Jody keeps his promise
p.s reminder, Disini, Jody pernah bilang, dia akan berhenti buat mengejar Dewa setelah 4 kali date
It's the fourth date and the last date.
“Lo nggak mau memberi kesan dan pesan di hari terakhir?” Tanya Jody di sela-sela makan.
Dewa mengibaskan tangan di udara karena masih ada makanan di mulutnya, ia sedikit tertawa mendengar pertanyaan tersebut setelah sukses menelan. “Emangnya kita habis ngapain? Ospek?” Jawabnya sebelum menegak cola karena tenggorokannya seret.
Lagi pula, setelah date empat kali yang direncanakan oleh Jody, ia yakin dirinya masih akan melihat adik tingkatnya berseliweran di fakultas mereka. Buat apa kesan dan pesan?
Bahu Jody mengendik, “yah, siapa tahu gue menghilang.” Bisiknya lebih pada diri sendiri, namun Dewa masih bisa menangkapnya meski tidak berniat untuk menanggapi.
“Thanks, Dy. Gue masuk duluan.”
Hanya itu yang Dewa utarakan meski ia sempat ditanya mengenai kesan dan pesan. Adik tingkatnya tidak menoleh ketika ia mengatakannya, hanya bergeming dan menatap setir yang tidak akan berputar sendiri meski dilaseri dengan mata. Ia membuka pintu mobil untuk keluar, kepalanya sedikit menoleh ketika menangkap suara pintu lain yang terbuka saat dirinya mengambil langkah untuk masuk ke pekarangan kos.
“Dewa.” Jody memanggilnya, ia menatap pergelangan tangannya yang digenggam oleh pemuda berlesung itu, menahannya untuk pergi lebih jauh, kemudian pandangannya menelusuri lengan adik tingkatnya hingga mereka bertemu mata. Ia memiringkan wajahnya, bertanya dengan gestur.
Tubuh Jody berputar, dan kini ia bukan berada di belakangnya lagi, melainkan di hadapannya, jemarinya masih seraya melingkari pergelangan kirinya yang tertutup oleh kemeja. Jody maju beberapa langkah mendekat pada Dewa, dan intuisi Dewa menyuruh tungkainya untuk bergerak mundur. Keningnya mulai mengerut hingga alisnya hampir menyatu, masih bertanya karena tidak mendapatkan jawaban dari gestur sebelumnya. Kemudian, langkahnya terhenti ketika punggungnya menabrak sesuatu. Mobil Jody. Ia tidak memiliki ruang untuk mengayun kakinya lagi. Terhimpit antara mobil dan tubuh Jody yang menguarkan aroma basah bumi setelah hujan.
“Dewa.” Panggilnya lagi dengan bisikan, yang masih dapat telinganya tangkap karena lengangnya suasana malam, ia tidak dapat menyembunyikan ekspresinya yang bingung – dan sedikit panik dengan jarak mereka – karena sikap adik tingkatnya.
“Kenapa?” Cicitnya ragu.
Mata Jody yang memandangnya memancarkan perasaan yang sulit ia tebak. Membuat kepalanya mencari banyak gagasan terkait hal tersebut.
Namun, sepertinya ia tahu apa yang akan terjadi ketika kelereng Jody berpendar perlahan turun ke bawah. Kemudian, manik itu kembali lagi bersirobok dengan indera penglihatan miliknya.
“Is it okay if I kiss you?”
Dewa menggigit bagian dalam mulutnya ketika apa yang ia pikirkan meluncur dari bibir adik tingkatnya.
Ia mengawasi bagaimana air muka Jody penuh harap, baru menyadari bahwa mata pemuda berlesung itu berwarna kecokelatan.
Beberapa detik dalam sunyi terasa seperti ribuan jam di bawah pandangan milik Jody.
Anehnya, ia tidak merasa bimbang ketika kepalanya mengangguk samar, matanya juga tidak melewatkan ketika bahu kaku Jody melemas dan rileks. Dengan perlahan, Jody menyondongkan wajahnya, menatap dengan intens bibirnya yang masih ia gigit bagian dalamnya karena gugup. Kepala Dewa tergelitik untuk beralih, namun salah satu tangan Jody menahan tengkuknya, napasnya sudah menyapu bibir Dewa ketika Jody sempat tersenyum kecil, sebelum berbisik kalimat yang sering ia nyatakan dengan canda dan tawa lebar seperti hal tersebut hanya ungkapan lumrah.
“I love you, Dewa.”
Bibir Jody memagut miliknya dengan tenang ketika ia masih membuka mata. Pupilnya membesar sekilas sebelum ia menutupnya, ia membiarkan Jody mengecupnya dengan hati-hati.
Lagi pula ini yang terakhir, kan? Dewa tidak akan diganggu lagi oleh Jody setelah ini, jadi ia memberikan kesempatan pada adik tingkatnya untuk melakukannya. Mengabulkan permintaan terakhirnya sebelum mereka benar-benar selesai dan sibuk dengan dunia masing-masing.
Jemarinya meremas depan kemeja Jody ketika bibirnya digigit kecil, ia merasakan bagaimana degup jantung Jody yang bertalu menjalar ke telapak tangannya. Lebih memekakkan dibanding miliknya yang juga cepat.
Ciuman Jody bukan yang pertama baginya, namun ia tidak mengerti alasan lututnya melemah dan mulai tidak mampu untuk menopang bagian atas tubuhnya. Jody seperti menyadari kakinya yang bergetar, tangannya yang bebas merangkul pinggangnya untuk tetap berdiri, ia sedikit mendorongnya mundur untuk menyandarkan punggungnya pada sisi mobil dengan lembut.
Dewa mulai mengalung di leher Jody, ia beralibi bahwa dirinya hanya memberikan akses pada Jody untuk yang terakhir kali, ia tidak menikmati, tidak, Dewa tidak menikmatinya sama sekali. Ia tidak mengindahkan bagaimana tubuhnya terasa seperti terbakar ketika sentuhan Jody bergerak dari pinggangnya menuju bawah punggungnya, mendekapnya dengan erat seraya mencetak pola membuat dirinya bergidik di tengah ciuman. Ia juga mengabaikan bagaimana mulutnya yang mengejar bibir Jody terlebih dahulu ketika mereka memutus pagutan tersebut untuk bernapas. Ia juga melupakan bagaimana ia bergumam, “more, Jody,” ketika pemuda berlesung itu berusaha melepaskannya karena mereka sudah terlalu lama tidak tahu malu berciuman di jalanan umum.
Jody menarik diri terlebih dahulu dengan tersenyum tulus padanya, ibu jarinya mengelus pipinya membuat Dewa kembali memejamkan mata sebelum sebuah bisikan menyambangi telinganya.
“Thank you for the last date, Dewa.”
Dengan napas terengah-engah ia menemukan Jody bergeser, memberinya ruang untuk pergi. Ia berjalan dengan langkah gontai, tidak ingin menoleh sama sekali karena takut penyesalan menjumpainya saat kembali menemukan mata kecokelatan itu. Ia meninggalkan Jody yang masih berdiri di samping mobil. Bersusah payah untuk mengeluarkan kunci karena degup jantungnya yang berdentum masih menguasai semua inderanya.
Dirinya meremas kenop pintu dengan kuat kemudian merosot di balik kayu ketika mendengar suara mesin mobil dinyalakan, suara mesin tersebut sayup-sayup mengecil dan menghilang. Dewa menghela napas berat, merasa bodoh dengan keputusannya memperbolehkan Jody untuk menciumnya. Ia tidak mengira, efek yang akan ditinggalkan bisa membuat dirinya terguncang sebegitu hebat.
Sudah dua pekan, Jody benar-benar menghilang bak ditelan bumi. Dewa tidak pernah berpapasan dengan adik tingkatnya dimana pun ia berada meski mereka satu fakultas. Dua pekan dengan rutinitas Dewa yang kembali konstan dan teratur. Tidak ada yang mengusiknya dan tidak ada yang menganggunya. Tidak ada yang tiba-tiba duduk di hadapannya ketika ia makan siang di kantin, tidak ada yang tiba-tiba menggoyangkan bangkunya ketika dia bersembunyi di salah satu bilik meja perpustakaan, tidak ada yang menariknya keluar untuk sekadar cari angin ketika akhir pekan tiba. Tidak ada lagi Kaisar Jody di hidupnya.
Pesan terakhir Jody di ruang chat mereka adalah dua pekan yang lalu, ketika adik tingkatnya mengabarkan bahwa ia sudah sampai rumahnya – bukan kos, Dewa tidak mengetahui mengapa Jody tiba-tiba pulang – dan mengatakan bahwa jika Dewa perlu sesuatu ia bisa langsung menghubunginya tanpa perlu pikir panjang. Pesan tersebut ia tinggalkan tanpa balasan, dan tidak ada pesan baru yang datang dari Jody setelahnya.
Dewa merasa lega hidupnya kembali normal seperti sebelum adanya Jody.
Namun, ingatan tentang ciuman terakhirnya masih sering muncul ketika ia sedikit saja melamun. Memori dengan label Jody masih tersisa dalam benaknya meski ia tidak berusaha untuk memikirkan atau melupakannya. Pemuda hari valentine itu hadir di setiap sudut kamar Dewa jika ia beralih dari tugasnya meski hanya untuk melihat ranjang. Seolah-olah, Jody ada di sana dengan laptop di antara kakinya, sambil sibuk mengerjakan tugas atau hanya bermain game.
Ia melemparkan diri ke ranjang, merasa lelah setelah seharian berada di kampus. Tanpa sadar, tangannya mengambil handphone di saku, membuka ruang chat-nya dengan Jody. Ia tidak tahu apa yang ia lakukan dengan menatap sudut ruang chat tersebut yang menampilkan foto profil milik Jody, ia memperbesarnya, meneliti foto tersebut.
Ada sengatan di dadanya.
© smoldoy