Jody always genuinely says thank you

“Siapa nama kamu?” Dewa berseru pada seorang mahasiswa baru yang nekad menggunakan celana jeans hitam dan bukan celana bahan ketika hari ketiga orientasi.

Ia mendongak sedikit untuk menatap mata mahasiswa yang lebih tinggi, mendengar dengusan yang muncul dari bibirnya, membuat kepala Dewa mendidih, “Kaisar Jody.” Jawabnya. Bahkan peserta orientasi itu meletakkan papan namanya di bawah, enggan untuk menggunakannya.

“Kaisar Jody, saya peringati sekali, pakai nametag dan akan saya pinjamkan celana hitam buat kamu, atau kamu mau saya hukum untuk memimpin menghafal mars di depan?”

Jody, peserta orientasi yang baru saja menyebutkan namanya, menaikan salah satu alisnya menantang. Ia menarik senyum miring yang membuat Dewa ingin menonjok muka tengilnya sekarang juga, jika saja ia bukan komisi disiplin.

Kesabaran Dewa sudah terlalu banyak dikuras dari hari pertama orientasi, ia menjadi mudah marah jika ada mahasiswa baru yang melanggar peraturan tertulis yang sudah dijelaskan semenjak masa pra-orientasi. Ia merasa aneh, mengapa mereka tidak bisa menyiapkan semuanya padahal ada jangka waktu yang lumayan panjang semenjak masa pra-orientasi? Maka dari itu, dirinya menjadi semakin jengkel ketika menemukan oknum – oknum yang melanggar dan malah menunjukkan wajah tidak berdosa ketika ditegur.

Padahal siapa yang salah?

“Saya pilih opsi kedua, komdis.” Jody menekan kata komdis di akhir kalimat dan menyulut emosi Dewa yang sudah terbakar sedari tadi. Dewa ingin meledak.

Ia menyerahkan pengeras suara yang menggantung di bahunya pada Jody, semakin menantang mahasiswa baru nan tengil itu untuk maju ke depan memimpin yang lain dalam menyanyikan mars kampus mereka.

Jody menerimanya, maju ke depan dengan langkah pasti hingga kini dirinya ditatap oleh ratusan orang yang berkumpul dalam lapangan. Menunjukkan pada Dewa bahwa ia menerima tantangannya yang terlalu mudah untuk dilaksanakan.

Si komdis bersidekap, masih berada di posisi barisan Jody memonitori kelakuan bocah yang kini mengecek suara dengan pengeras digenggamannya.

“Cek. Cek. Tes.”

Perhatian mahasiswa yang sedang menghafal mars kampus mereka, teralihkan pada Jody di depan.

Netra Jody tidak memedulikan siapa pun kecuali pada Dewa yang menunggunya untuk menyelesaikan hukuman tersebut. Satu ide muncul di benak Jody, ia menunduk sedikit dan menutup seringainya yang muncul sebelum menetralkan ekspresinya, kembali bertemu mata dengan ratusan orang yang tentunya tidak ia kenal semua.

“Saya dapat hukuman untuk memimpin kalian menghafal mars kampus kita.” Ujarnya menggunakan pengeras, “tapi sebelum itu saya mau memberitahu satu hal.” Lanjutnya.

“Staf komdis yang baru negur saya, yang mukanya kaya bunny, saya suka kamu, muka kamu lucu banget.”

Sorakan mahasiswa yang didominasi oleh laki – laki terdengar menggema di penjuru lapangan, mayoritas mahasiswa memperhatikan setiap staf komisi disiplin di sekitar mereka dan mencari siapa oknum yang berwajah menyerupai 'bunny', memberikan tepuk tangan meriah pada kelakuan mahasiswa yang kini nampak jumawa dengan pengeras suaranya di tangan.

Dewa membulatkan mata ketika mendengar kalimat itu, beberapa mahasiswa baru di sekitarnya menunjuk ke arahnya dengan sembunyi – sembunyi, sadar bahwa Jody menyebutkan dirinya namun memilih untuk diam karena takut diberikan tatapan mematikan oleh Dewa. Ia beruntung berada di tengah barisan dan bukan di depan seperti temannya yang lain, jika tidak, mungkin semua orang bisa menebak siapa orang yang disebutkan oleh mahasiswa baru tengil itu. Brengsek, ia mengutuk dalam hatinya, menandai Jody yang ia yakini akan berulah sampai masa orientasi selesai.

Koordinator komdis berteriak lantang mengubah suasana riuh menjadi kondusif seperti sebelumnya. Dewa mengepalkan tangan di belakang punggungnya, “IKUTI ARAHANNYA!” Ia berseru pada mahasiswa baru di sekitarnya yang masih menatap dengan ekspresi penasaran.

Jody memimpin penghafalan mars selama 3 kali, kemudian ia kembali pada barisannya. Dewa yang masih setia berdiri disana kembali bertemu mata dengan Jody, ia meliriknya dengan malas. “Pakai nametag kamu, ikut saya.”

Dewa menggiring Jody ke ruang panitia, mahasiswa baru itu menunggu di depan pintu saat Dewa masuk untuk mengambil tasnya, memberikan celana bahan hitam yang ia sediakan sebagai cadangan jika ada kejadian darurat.

“Ganti.” Ia mengisyaratkannya dengan dagu, untuk menggantinya di kamar mandi dekat ruang panitia.

Jody dengan senyum yang masih songong menurut Dewa pergi ke kamar mandi untuk berganti.

Thank you, Dewangga Kenzie.” Ujar Jody melirik nama yang terdapat pada id card milik Dewa setelah keluar dari kamar mandi dan menenteng celana jeansnya.

Dewa menaikkan alisnya mendengar ucapan terima kasih dari mahasiswa baru itu. Ia mengisyaratkan Jody untuk berjalan di depannya untuk digiring ke lapangan. Namun si oknum pembuat masalah malah berbalik sebentar, “ohiya,” ujarnya seperti baru mengingat sesuatu, “muka kamu beneran kaya angry bunny, lucu.” Lanjutnya sambil tersenyum meledek.

Kaki Dewa menendang otomatis pada tulang kering Jody meskipun tidak terlalu keras, membuat si oknum mengaduh karena sakit. Dewa meninggalkan Jody yang sedang berlutut mengelus kulitnya.

Ia menghela napas panjang ketika berjalan, merasa sebal disamakan dengan kelinci. Kelinci? Apa lagi kelinci ketika marah? Astaga, seumur – umur ia tidak pernah mendengar ada orang yang menyamakan dirinya dengan kelinci. Dewa meninju angin karena kesal.

“KOMDIS, TUNGGU!” Jody berlari agar dapat berjalan beriringan dengan Dewa. Membuat yang dipanggil memutar bola matanya karena segan meladeni mahasiswa baru yang satu ini.

“Saya serius mau bilang makasih, nanti celananya saya kembalikan pas selesai ospek.” Ujarnya tulus, begini – begini Jody juga paham kalau tidak semua panitia akan peduli seperti Dewa yang mau membantunya.

Jody juga punya alasan tersendiri mengapa ia tidak menggunakan celana bahan, ia kira ia tidak akan ketahuan oleh komisi disiplin.

Namun, ia merasa beruntung karena ternyata komisi disiplin yang menemukannya berwajah lucu, meskipun ia awalnya jengkel setengah mati saat ketahuan. Maka dari itu ia menantang.

Saat sampai di lapangan, Dewa berbalik menghadapnya, “baris, jangan berulah!” Ia menyuruhnya untuk kembali ke barisan, meninggalkannya untuk menyisir area yang sudah disepakati sebagai tempatnya untuk bekerja.

Iris Jody tidak bisa lepas dari Dewa, ia mengikuti pergerakannya kemana saja. Mencarinya jika ia menghilang dari pandangan sejenak, dan tersenyum kecil ketika menemukan Dewa sedang berkacak pinggang dan menegur beberapa mahasiswa yang berulah dan melanggar peraturan.

Ia terkekeh pelan, ya ampun, kenapa ia baru menyadari keberadaan komisi disiplin yang menyerupai bunny di hari ketiga orientasinya? Jody sedikit menyesal.

Sepertinya ia harus lebih banyak berulah agar mendapatkan atensi pemuda itu. Yeah, Jody harus memikirkan pelanggaran apa yang harus ia lakukan agar Dewa tidak akan melupakannya. Pikirnya dalam keramaian.

© smoldoy