DESPAIR

1822 kata. nsfw dikit. baku, semi-baku, non-baku, i dont know you choose, ini berantakan banget soalnya lagi belajar semi-baku dan non-baku tapi ternyata susah juga karena kebiasaan pakai baku. ENJOYYYY


91. Donghyuck si drama

Mark sungguhan masak sesuai permintaan Jeno.

Yah, seadanya sih, cuma tetep aja perlu tenaga untuk ngiris ini-itu karena maid pemilik rumah sengaja dipulangin. Aneh banget.

“Kamu jadinya masak apa?”

Jeno yang baru aja mandi muncul di dapur, sekarang udah mengenakan piyama. Rambutnya masih basah, dengan handuk melingkar di leher. Mark jengah melihat tetesan air yang jatuh lalu menarik handuknya, mulai mengeringkan kepalanya.

“Males banget ngeringin rambut.”

“Karena ada yang ngeringin buat aku.”

Mark tertawa, ada kepak-kepak sayap kupu—najissss, apa dahhhh, kenapa mereka jadi beneran kayak sepasang kekasih, sangat domestic.

“Punya hairdryer juga.”

“Tangan Kak Mark kayak Iron Man.”

Nggak nyambung sumpah, tapi Mark ketawa-ketawa aja karena rasanya lucu. Mau cium Jeno tapi bukan pacar, soalnya kalau mereka ciuman nih, ujungnya harus seks; namanya juga cuma sugar daddy dan sugar baby, kalau ciuman doang, hubungan mereka patut dipertanyakan, tapi sekarang dia lagi masak jadi nggak bisa.

Mark kembali balik badan karena ayam yang digoreng udah kecokelatan. Dia merasa Jeno mulai melingkarkan tangan di perutnya, ngelus-ngelus pelan, kepalanya bersandar di bahu.

“Aku beneran kangen tau.”

Busettttt. Ini kalau Mark kena prank suruh dadah-dadah lagi, dia janji nggak akan ketemu Jeno selamanya. Tapi dadanya mulai deg-degan juga dibilang kayak gitu, Jeno bold banget.

Ya dia juga kangen, sih. Dikittttt.

Ayam-ayam yang mateng mulai diangkat ke saringan biar minyaknya turun. Mark udah ngiris bawang bombay, bawang putih, cabe ijo, dan paprika, tinggal ditumis aja ayam dan bumbunya.

Jadi, dia ganti wajan yang lebih enak buat numis. Jeno masih nempel kayak koyo cabe di punggung, ngelihatin dia masak dengan telaten. Kadang, Mark bersyukur dia hidup sendiri, jadi bisa masak, kalau inget dulu dia cuma bisa masak telor, rasanya malu banget, tapi sekarang dia udah kece, bisa bikin macem-macem meskipun ngikutin resep di Tiktok.

“Kamu keren dah, aku masak telor ceplok aja takut meletus.”

Ya sama, dulu dia juga begitu. Mark tidak mau bilang, ia ingin tampak keren sedikit.

You know, I think this sugar daddy things still work without sex,” tiba-tiba topik obrolan mereka diganti oleh Jeno.

“Yeah?”

Mark cuma ngebales sekenanya karena fokus masak. Minyak memanas, dia nuangin semua bahan yang diiris sampai ada harum, lalu masukin potongan ayam, dan ngeguyur dengan kecap manis, kecap inggris, saos tomat, saos tiram, bubuk lada hitam, lalu dia ngaduk rata sebelum ngasih air.

Yeah, you know what I buy from you? Your time. You invest your time, offer companionship, listen to me, and be my friend,” katanya.

Mark ngangguk, dia nggak pernah mikir ke sana, tapi ternyata iya juga, dia malah cuma mikir perkara seks dengan Jeno, padahal sekarang mereka deket bukan karena seks itu, tapi karena waktu kebersamaan mereka.

“There's a but,” Jeno ngelanjutin lagi, menginterupsi pikir Mark.

But?”

But not me, I want the sex part. You do me good.”

Mark menunduk, meskipun emang lagi nunduk karena masak. Kenapa Jeno bisa seberani itu ngomongin apa yang ada di pikirannya? Mukanya memanas sekarang, karena kepulan asap dan kalimat Jeno, pasti telinganya merah juga.

Tangan Jeno yang dari tadi ngelus-ngelus perut, mulai berani turun, nyaris menyentuh alat vitalnya, lalu naik lagi, begitu terus memberi sinyal padanya. Mark yang sadar segera berbalik karena sudah kelimpungan dan tak fokus.

“Tujuan kamu minta aku masak tuh, ini?” tanya Mark mastiin, mematikan kompor karena udah selesai juga. Ia maju pelan-pelan jadi mau nggak mau Jeno mundur, akhirnya punggung bawah Jeno nyentuh ujung meja dan dia nggak bisa ke mana-mana, ngebiarin Mark makin ngehapus ruang; tubuh mereka sekarang nempel banget kayak pakai lem aibon.

Kedua telapak tangan Jeno bertengger manis di bagian dada kaos Mark. Dia membasahi bibirnya seolah sengaja menggodanya, karena memang berhasil, atensi Mark terpecah dari memandang iris mata Jeno menjadi melihat daging merah tak bertulang itu. Jeno menggigit ujung bibirnya sendiri, mencondongkan mulutnya ke telinga.

“Mau di sini.”

Mark mendengus tak percaya karena kalimatnya.

Ada apa dengan Jeno dan obsesinya bersetubuh di meja? Akhirnya ia bertanya karena sungguhan penasaran.

“Kenapa kamu mau di meja yang keras daripada di kasur empuk?”

“Pengen aja biar kayak film,” jawabnya nggak sesuai ekspektasi Mark. Yaaa, dia mikirnya Jeno bakal bilang itu fetish atau apa.

“Punggung kamu nanti sakit, sayang,” tangan Mark mulai memijit pelan punggung bawah milik Jeno karena yakin di sana pegal setelah bekerja dengan duduk seharian.

Bibir Jeno mulai mencebik bak bocah nggak dikasih barang yang dia mau. “Ini pun baru coba, karena aku percaya sama kamu,” katanya, mengelus bagian dada kaos Mark.

Mark bergeming menatapnya, sungguhan enggan, akhirnya Jeno memanggilnya lagi.

Sugar?”

“Hm?”

Please?

Uh, not that face. Mark nggak bisa nolak kalau Jeno udah mulai coochie eyes. Mana ada sugar daddy memohon seperti itu? Tuh kan, dia merasa mereka kayak orang paca—halahhhh.

Mark nyerah, bukan karena ia berpikir menuruti Jeno itu bagian pekerjaannya, tapi lantaran dia emang nggak bisa nolak Jeno dan wajahnya, sepertinya dia udah kena pelet. Dia meremas kedua lengan atas Jeno, menatap iris gelapnya dengan serius.

“Promise me this is the last time we do it on a desk?“ I don't want you to get hurt, adalah kata yang seharusnya keluar juga, namun Mark urungkan.

Jeno ngangguk setuju, mengulas senyum untuk meyakinkan Mark dan naik ke meja dengan mandiri. Mark mulai ngehujanin kecupan demi kecupan di wajahnya bikin yang lebih muda ketawa karena kegelian. Membenamkan kepala di leher untuk mengecupi bagian itu juga, daripada kecup dia malah ndusel-ndusel karena ngerasa wangi Jeno kayak bayi. Jeno masih terkikik karena dari tadi yang Mark lakukan nggak naikin gairah tapi malah geli, it’s an innocent gesture.

“Wanginya kayak bocah, kamu mandi pake Zwitsal, ya?”

“Kalau pake itu aku harus ngabisin sebotol buat mandi biar cukup.”

You are cute.”

Tangan Mark bekerja ngebuka dua kancing teratas piyama. Dia nggak boleh nandain Jeno di area terbuka, maka dari itu biasanya dia bikin tanda di bahu, atau di dada, atau nggak sama sekali. Sentuhannya mulai nggak polos, dia menekan dan mengelus puting Jeno dari luar piyama, menggigit bahunya yang terekspos, Jeno mendesis mendongakkan kepala menikmati sensasinya.

Mark ngerasa rambutnya ditarik lalu didorong agar mulutnya semakin turun menjamah kulit Jeno. Yang lebih muda membuka satu kancing piyamanya lagi mempermudah akses, membusungkan dadanya pada wajah Mark.

Suck my nipple, please.

So Mark do it.

Dia tahu Jeno suka bagian areolanya diisap karena itu salah satu titik pekanya, bahkan ia sempat hampir klimaks cuma karena dikulum putingnya hingga bengkak. Jeno mendesah ketika lidah Mark berputar dan giginya bergesekkan di puting. Jarinya memilin dan mencubit puting sebelah membuat tubuh Jeno bergetar.

“ANJING, LEE JENO! LO NGAPAIN? PANTESAN GUE NGGAK BOLEH PULANG KE RUMAH?!”

Sebuah seruan dari ambang pintu masuk dapur membuat keduanya menoleh horor.

Oh, itu orang yang ada di foto meja kerja Jeno. Mark buru-buru menjauhi Jeno, menghadap pintu kulkas yang lebih tinggi darinya, ada pantulan dirinya dengan rambut semerawut, dan Jeno yang wajahnya sudah merah karena foreplay.

Jeno turun dari meja, merapikan rambutnya agar lebih presentable dan kembali menutup kancing teratas yang sudah dilepas. Ia melangkah menghampiri orang itu yang fotonya ada di meja Jeno, entah siapa namanya, menariknya pergi dari dapur. Mark menghela napas lega.

“Gue bilang jangan balik ke rumah!”

“Lo nggak mau gue balik ke rumah karena mau ngewe sama orang?!”

Oh, mereka tinggal bersama.

“DONGHYUCK!”

“BENER KAN GUE?”

“KALAU GUE NGGAK PULANG LO BAKAL BERAPA RONDE NGEWE DI MEJA?”

“INI RUMAH GUE, TERSERAH GUE MAU NGAPAIN JUGA!”

Suara cekcok mereka masih terdengar oleh Mark, membuatnya diam di dapur mengetukkan jari di meja usai memilih untuk duduk. Rasanya canggung banget, apa Mark pulang aja? Dia belum tahu apa hubungan Jeno dengan Donghyuck (sependengarannya tadi), tapi sepertinya Donghyuck marah? Asumsi-asumsi tak jelasnya semakin didukung dengan teriakan-teriakan lain yang menyambangi telinganya.

Nggak tau gimana ceritanya, akhirnya mereka duduk bertiga di sofa ruang tengah, menonton televisi yang disambung ke Netflix, Donghyuck berada di antara Jeno dan Mark.

God, this is getting awkward, tapi Jeno dan Mark berpegangan tangan di belakang punggung Donghyuck. Jari-jari Jeno seolah menuliskan huruf di telapak tangannya, dia nggak ngerti sama sekali, muncul kepak sayap kupu-kupu—stres. Mark harus berhenti mikir kalau mereka beneran pacaran, karena rasanya nggak lucu banget kalau dia one-sided dengan sugar daddy.

Jeno beranjak membuat Mark panik sampai menahannya, mulut yang lebih muda membentuk, “mau ambil camilan,” tanpa suara pada Mark. Sejak tadi mereka hanya saling melirik di belakang Donghyuck seperti pasangan backstreet— mulai lagi kan dia. Mark menganggukan kepala saat tahu, membiarkan Jeno pergi.

Belum dua puluh detik Jeno ngilang, Donghyuck sudah menoleh padanya, bikin Mark menelan ludah gugup.

What are you to him?” tanyanya tanpa aba-aba, apa Mark bakal ikutan quiz Family 100 lagi kayak pas pertama kali ketemu Jeno.

A friend,” jawabnya, “A friend who he fucks to be precise.”

Do you know me?”

No.”

Exactly, you don't know what my and his relationship is.”

Mark ngerasa ada yang salah di sini, kenapa semuanya seakan salah dia?

Listen, it's an agreement, I need the money he provides and it's mutually beneficial because he is in need of a sex partner, if you want to argue, just talk to him, don't involve me in your fight.

Donghyuck berdecak, merotasikan matanya lalu menatapnya lurus-lurus. Mereka mulai adu tatap, Mark berdoa semoga ada nyamuk yang masuk ke mata Donghyuck sekalian karena matanya mulai capek dan perih.

Setelah itu, Donghyuck bangkit meninggalkannya seorang diri di ruang megah itu, membuatnya berpikir tentang keputusannya mengenai hal ini. Selalu saja ada yang salah jika ia berhubungan dengan Jeno.

Si oknum yang menjadi bahan ngobrol datang lagi membawa dua toples camilan, tanpa ba-bi-bu karena Mark juga gelisah dia langsung tanya Jeno yang baru duduk di sisinya.

“Donghyuck man—”

“Kamu pacaran sama Donghyuck?”

No, he is just a friend of mine!” sanggah Jeno cepat, seolah tak mau ada kesalahpahaman antara mereka.

Rasanya ada yang mengganjal di dadanya, namun hubungan mereka memang ganjil sejak awal, jadi ia berusaha menepis hal itu. Apakah semua hubungan seperti milik mereka akan seganjil ini sampai ia merasa perlu masuk ke kehidupan pribadi partnernya? Bukankah ini malah melanggar batasan yang seharusnya ada?

Mark tercenung, tak menyadari bahwa Jeno sedang menjelaskan entah apa yang tak ia tangkap sama sekali. Mark hanya menatapnya tak mampu memahami satu kata pun, seolah Jeno sedang berbicara di dalam air dan yang keluar hanya bunyi blubuk blubuk.

Kupingnya penging.

Akan tetapi cara Jeno menjelaskan sangat lucu, bibirnya kadang mengerucut, matanya melebar lalu menyipit saat wajahnya mengerut, tangan Jeno mengangkat-angkat ke udara dengan dramatis sangat berapi-api.

Are you listening to me?” tanyanya dengan penekanan di akhir kalimat karena sadar Mark bengong, mungkin wajahnya terlalu terbaca.

No,” jawabnya jujur, lalu daripada mencium Jeno yang pasti berujung pada sesuatu menyangkut birahi, justru Mark memilih untuk menarik Jeno dan melingkarkan lengannya di pinggang, ia mengusap rambut Jeno.

Mengapa rasanya nyaman?

Why do you hug me?” bisik Jeno lirih, mungkin terkejut dengan aksi Mark.

I can't hug you?”

You can.”

Mark tersenyum, hanya merengkuh tanpa melakukan hal lain. Jeno pun bak benda mati yang tak mampu bergerak sama sekali; kaku di dalam peluknya. Beberapa menit kemudian ia merasakan Jeno ikut melilitkan lengan di tubuhnya.

Lagi, Mark berusaha mengabaikan sesuatu yang mengganjal di dadanya, Donghyuck masih membuat Mark merasa tak enak.

© 2022 litamateur