selesai, Bunny harus tidur yang nyenyak, ya.” Ujarnya memijat kening Dewa yang sering mengerut karena berpikir.
Sebenarnya Jody juga kurang tidur karena lebih banyak menemani Dewa, namun ia masih suka mencuri waktu untuk beristirahat karena ada sistem shift yang diusulkannya agar mereka bisa bekerja maksimal setiap acara berlangsung.
Dewa mengangguk, semakin merapatkan diri untuk menjatuhkan kepalanya di bahu Jody.
“Gue mau tidur, tolong bangunin kalau semua panitia udah ngumpul disini, ya?” Pintanya.
Jody berdeham untuk menjawab. Membiarkan posisi duduknya yang kurang nyaman tetap menjadi sandaran kekasihnya.
30 menit kemudian, meskipun agak terlambat dari permintaan Dewa, semua koordinator divisi sudah berkumpul di lapangan.
Dewa memulai sesi evaluasi harian sebelum acara puncak dan malam akrab yang akan berlangsung nanti malam.
Tangan kirinya berada dalam genggaman milik Jody selama sesi itu berlangsung. Membuat beberapa panitia sedikit terdistraksi karena setiap Dewa mengangkat tangan, pautan mereka ikut terbawa ke atas.
Namun Dewa juga tidak terlihat keberatan dengan tingkah Jody yang tidak ingin melepaskannya.
Jody tersenyum sepanjang evaluasi, memainkan alisnya ketika panitia lain -yang mayoritas adalah angkatannya- mengisyarakat Jody untuk tidak mengganggu Dewa terlebih dahulu.
Salah satu teman Jody, koordinator medis, mengangkat tangannya untuk menginterupsi, “maaf kak mau tanya, kak Dewa nggak kesel digangguin gitu dari tadi sama Jody?” Tanyanya, membuat Dewa melirik pada Jody di sampingnya yang masih tersenyum menyebalkan pada temannya, Athena.
“Gue tahu kak Dewa pacar lo, tapi lepasin dulu kenapa Jod?! Pengen gue pukul tangan lo.” Lanjutnya membuat panitia lain terbahak karena Athena begitu blak – blakan.
Dewa akhirnya angkat suara kembali, “nah, udah ada yang risih, Dy. Gue lepas dulu, ya.”
Jody mengangguk patuh meskipun memajukan bibirnya.
Panitia lain menatap takjub ketika mendengar intonasi suara Dewa yang sangat berbeda pada Jody.
Dewa menepuk tangannya untuk mencari atensi semua panitia yang berkumpul, melanjutkan sesi evaluasinya hingga penutup, “acara jangan lupa jam 5 ke aula buat evaluasi talent, logistik jangan lupa bendera dan bantu rapihkan aula, komdis,” ia melirik pada Jody, “tetap keliling, sisir maba sama panitia, kalau ada pelanggaran langsung lapor. Hari ini hari terakhir kita sebelum makrab dan besok pagi adalah acara terakhir peresmian maba. Tetap jaga kesehatan kalian, okay? Sekarang silakan gunakan waktu luang kalian.”
Setelah mengucapkan terimakasih, semua panitia bangkit berdiri meninggalkan lapangan, menyisakan Dewa dan Jody yang masih nyaman di atas rumput.
“Mana tangan Jody?”
Jody menjulurkan tangan pada kekasihnya untuk digenggam kembali, merasa senang ketika Dewa menggabungkan kedua tangan mereka dan membawanya pada pangkuan ketuanya, “lain kali tahu tempat, Dy. Gue nggak keberatan kita kayak gini, tapi kasian panitia yang lain.” Ucap Dewa memberi pengertian pada Jody.
Jody menjawab dengan anggukan, “maaf, Yang. Aku cuma pengin pamer aja tadi, hahahaha.”
Dewa meninju bahunya pelan, “pamer apaan, semua orang juga udah tahu.”
“Biar yang jomblo pada iri dengki, Yang. Hahahah.” Kikik Jody melebar membuat Dewa ikut tersenyum, “kalau kamu merhatiin ekspresi panitia yang jomblo, lucu tau, Yang.” Tawanya masih berderai hingga ada titik air di ujung matanya.
Dewa menggeleng tidak paham dengan pola pikir dan kelakuan kekasihnya yang absurd.
Yang lebih muda bangkit lebih dahulu membantu yang lain untuk berdiri, kakinya terasa kaku karena terlalu lama duduk bersila.
“Kita ke kosan aja, Yang. Mandi dulu sebelum puncak acara. Masa project officer mau sambutan kucel gini.” Jody merapihkan rambut Dewa yang berantakan karena angin.
Dewa hanya mengangguk sebelum dirinya digendong di punggung Jody tanpa sebab.