Jody makes Dewa opens up

Mereka kembali menatap rasi bintang abstrak yang berkilauㅡkarena Dewa terbiasa tidur dengan mematikan lampuㅡdalam hening yang nyaman. Ibu jari yang lebih muda tanpa sadar bergerak membuat pola pada punggung tangan kekasihnya dalam genggaman. Ia mencoba memejamkan mata karena waktu sudah menunjukkan tengah malam. Mengusahakan berbagai cara untuk tidur: dari menghitung domba, merangkai mimpi, hingga membayangkan soal uts kriptografi yang membuat dirinya hampir menangis di ruang ujian.

Jody mengerang karena usahanya tidak berhasil.

Ia mencicit memanggil bunny-nya dan membuat Dewa melirik pada kekasihnya yang terlihat sebal entah karena apa, “nggak ngantuk ya?”

Jody berdeham untuk menjawab.

“Aku nggak bisa tidur, Yang. Mau nyalain lampu nggak? Kita nonton dulu biar ngantuk,” Jody menawarkan opsi untuk menghabiskan malam, “mau pake laptop punya aku atau kamu?”

Si penginap bersiap bangkit untuk mengambil salah satu laptop di tas yang paling dekat dengan jangkauannya, namun lengan Dewa menahannya. “Nggak perlu, jangan nyalain lampu.”

Atas permintaan kekasihnya, Jody kembali menyamankan posisinya sesuai permintaan sang kekasih, ia menarik Dewa ke dalam pelukannya karena siapa tahu saja mereka bisa tidur jika seperti ini.

“Gue selalu tidur dengan matiin lampu dari kecil.” Cerita Dewa tanpa tedeng aling-aling, “ayah gue yang ngajarin.” Leher Jody tergelitik karena hembusan napas hangat dari Dewa ketika ia berbicara.

Ngomong-ngomong, Jody baru mengetahui fakta itu hari ini.

Dewa jarang bercerita mengenai keluarganya, karena itu adalah topik paling sensitif yang ia hindari.

“Kalau mereka mau ribut, gue selalu disuruh masuk kamar dan matiin lampu biar tidur.” Bisiknya, “mungkin biar gue nggak dengar.”

Jody mengeratkan pelukannya pada Dewa.

Ia mengingat bagaimana kamar Dewa yang menurutnya begitu kurang cahaya, bahkan kekasihnya mengganti lampu kos menjadi pijar kecuali yang berada di meja belajar. Ia tidak pernah berpikir ada sebuah alasan dibalik Dewa yang menyukai kegelapan. Dan sekarang ia bersyukur sudah mengetahuinya.

“Karena itu gue ngerasa nyaman di kegelapan. Seakan-akan gue nggak tahu ada hal buruk yang terjadi di sekitar gue.”

Ah, betapa menyesalnya Jody tidak pernah bertanya.

“Lo tau nggak kenapa gue ke kosan pagi buta?” Kedua alis Jody naik mendengar pertanyaan yang tidak perlu ia jawab.

“Anaknya ibu gue telepon jam 12-an, dia bilang ibu sakit dan pengin gue jenguk.” Dewa menenggelamkan kepalanya pada ceruk Jody, “dia udah ngilang belasan tahun dan pengin ketemu gue pas sekarat.” Ia tertawa.

Tawa kosong yang menyayat hati Jody.

“Gue bingung. Gue benci mereka semua, tapi gue sedih pas dia sekarat.”

“Kenapa gue harus sedih karena orang yang ninggalin gue gitu aja?”

“Tapi gue tetap nggak mau jenguk.”

“Tolong bilang ke gue, Dy. Apa gue salah kalau gue nggak mau jenguk?”

Jody menggeleng, tidak membenarkan atau menyalahkan. Tangannya mengelus naik turun punggung ringkih Dewa yang sedang mengeratkan kepalan di hoodienya.

“Gue pikir mereka nggak akan ganggu gue setelah ninggalin bocah bego yang nggak ngerti situasi.”

“Tapi dengan nggak tahu malunya, salah satu dari mereka dateng.” Lagi-lagi Dewa tertawa getir.

“Gue ngerasa tolol nangisin dia malem itu, entah karena benci atau karena dia mau mati.”

Mulut Jody bungkam, ia merasa tidak pantas mengatakan apapun karena tidak pernah berada di posisi Dewa.

Dewa ditinggalkan oleh kedua orang tuanya setelah bercerai, mereka merasa enggan membawanya karena sibuk dengan pasanganㅡselingkuhanㅡmasing-masing.

Bunda Keno sebagai adik dari ayahnya menawarkan diri untuk merawat Dewa dan mengangkatnya sebagai anak, karena dirinya belum dikarunai Keno waktu itu. Kedua orang tuanya mengiyakan tanpa peduli, berpikir mereka sudah bebas dari tanggungan. Dan benar-benar menghilang tanpa jejak, membuat Dewa merasa seperti anak yang tidak layak.

“Ssshh, Dewangga anak baik, jangan ngomong gitu, aku nggak suka, Yang.”

Rasanya Jody ingin memusnahkan orang yang menyakiti kekasihnya.

Mereka kembali nyaman dalam hening, dengan jemari Jody yang masih setia mengelus punggung Dewa.

Jody berfikir, mungkin mulai sekarang dia akan lebih memperhatikan hal-hal kecil yang Dewa lakukan. Karena ternyata terlalu banyak makna terselubung dari setiap tindakan bunny-nya yang biasa saja.

“Makasih, Dy.” Bisiknya tanpa suara yang masih bisa didengar Jody karena senyapnya malam.

“Kenapa makasih?” Tanyanya bingung, ia melonggarkan rengkuhannya untuk melihat netra gelap Dewa yang membuatnya tenggelam.

“Makasih udah jadi Jody.” Jawabnya tersenyum sebelum mengecup pipi Jody, membuat pipinya memerah hingga telinga.

Sumpah, Jody tidak berekspektasi akan dicium.

Tapi dia senang juga.

“Aku juga senang jadi Jody.” Ia kembali membawa bunny dalam pelukannya yang hangat, membuat Dewa merasa ia layak dan dihargai.

Sepertinya Dewa jatuh cinta lagi pada kekasihnya.